Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Pertama Naik Kapal Terbang

2 Agustus 2022   14:28 Diperbarui: 4 Agustus 2022   05:15 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kapal terbang (Foto: pixabay.com) 

Pikiran di masa kecil difalsifikasi pengalaman empiris di masa dewasa.

Hal itu benar terjadi pada lelaki bernama Poltak -- itu pseudonim.

Semasa kecil di Panatapan, Uluan Toba, Poltak selalu bertanya-tanya tentang kapal terbang -- begitu orang sana menamai pesawat terbang. Kebetulan angkasa di atas Panatapan itu lintasan terbang pesawat dari sana ke situ. 

Berdiri di tengah sawah, Poltak kecil takjub memandang kapal terbang jauh di angkasa. Saking jauhnya, kapal terbang itu tampak sebesar peti mati saja.

Poltak lalu bertanya-tanya.

Berapa orang jumlah penumpang kapal terbang itu?

Kata amangudanya, jumlah penumpang kapal terbang itu banyak. Lebih banyak dari jumlah penumpang motor bus "Betahamu", "PMH", "ALS", "Permos", "Sanggulmas", "Bintang Utara", "Martimbang", atau "Sibual-buali".  Itu nama-nama motor bus yang melewati Panatapan.

Tapi Poltak kecil sulit menerima penjelasan itu. Di matanya, kapal terbang itu cuma sebesar peti mati. Karena itu dia menyimpulkan penumpang kapal terbang itu cuma satu orang pada posisi tengkurap.

Harap maklum. Poltak kecil belum paham konsep perspektif.  Semakin jauh posisi benda dari mata semakin kecil terlihat ukurannya. Begitupun sebaliknya.

Kelak Poltak paham prinsip itu setelah diajari gurunya gambar perspektif di SD.

Bagaimana pula cara kapal terbang naik ke angkasa dan kemudian mendarat ke tanah?

Itu pertanyaan kedua.

Sebenarnya amanguda si Poltak sudah memberi contoh burung belibis.  Cara kapal terbang naik ke angkasa dan turun kembali ke tanah katanya persis cara burung belibis  mendarat di dan terbang dari tebat.

Contoh itu cukup sukar dipahami otak kecil Poltak. Pasalnya burung belibis kan mengepakkan sayapnya saat terbang.  Sedangkan sayap kapal terbang diam tak bergerak. 

Lagi, menurut amangudanya, bumi ini berputar pada sumbunya dari arah barat ke timur. Itu artinya kan lapangan terbang ikut pindah juga dari barat ke timur.  Nah, bagaimana cara kapal terbang mencari lapangan terbang yang pindah ke timur itu.

Jangan ketawa.  Poltak belum tahu bahwa atmosfir bumi itu ikut juga berputar dari barat ke timur. Begitupun benda-benda yang melayang di atmosfirnya.  Termasuk kapal terbang dan burung-burung di udara.  Itu sebabnya burung selalu bisa menemukan sarangnya kembali.

Ilmu Pengetahuan yang Tak Meyakinkan 

Hal itu diketahui Poltak kemudian hari lewat pelajaran IPA di SD, SMP, dan SMA.

Dari buku pelajaran Poltak tahu bahwa pesawat terbang itu ukurannya besar, tak sebesar peti mati.  Ukurannya bervariasi, mulai dari ukuran kecil sampai besar.  Dapat mengangkut beberapa, puluhan, belasan, dan ratusan orang penumpang. Tergantung ukurannya.

Dari buku pelajaran Poltak juga tahu kapal terbang bisa lepas landas karena kinerja baling-baling dan sayap.   Intinya, jika kinerja menjadikan gaya dorong lebih besar dari gaya hambat dan gaya angkat lebih besar dari gaya gravitasi, maka kapal terbang akan melayang ke angkasa.  Jika sebaliknya, maka kapal terbang turun mendarat ke bumi.

Tapi Poltak adalah manusia tipe Santo Thomas Rasul. Seorang murid Yesus yang menolak percaya bahwa Yesus telah bangkit dari alam maut. Dia baru bisa percaya jika dan hanya jika melihat lima luka Kristus dengan mata kepala sendiri, dan mencucukkan jarinya pada luka di lambung Yesus. Dan, persis, itulah yang terjadi kemudian.

Maka berbahagialah mereka yang percaya walau tak melihat. Dan Poltak jelas tak termasuk dalam bilangan itu.

Pikiran masa kecilnya tak benar-benar terkoreksi oleh ilmu-pengetahuan modern.  Di benak Poltak masih tertanam pikiran bahwa kapal terbang itu sebesar peti mati dan penumpangnya seorang saja dalam posisi tengkurap. 

Dan bahwa lapangan terbang itu mungkin saja hilang dari pandangan mata, sehingga kapal terbang tidak bisa mendarat. Ya, Poltak belum paham tentang cara kerja radar.

Pikiran sesat Poltak hanya mungkin difalsifikasi melalui pengalaman langsung naik kapal terbang. Tapi itu ibarat "pungguk rindukan bulan". Bagaimana pula jalannya sehingga Poltak anak kampung Uluan-Toba itu bisa naik kapal terbang. 

Namun siapakah manusia sehingga bisa menolak kebenaran pepatah "pucuk dicinta ulam tiba"?

Awal 1980-an, karena kerja logika prestasi akademis, Poltak harus berangkat ke rantau Jawa untuk melanjutkan pendidikan ke sebuah Perguruan Tinggi.  Itu artinya harus pindah pulau dari Sumatera (Utara) ke Jawa (Barat).

Waktu itu hanya tersedia empat cara berpindah dari Uluan-Toba ke Jawa.

Pertama, jalan kaki. Jika memilih cara ini, maka mungkin tak akan pernah sampai di Jawa. Sebab tak ada seorangpun yang bisa jalan kaki melintasi Selat Sunda.

Kedua, naik bus rute Medan-Jakarta. Ini jalan sengsara, karena akan memakan waktu 5-6 hari, paling cepat.  Tubuh mungkin akan gempor juga macam perkedel lantaran terguncang-gunjang seminggu di dalam motor bus.

Ketiga, naik kapal laut. Nah, ini yang paling diidamkan anak-anak Tanah Batak.  Naik kapal motor "Tampomas" dari Belawan-medan ke Tanjungpriok-Jakarta.  Perjalanan tiga malam dua hari mengarungi perairan di timur pulau Sumatera.  Harga tiket terjangkau oleh isi dompet kebanyakan orang Batak. Perlu diingat, waktu itu Tanah Batak adalah "noktah merah" dalam peta kemiskinan Indonesia.

Keempat, naik kapal terbang. Ah, memikirkannya saja pun tak pantas.  Tak adalah ceritanya anak-anak petani miskin dari Tanah Batak berpikir naik kapal terbang ke Jawa. Terlalu mahal dan terlalu mewah.  Tak tahu diri jadinya.

Poltak sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menumpang kapal laut "Tampomas" dari Belawan ke Tanjungpriok.  Waktu itu layanan pelayaran "Tampomas" hanya sekali dalam seminggu.  

Eh, tiba di Medan, dapat kabar kapal "Tampomas" rusak, sehingga waktu keberangkatan harus ditunda kurang lebih seminggu kemudian. Itu pun hanya perkiraan, bisa lebih lama lagi.

Poltak tidak mungkin menunda keberangkatan ke Jawa.  Terlambat seminggu lagi, waktu pendaftaran ulang sudah lewat di Perguruan Tinggi tujuan.  Bisa-bisa dianggap Poltak mengundurkan diri.  Alamat gagal kuliah kalau sampai begitu.

Lantas, bagaimana jalan keluarnya?  

Falsifikasi Lewat Pengalaman Empiris

Di situlah manfaat pepatah "pucuk dicinta ulam tiba" tadi.  Kapal laut dicinta, kapal terbang yang tiba. Tak ada jalan lain. Dan tak hendak mundur tekad merantau.

Maka jadilah diputuskan, Poltak naik kapal terbang ke Jakarta.  Dibelilah tiket kapal terbang "Mandala Airlines".  Harganya, kalau tak salah, Rp 75,000.  Tiga kali lipat harga tiket kapal laut "Tampomas".

Tapi itulah satu-satunya pilihan. Tak lazim untuk anak petani Batak yang hendak kuliah ke Jawa. Maka ada konsekuensinya.  Harus sukses kuliahnya.  Malulah kalau gagal, sebab sudah diberangkatkan dengan kapal terbang.  Bah, bisa ditertawakan ikan mujair se-Danau Toba si Poltak itu.

Maka terpenuhilah falsifikasi pikiran di masa kecil oleh pengalaman empiris di masa dewasa.

Saat menaiki tangga kapal terbang di Lapangan Terbang Polonia, Medan, dan masuk ke dalam ruang kabin penumpang, maka percayalah Poltak pada ilmu-pengetahuan.  Kabin kapal terbang "Mandala" itu ternyata lebih besar dari kabin penumpang motor bus.  

Jumlah penumpangnya juga lebih banyak dari jumlah penumpang motor bus.  Kursi penumpang 4 buah per baris.  Bagus dan empuk. Harum pula. Tak seperti kursi penumpang motor bus "Betahamu" yang keras dan gompal-gompel.  

Tak ada pula "bangku tempel" di kapal terbang itu.  Kalau di motor bus, ada banyak "bangku tempel" di lorong tengah.  Tujuannya untuk menambah jumlah penumpang.

Poltak yang masuk kabin penumpang dengan wajah lugu (lucu dan gugup) itu harus ditolong oleh pramugari untuk menemukan nomor kursi yang tepat.  

Pramugari itu mempersilahkannya duduk dengan suara lembut.  Sekalian membantu Poltak yang kebingungan mengancingkan sabuk pengaman. Itu perlengkapan yang aneh bagi Poltak.

Beda benar dengan layanan kenek motor bus. Kenek bus itu rajin mengajak sebanyak mungkin penumpang ke dalam busnya.  Soal apakah penumpangnya bisa duduk nyaman di dalam atau tidak, tak perdulilah dia.  Satu-satunya yang diperdulikan kenek bus adalah tagihan ongkos. Duduk atau berdiri sama saja.

Pramugari tidak begitu.  Di mata Poltak mereka ramah semua.  Cantik pula dalam balutan seragam pramugari, rias wajah menawan, dan rambut disanggul anggun. Untuk pertama kalinya Poltak melihat langsung sejumlah "gadis (secantik model) kalender" dari dekat. "Gadis kalender" itu nyata adanya.

Tapi, biar bagaimanapun, bagi Poltak tidak seorangpun dari para "gadis kalender" itu yang bisa mengalahkan kecantikan Berta luar-dalam. Begitulah pikiran Poltak, waktu itu.

Nasib baik memihak Poltak. Dia duduk di kursi samping jendela kanan, bisa melihat sayap kanan di depannya.  Serta pemandangan lepas ke sebelah kanan kapal terbang.

Begitulah.  Saat kapal terbang lepas landas, Poltak bisa melihat gerakan menurun flap pada sayapnya. Bersamaan dengan itu kapal terbang terangkat naik ke angkasa. Setelah di ketinggian langit, flap tadi bergerak mendatar lagi.  Kapal terbang melayang lurus.

Melayang di langit, Poltak merasakan sensasi luar biasa. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia melayang di atas gumpalan-gumpalan awan putih. Seperti gulungan-gulungan kapas besar yang berarak di langit.

Poltak mencoba mencari kampungnya, Panatapan, di bawah sana.  Tidak tampak, atau dia tak mampu menemukannya.  

Tapi jangankan kampung Panatapan yang tak ada di peta kabupaten. Danau Toba pun tak tampak. Poltak hanya melihat liukan meander sungai, hutan, dan rumah-rumah sekecil atau lebih kecil dari kotak korek api. Entah di mana itu.

Pikir Poltak, mungkin di bawah sana ada anak kecil yang berpikir penumpang pesawat itu hanya satu orang dalam posisi tengkurap. Poltak tersenyum, geli mengingat sesat pikir yang kini telah terfalsifikasi oleh pengalamannya.

Ah, "gadis-gadis kalender" datang membagikan makanan dan minuman.  Mewah sekali.  Beda dengan bus. Penumpang harus membeli sendiri makanan lewat jendela saat bus berhenti di satu tempat.  Ya, hal serupa tak mungkin terjadi di udara. Tak ada pedagang asongan bersiliweran di samping jendela pesawat.  Bahkan tidak juga Gatotkaca.

Tiba saatnya kapal terbang mendarat di Lapangan Terbang Kemayoran Jakarta.  "Gadis-gadis kalender" berjalan sepanjang lorong kabin memeriksa sabuk pengaman penumpang.  

Poltak mendapat hadiah senyuman manis karena sabuk pengamannya terkunci sejak lepas landas. Senyuman manis yang dinikmatinya, sambil merasa bersalah pada Berta yang masih ada di Tanah Batak sana.

Sekali lagi, Poltak menyaksikan flap pada sayap kapal terbang bergerak ke arah atas. Bersamaan dengan itu badan kapal terbang perlahan bergerak turun, sampai kemudian mendarat mulus di landasan Lapangan Terbang Kemayoran.  

Terimakasih Tuhan, kapal terbang "Mandala" bisa juga menemukan lapangan pendaratannya.

Pada hari itu, Poltak tiba di Kemayoran Jakarta.  Sebuah tiba yang tidak saja mengguratkan awal sejarah baru dalam hidupnya, sejarah mahasiswa rantau.  Pada hari itu, lewat pengalaman empirik naik kapal terbang, Poltak berhasil mengalahkan kebebalan benaknya, yang menyimpan pikiran bahwa "kapal terbang itu sebesar peti mati dan jumlah penumpangnya satu orang pada posisi tengkurap".

Dan biaya untuk mengalahkan pikiran bebal itu adalah Rp 75,000. Biaya kuliah di PTN waktu itu Rp 25,000 per tahun.  Jadi, upaya menghilangkan pikiran bebal kira-kira setara dengan tiga tahun kuliah.

Tapi sebenarnya pikiran sesat itu tidak benar-benar hilang.  Masih ada dalam benak.  Hanya saja statusnya kini telah berubah menjadi lelucon untuk menertawakan kedunguan sendiri.

Ah, kamu jangan tertawa.  Ini bukan artikel humor.  Ini artikel pengakuan tentang keluguan atau mungkin kedunguan seorang lelaki bernama Poltak. (eFTe).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun