Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Logika MUI tentang Rudapaksa Santriwati

13 Desember 2021   05:59 Diperbarui: 13 Desember 2021   09:10 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentang aib HW dan keluarganya, tak perlu dijelaskan lagi.  Harusnya itu sejak kejadian rudapaksa pertama sudah menjadi aib besar. Kecuali HW dan keluarganya beranggapan hal itu sesuatu yang wajar. Bahkan mungkin sesuatu yang direncanakan. Kalau benar begitu, maka perlu diperiksa kesehatan mental HW sekeluarga.

Aib juga melekat pada pesantren MH karena sebagai sebuah sistem organisasi, dia gagal mencegah tindakan HW sejak 2016. Fakta jumlah korban rudapaksa 12 santriwati dan kelahiran 8 orang anak, mestinya bukan sesuatu yang bisa disembunyikan. 

Fakta tersebut terakhir mau tak mau memicu dugaan bahwa kegiatan rudapaksa itu sesuatu yang terencana pada tingkat organisasi pesantren. Bisa saja kemudian orang berpikir bahwa rudapaksa itu bukan semata tindakan individual HW lagi. Tapi sudah mengarah pada "program institusional" pesantren MH. Mungkin untuk tujuan "penciptaan obyek pendanaan", atau motif lain yang mestinya bisa diungkap di pengadilan.

Menjadi pertanyaan, apa motif MUI Kota Bandung minta untuk berhenti menyebarluaskan kasus itu dan minta aibnya ditutupi. Bukankah permintaan ini inkonsisten dengan kutukan MUI  atas peristiwa itu? Juga inkonsisten dengan klaim MUI bahwa MH tidak ada hubungannya dengan MUI dan lembaga keagamaan ((Islam) lainnya? 

Permintaan itu juga inkonsisten dengan pernyataan MUI untuk tidak memberikan advokasi atau pendampingan. Sebab meminta khalayak tak menyebarkan kasus bejat itu, dan menutup aib yang ditimbulkannya, adalah bentuk advokasi pasif terhadap HW.

Jadi alasan MUI untuk menutup aib itu, yakni untuk menyelamatkan masa depan anak-anak korban rudapaksa, terkesan sebagai kamuflase. Korban rudapaksa itu sudah diselamatkan dan dilindungi pemerintah (UPDT PPA Jabar dan PPA Polda Habar). Identitas mereka sejauh ini tidak dimunculkan di ruang publik.  

Lebih masuk akal menduga bahwa MUI sedang melakukan advokasi pasif. MUI terindikasi sedang  membentuk opini "tutup aib"  untuk menyelamatkan HW dari sorotan, kecaman, dan tekanan publik. 

Karena itu logis jika menduga MUI memiliki kepentingan dengan kasus rudapaksa di pesantren MH. Sekurang- kurangnya demi menjaga citra umat Islam. Dugaan ini menegasikan lima pernyataan pertama MUI.

Menyalahkan Media Sosial?

Nuansa advokasi MUI Kota Bandung pada MH juga tersurat dari dugaannya  "... bahwa perbuatan bejat ini, salah satunya, diinspirasi oleh beragam tayangan di media khususnya media sosial ...."

Tidak secara spesifik dikatakan tayangan macam apa. Hanya dihimbau agar "... seluruh pihak untuk berhati-hati ... menyebarluaskan tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan norma sosial maupun agama".

Bisa diduga yang dimaksud MUI adalah tayangan-tayangan konten pornografi dalam beragam tingkatannya. Ini jenis konten yang mati-matian diperangi Menkominfo. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun