Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Admin Kompasiana, Dengarlah Keluhan Kompasianer

19 Maret 2021   11:33 Diperbarui: 19 Maret 2021   12:51 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari awalbros.com

Saya sudah baca semua artikel itu.  Nadanya semua positif. Saya tak menemukan kata, frasa, kalimat, ataupun paragraf yang bisa ditafsirkan menyinggung suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Juga tak menemukan intensi atau sesuatu yang bersifat menista seseorang.  

Karena itu, mengutip Franky Sahilatua, "Aku heran!" Gerangan kata atau frasa sensitif apa yang menyebabkan artikel-artikel itu masuk karantina untuk diperiksa dan diberantas muatan "virus berbahaya" atau "bibit hama dan penyakit" yang terdapat di dalamnya. "Aku heran!"

Apakah kombinasi kata-kata berikut tergolong virus sosial berbahaya? "Hambalang-SBY-terbengkalai-Jokowi-membangun" (Bobby); "kudeta-militer-Myanmar-demonstrasi-rakyat" (Ronny); "Tuhan-Hatta-proklamator-jujur-Iwan Fals" (Khrisna); "politisi-agama-pemerintah" (Susy).

Semula saya berpikir katrantina ketat mungkin memang diberlakukan khusus artikel-artikel tentang politik/tokoh politik, agama/tokoh agama, dan militer/tokoh militer.  Tapi kemudian saya melihat ada artikel-artikel politik tentang "Nadiem-agama-pendidikan-antikonstitusi", dan artikel keagamaan tentang "pelajaran agama-Islam-Kristen" melenggang bebas di jalur "pilihan" Kompasiana.  Padahal menurut penilaian saya, dari segi substansi, artikel-artikel Daeng Khrisna, Romo Bobby, dan Mas Ronny yang dikarantina tak lebih buruk dari artikel-artikel tersebut. 

Saya sampai berpikir negatif.  Jangan-jangan Romo Bobby, Daeng Khrisna, Romo Bobby, dan Mas Susy, juga barangkali Felix Tani, sudah masuk program "pengawasan sistem K", karena dianggap "berbahaya."  Saya tak akan mengoreksi pikiran negatif ini. Sampai Admin K suatu saat memberi klarifikasi.

***

Jelas bahwa rekan-rekan Kompasianer tersebut di atas tidak nyaman dengan kebijakan karantina Admin K yang terkesan sebagai "jebakan betmen". Mereka juga kini merasa takaman menulis dan mengagihkan artikel-artikel berbau politik dan keagamaan di K.  Khawatir artikel masuk karantina lagi dan, bila terjadi berkali-kali, bisa saja akunnya diberangus Admin K. Sedih kali kalau itu terjadi. 

Keluhan para Kompasianer itu sederhana saja.  Jika benar Kompasiana adalah Rumah Bersama, mengapa Admin K jadi terkesan sangat otoriter dan tertutup?  Mengapa tidak ada komunikasi antara Admin K dan Kompasianer khususnya tentang kebijakan karantina artikel?  Admin K hanya bilang, demi menjaga kenyamanan Rumah Bersama, maka Kompasianer jangan mengagihkan artikel-artikel yang mengandung muatan kata/frasa terlarang.

Tapi apa saja kata/frasa terlarang itu, tak pernah dibukakan Admin K kepada Kompasianer.  Kata/frasa terlarang itu seolah menjadi instrumen tirani bagi Admin K.  Kompasianer tak pernah tahu salahnya di mana, tiba-tiba saja artikel yang telah disusun dengan intensi luhur masuk karantina. Menjadi artikel pesakitan di situ.  Alangkah menakutkan.

Saya berhipotesis, hanya ada satu alasan untuk menutupi senarai kata/frasa teralarang dalam artikel Kompasiana, yaitu "ukuran diskriminatif". Artinya, senarai kata/frasa terlarang itu hanya digunakan terhadap artikel yang membahas tokoh/kelompok sosial-politik tertentu.  Lebih parah lagi, kebijakan diskriminatif itu tak diberlakukan untuk Kompasianer tertentu, sekurangnya yang tak masuk program "pengawasan".

Itu sebuah hipotesis, pra-duga, kebenaran sementara yang bisa menjadi kebenaran mutlak jika Admin K tak pernah sudi menjawabnya.  Barangkali saja tujuannya memang demi "kebaikan bersama" tapi, jika demikian, tetap saja harus ada keterbukaan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun