Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ketika Bipang Menjadi Komoditas Politik Nasional

11 Mei 2021   06:40 Diperbarui: 11 Mei 2021   11:45 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari business2community.com

Jijay bombay rasanya harus ngomong perkara babi dan hanya babi lagi. Apakah tak ada jenis hewan lain yang mampu menyeruak ke lantai atas isu nasional selain babi? Kemana itu kawanan kampret dan cebong? Sudah tobat? Syukur bila demikian.

Setelah heboh soal babi ngepet made in Sawangan Depok, kini ganti heboh perkara bipang (babi panggang) Ambawang, Kalimantan Barat. Kuliner khas Dayak, etnis yang menempatkan babi sebagai hewan peradatan, itu mendadak viral setelah dipromosikan secara spontan oleh Presiden Joko Widodo.

Kata Pak Jokowi, karena masih pandemi Covid-19, demi keamanan bersama, tolong tahan diri,  tak usahlah mudik dulu. Kalau rindu kuliner lokal seperti gudeg Yogya, bandeng Semarang, siomay Bandung, pempek Palembang,  bipang Ambawang Kalimantan, dan lain-lain, tinggal pesan secara daring.

Ujaran itu dilontarkan menyambut Hari Bangga Buatan Indonesia. Bipang Ambawang adalah kuliner asli buatan Ambawang Kalbar, masih bagian dari Indonesia. Lalu apanya yang salah?  

Oh, kalau Jokowi yang ngomong, tentu saja selalu ada yang salah menurut para "politisi ahli kutu." Mereka adalah para politisi yang setiap saat kerjanya cuma cari "kutu politis" di kepala pemerintah, terutama presiden, untuk diumbar jadi  gosip nasional. Tapi kutu busuknya sendiri disimpan rapih di bawah "tilam indah", biasanya dalil agama.  

Lihatlah, sejumlah politisi yang mengklaim diri oposan di negeri ini langsung heboh menggoreng bipang menjadi komoditas politik murahan tingkat nasional. Katanya, Jokowi sudah keterlaluan. Masa menjelang Lebaran, Hari Raya Idul Fitri, tega-teganya promosi bipang, makanan yang diharamkan umat Muslim.

Ampun, deh para politisi ahli kutu itu. Jago banget memainkan argumen "manusia jerami" (strawman argument).  Ini jenis argumen gagal pikir, bikin isu sendiri, menghajarnya sendiri, lalu tepuk dada merasa menang sendiri.  Sementara presiden, sasaran kritik mereka, hanya bisa tepuk jidat.

Coba simak baik-baik ujaran Pak Jokowi itu. Apakah dia bicara soal Lebaran atau Idul Fitri? Tidak!  Dia bicara soal bahaya mudik saat ini. Ya, tapi mudik di Indonesia  konotasi sosiologisnya kan  Lebaran? Betul. Tapi tak semua orang mudik kan umat Muslim, banyak juga non-Muslim. Juga tak semua orang mudik ke Kalbar, tapi mayoritas antar daerah di Jawa, Lampung, dan Sumsel.

Jelasnya, karena Lebaran itu Hari Libur Nasional, migran non-Muslim asal Kalbar juga biasanya ikutan mudik.  Bukan untuk Lebaran, tapi melepas rindu pada kerabat yang tinggal di kampung. Lazimnya ada acara makan-makan juga. Nah, di situlah bipang tersaji. Di mana letak salahnya, ya.

Promosi bipang Ambawang dari Pak Jokowi itu jelas khusus ditujukan bagi migran non-Muslim asal Kalbar. Untuk migran Muslim  asal Jawa ditawarkan gudeg, bandeng, dan siomay. Untuk migran Muslim asal Lampung dan Sumsel ditawarkan pempek. Semua bisa diperoleh secara daring. Tak perlu pakai mudik.

Presiden Jokowi itu selalu berbicara untuk semua warga negara Indonesia. Jadi setiap warga negara harus cerdas mengambil ujaran yang relevan dengan identitas sosialnya. Kalau bukan dari golongan sosial penikmat bipang, ya, jangan diambil.  Ambil yang lain saja, yang tak diharamkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun