Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pengalaman Pertama Naik Kapal Laut

22 Agustus 2022   07:32 Diperbarui: 22 Agustus 2022   13:16 2009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi naik kapal laut (Foto: antaranews.com)

***

Setelah wisuda sarjana yang terasa biasa-biasa saja, Poltak segera bersiap untuk pulang kampung naik kapal laut "Kambuna".  Dia beli tiket kelas ekonomi di sebuah agen perjalanan di kota Bogor.

Kelas ekonomi itu paling rendah.  Disebut juga dek, kelas ekonomi itu berupa aula berisi puluhan tempat tidur berjejer rapat. Kakus dan kamar mandinya adalah fasilitas bersama, dipakai ramai-ramai. Harus tabah antri.

Selain beli tiket, Poltak juga membeli oleh-oleh wajib Jakarta yaitu dodol Garut. Orang Batak tidak syah pulang kampung dari Jakarta (Jawa) bila tanpa oleh-oleh dodol Garut. Begitulah tradisi buah tangan yang pondasinya diletakkan oleh para perantau generasi terdahulu.

Tibalah hari kepulangan, suatu Senin tahun 1984. Poltak dan seorang temannya sesama sarjana baru, Lundu anak Pangkalan Brandan, masuk ke terminal penumpang di Tanjung Priok. Mereka bersama seribuan penumpang lain, siap berlomba naik ke atas kapal "Kambuna" yang sudah sandar di pelabuhan.

Berlomba naik ke atas kapal?

Begitulah nasib penumpang kelas ekonomi atau kelas dek. Pada karcisnya tidak ada nomor tempat tidur. Jadi penumpang harus berebutan naik ke atas kapal untuk menjadi yang terdahulu mendapatkan tempat tidur di dek. 

Itu artinya Poltak harus kuat menahan dorongan dan gencetan saat naik tangga ke atas kapal. Jelas di situ tak ada gunanya gelar sarjana. Kuli pelabuhan yang buta huruf lebih bisa diandalkan untuk urusan semacam itu. Wajar jika ada yang membayar mereka untuk ngetek tempat tidur di atas kapal.

Begitulah.  Setelah mandi keringat dan merelakan tubuh macam daging giling, akhirnya Poltak dan Lundu sukses juga mendapatkan tempat tidur bersisian di dek. Poltak bertetangga dengan seorang nenek di sebelah kirinya. Nenek itu mendapat tempat tidur yang telah ditek oleh seorang buruh pelabuhan. Mestinya dibayar oleh anaknya. Lundu sendiri bertetangga dengan seorang lelaki paruh baya. 

Tempat tidur itu tanpa alas tilam. Jika mau pakai tilam, bisa sewa pada anak buah kapal (ABK) seharga Rp 5,000 untuk dua malam. Konon itu akal-akalan ABK untuk dapat duit tambahan. Aslinya setiap tempat tidur itu ada tilamnya.

Poltak dan temannya, Lundu, memutuskan tidur tanpa alas tilam. Cukup pakai sarung sendiri. Untuk bantal, Poltak memanfaatkan tas ransel miliknya. Lundu juga begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun