Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Membaca Dee Lestari dalam Satu Seperempat Jam

23 November 2022   16:49 Diperbarui: 23 November 2022   20:16 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dee Lestari, penulis (Foto: gramedia.com)

Tak satupun novel Dee Lestari yang pernah kubaca.  Tak satupun.  Jujur.

Aku ingat beberapa judul. Supernova, Perahu Kertas, dan Filosofi Kopi.  Karena menjadi perbincangan hangat.  Tapi tak satupun pernah kubaca.  Hanya ingat sampul depannya.

Bukan karena aku tak suka baca novel. Bukan. Aku baca sejumlah novel klasik. Juga novel-novel anggitan penulis berbagai negara. Penerbit Yayasan Obor Indonesia menerbitkannya dalam bahasa Indonesia.

Tapi novel-novel (Dewi) Dee Lestari?  

Ah, dulu aku lebih suka mendengar lagu-lagunya bersama Rida dan Sita dalam grup Rida-Sita-Dewi (RSD).  Antara Kita, itu yang paling aku ingat.  Dulu, ya.  Sekarang sudah lupa.  Karena usia sudah irrelevan.

Tentu aku tahu dia kini seorang penulis besar.  Dalam arti punya otak yang tak sekadar logis, etis, dan estetis.  Tapi terutama intuitif dan imajinatif.

Itu kusimpulkan dari hasil nguping diskusi orang. Bukan karena aku membaca novel-novelnya.

Awalnya aku tak tertarik pada undangan GP Mettasik untuk bergabung dalam webinar yang menampilkan Dee Lestari sebagai pembicara.  Bukan tak tertarik pada Dee Lestari.  Tapi judul webinarnya, "Dee Lestari Berbagi Tips Menulis Populer".

Hei! Tips lagi, tips lagi.  Yang benar itu "tip".

"Berbagi tip menulis populer?" Aku alergi berat pada kalimat atau frasa itu.  Karena beberapa alasan idiologis, atau paradigmatik, atau mazhab, atau apapun namanya.

Pertama, aku bukan orang yang percaya menulis bisa diajarkan. Tapi bisa dipelajari dengan cara anarkis.  Dengan caraku atau caramu sendiri.  Itu akan membuat seseorang menjadi penulis yang unik, punya signature sendiri. Bukan epigon atau apapun yang semacam itu.

Kedua, aku bukan orang yang percaya ada tip menulis yang berlaku bagi siapa saja.  Bagiku tip itu bersifat personal, tak berlaku bagi orang lain.  Aku lebih suka menyebutnya "proses kreatif personal".  Tak bisa diajarkan, tapi bagus menjadi bahan pelajaran bagi siapa saja.

Ketiga, aku tak terima adanya distingsi antara tulisan "populer" dan "tak populer". Apa gunanya distingsi semacam itu.  Apa pula ukurannya.  Bukankah populer itu sebuah keadaan yang berubah sepanjang waktu?  Dulu populer, sekarang nyungsep?  

Lagi pula siapa yang bisa menulis populer? Kalau menulis  fiksi semacam puisi, cerpen, novelet, atau novel, ya, bisa.  Juga menulis artikel non-fiksi.

Tapi akhirnya aku ikut juga webinar itu. Senin 21 November 2022  pukul 19.00-20.15 WIB.  Itu menjelang malam.

Bukan untuk diajari Dee Lestari.  Tapi untuk belajar dari pengalaman kreatifnya. Caranya? Ya, dengan membaca Dee Lestari sepanjang dia bicara.

Memang aku sempat gagal fokus juga.  Sebab Acek Rudy, the host, tak kalah memikat gesture, suara, dan gaya bicaranya. Untungnya dia seorang lelaki.  Jadi lupakan saja.  Emangnye bakalan apaan?

Lalu apa yang saya pelajari dengan membaca Dee Lestari pada uraiannya selama satu seperempat  jam, dipotong intersep Acek Rudy yang bikin galfok itu?

Ada tiga. 

Pertama, soal ide.  Dee bicara soal ide antara itu ada di luar kepala atau di dalam kepala. Antara kamu mencari ide atau kamu dicari ide.  

Aku belajar, diriku tak mencari atau dicari ide.  Ide itu karunia Sang Khalik, suatu bawaan yang sudah melekat pada diri sejak lahir.  

Istilah lain untuk ide, pikiran,  itu adalah karunia talenta.

Pilihannya kemudian terpulang pada diriku sebagai pemilik talenta titipan Sang Khalik. Apakah aku akan menguburnya? Membiarkannya tak terpakai?  Atau mengembangkannya?

Dari tuturan Dee aku belajar, seseorang mustahil bisa menjadi penulis bila malas menyadari ide bawaan dalam dirinya dan atau malas mengembangkannya.  

Jadi soal menulis adalah perkara memerangi kemalasan berpikir.

Kedua, soal kata.  Menurut Dee, kata adalah peluru yang ditembakkan ke benak pembaca. 

Ah, jika kata adalah peluru, maka bagaimana dia dapat memikat dan mengikat pembaca? Bukankah dia akan membunuh pembaca? Membuyarkan isi benaknya?

Tentu, itu hanya sebuah metafora.

Aku tetap belajar.  Setiap kata penulis haruslah jadi peluru cinta untuk pembaca. Semacam anak panah Cupid, putra Aphrodite, Sang Dewi Cinta -- bukan Dewi Lestari, eh.

Bila setiap kata adalah peluru cinta, maka setiap kata akan memikat dan mengikat pembaca.  Membuat mereka mabuk cinta pada tulisanmu.  Mereguknya tuntas sejak kata pertama sampai kata terakhir.

Bukankah begitu rasa hatimu saat jatuh cinta?

Ketiga, soal imajinasi. Beda dengan Dee, bagiku imajinasi bukan unsur proses kreatif dalam menulis. Atau sekadar manfaat menulis.  Bukan.  

Bagiku imajinasi adalah produk tulisan itu sendiri.  Entah itu fiksi ataupun non-fiksi. 

Ringkasnya, sebuah tulisan, katakanlah cerpen, adalah imajinasi yang dibangun dari rentetan peluru cinta kata-kata yang memikat dan mengikat.

Itulah hasil membaca Dee selama satu seperempat jam.

Tiga butir pelajaran di atas bukan tip menulis.  Sekali lagi, kukatakan padamu, seorang tak akan pernah bisa menulis karena menerapkan tip.  Juga tidak karena diajari. 

Menulis bagiku adalah sebuah proses anarki. Merdeka dari segala kaidah yang memenjarakankan atau bahkan memandulkanmu.

Kamu boleh tak setuju dengan prinsipku. Tapi itu tak berarti aku salah dan kamu benar. (eFTe) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun