Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Saatnya Si Tua Engkong Felix Surut dari Kompasiana

4 November 2022   07:39 Diperbarui: 4 November 2022   07:52 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi engkong surut (Foto: shutterstock.com)

Kamu tahu, kan? Masa bakti  para Nabi berujung pada hembusan nafas terakhirnya. 

Tapi para kompasianer tua -- lansia yang sudah lewat sewindu berkompasiana -- sekalipun mungkin membawa misi "kenabian",  tidak perlulah seperti itu.  

Persisnya, menjadi kompasianer itu gak usahlah sok-sok heroik. Emang udah heroik beneran, kok. Menulis sampai tekor! 

Kurang heroik apa lagi, jal!

Walau begitu, janganlah sampai menyisihkan hembusan nafas terakhirmu untuk Kompasiana. Jangan. Itu korupsi namanya. Nafas mesti dikembalikan lengkap kepada Sang Khalik.

Tidak seperti para Nabi, kompasianer tua macam Engkong Felix memilih surut. Itu tidaklah buruk.

Begini. Surut itu bukan mundur. Air surut bukan air mundur, bukan? Apa jadinya kalau air sungai mundur ke hulu? Lautnya pindah ke puncak gunung, dong.

Surut itu mengurangi intensitas. Seperti banjir surut di Jakarta, berarti menekan genangan air dari setebat menjadi sekobokan per hari.

Begitu pula dengan Engkong Felix. Surutnya itu berarti frekuensi penganggitan dan pengagihan artikel di  Kompasiana akan berkurang.

Itu berarti Engkong Felix akan menjadi selektif dalam menulis artikel. Konsekuensinya, akan ada jenis artikel tertentu yang ditekan jumlahnya. Itulah artikel humor, puisi kenthir, dan artikel perisakan. 

Yang disebut terakhir adalah buah doa tak kunjung jemu dari korban utama risakan Engkong.  Siapa lagi kalau bukan Admin Kompasiana dan Acek Rudy. Tuhan mengabulkan doa mereka lewat tangan Engkong. Mukjizat banget, kan?

Dengan demikian, bolehlah berharap Kompasiana akan menjadi aman-tentram, bebas dari artikel-artikel noise produksi Engkong. Semua artikel di Kompasiana bakalan voice, voice, dan voice saja. 

Itu maunya Admin Kompasiana dan mayoritas kompasianer, bukan?

Sekarang mengertilah kamu, mengapa Engkong memutuskan surut dari Kompasiana.

Tahu diri. Itulah alasannya.

Engkong tahu diri, tidak bisa seperti yang Admin minta, tak bisa seperti yang kompasianer Y&Z minta. Tak mudah dan tak guna mengubah mindset lansia Baby Boomers. Dia akan mati membawa bebalnya. Itu yang akan dikenang darinya.

Maka Kompasiana ke depan akan relatif steril dari cerita-cerita Gang Sapi, Jalan Amat Buras, soto Mas Karso, dan Poltak tua. Bagi Admin Kompasiana dan mayoritas kompasianer, kisah-kisah humor sambal risak -- atau risak bumbu humor -- semacam itu adalah sampah picisan. Itu fakta yang Engkong sudah terima.

Tapi kalau diminta menulis artikel-artikel "politip & politrik", Engkong juga tak bisa, atau tak tega. Menulis macam itu rasanya seperti menulis manual untuk robot. 

Ya, Engkong paham, di era I(di)oT ini manusia memang cenderung bersikap, berpikir, dan bertindak dalam pola robotik. Tapi Engkog tak percaya kita, Homo sapiens, ini telah ber-revolusi menjadi spesies Homo robotika.

Jika benar terjadi revolusi genetika semacam itu, maka menjadi masuk akal bila artikel-artikel "kenthir" Engkong dianggap sampah. Robot memang tak butuh filsafat, emoh soul food, santapan jiwa.

Jadi, izinkanlah Si Tua yang tahu diri ini surut perlahan dari Kompasiana. Sungguh, Engkong tak ingin dikenang.

Horas! Horas! Horas! (EFTe)

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun