Untuk pertama kalinya Poltak melihat tanaman bawang merah langsung  di lahan tani.  Selama ini dia hanya tahu umbi bawang merah saja.  Itu satu dari tiga bumbu dasar masakan Batak:  cabai merah, bawang merah, dan garam.Â
"Kenapa batu-batu itu bisa melekat di situ?  Tak lepas jatuh ke bawah?"  Pertanyaan itu dipendamnya dalam hati.  Tak sudi lagi dia menerima bentakan. "Tapi untung juga batu-batu itu tak lepas jatuh." Pikirnya, ngeri membayangkan akibatnya  jika batu-batu itu jatuh menimpa rumah-rumah di bawah. Â
Perjalanan merayapi tebing akhirnya usai juga. Poltak berserta nenek dan bapaknya tiba di dasar tebing, tepat di halaman rumah Nai Rumintang di kampung Silosung.
"Horas! Apakah kalian di rumah?" Bapak Poltak berseru di depan tangga rumah Nai Rumintang. Rumah itu, dan rumah-rumah lain di Silosung, adalah rumah panggung.
"Horas! Kami di rumah! Siapa yang datang?" Terdengan suara perempuan menyahut dari dalam rumah. Â Itu suara Nai Rumintang.
"Ini kami. Ompu Poltak dari Panatapan!" Nenek Poltak menjawab.
"Bah! Â Termakasih Tuhan! Â Kalian selamat sampai di sini!" Â Terdengar derap langkah bergegas ke pintu rumah. Â Nai Rumintang membukakan pintu. Â Ama Rumintang berdiri di belakangnya.
Nenek Poltak langsung menaiki tangga, masuk ke dalam rumah. Â Dia menjumput beras dari bakul kecil dalam tasnya. Â Lalu menaburkannya di ubun-ubun Nai Rumintang.
Saat menaburkan beras, nenek Poltak menyerukan doa, "Sai pir ma tondi muna. Dao ma angka parmaraan. Tuhanta Debata ma na tongtong mandongani hamu." Semoga jiwamu kuat. Jauh dari segala malapetaka. Tuhan Allah selalu menyertaimu.Â
Setelah itu nenek Poltak menaburkan beras ke atas, sehingga seluruh penghuni rumah, Â Nai Rumintang serta suami dan anak-anaknya terkena siraman boras si pir ni tondi. Â Itu adalah doa kepada Tuhan, agar seluruh penghuni rumah selamat, terhindar dari segala marabahaya.