Angin munson barat di penghujung tahun 1969 lupa membawa serta hujan Desember ke Hutabolon dan sekitarnya. Atau, mungkin tak lupa. Tapi uap air bawaan angin tersangkut di pepuncakan Bukit Barisan di sebelah timur. Lalu mengembun jadi gemawan di situ.
Alhasil, pagi menjelang siang, udara Hutabolon cerah bermandikan sinar mentari. Pas benar dengan suasana di kelas dua. Cerah ceria menyambut berita gembira dari Guru Barita, "Semua murid kelas dua naik ke kelas tiga!"
"Oi, terik kali pun! Ayo, Â kita mandi ke Binanga!" Alogo meneriakkan ajakan.Â
Belum tengah hari. Murid-murid SD Hutabolon pulang lebih cepat. Tak ada pelajaran. Hanya pengumuman naik kelas.
"Ayo!" Poltak menerima ajakan. "Jonder, Jojor, Polmer, ayo ikut!" Kedua anak itu mengiyakan.
Kalau Poltak, Alogo, Jonder, Jojor dan Polmer sudah oke, berarti teman-teman mereka, murid-murid lelaki lainnya, pasti terbawa ikut. Binsar dan Bistok terbawa Poltak. Gomgom terbawa Alogo. Adian dan Togu terbawa Jonder. Marolop dan Nalom terbawa Jojor. Saur terbawa Polmer. Â
Binanga, sungai dan kampung, terletak di sebelah utara SD Hutabolon. Berada di sebuah lembah, kira-kira tigaratus meter jaraknya.
Bertigabelas orang, murid-murid lelaki itu menyusuri jalan setapak di kemiringan tebing, turun ke sungai. Itu jalan yang lazim dilalui Alogo, Gomgom, Berta, dan Tiur saat pergi-pulang sekolah. Mereka anak-anak Binanga.
"Berta! Jangan kau intip Si Poltak mandi. Pulang sana sama Si Tiur." Alogo menggodai Berta, pariban Si Poltak, setiba di bantaran sungai.
Karena searah jalan pulang, Berta dan Tiur dari tadi mengekor anak-anak lelaki itu.
"Aku tak keberatanlah!" sambar Poltak, disambut riuh derai tawa anak-anak lelaki lainnya.