Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kompasianer Mendapat Gaji Bulanan

7 Januari 2021   17:07 Diperbarui: 7 Januari 2021   17:14 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari tribunnews.com

Terbelalak membaca judul artikel ini?  Itu bukan hoaks.  Itu fakta dan target.  Hasil kajian Poltak Center.  Jadi tak perlu kagetlah.  Kaget itu perlu kalau Covid-19 mendadak pensiun dini.

Pertama, fakta Kompasianer mendapat gaji bulanan.  Itu benar untuk dua kondisi.  Jika Kompasianer kebetulan seorang pekerja formal maka dia mendapatkan gaji bulanan dari organisasinya.  Jika Kompasianer kebetulan pengangguran maka, dengan syarat bisa mencapai minimal 3,000 UV dari artikelnya, dia akan mendapat gaji bulanan dalam bentuk K-Rewards dari Min K. 

Kedua, target Kompasianer mendapat gaji bulanan.  Bukan karena digaji organisasi tempat kerjanya.  Juga bukan karena mendapat sekadar K-Rewards pelipur lara.  Tapi benar-benar digaji Min K sebagai Kompasianer Profesional.  Maksud saya, Kompasianer menjadi pekerjaan, karier.  Mungkinkah? Atau, mimpikah?  

Saya hendak membahas hal tersebut terakhir ini.  Itu menarik.  Bisa menjadi solusi untuk dua masalah dasar Kompasiana.  Pertama,  mengangkat Tingkat Partisipasi Penulisan Artikel (TPPA) Kompasianer.  Kedua, meningkatkan kinerja  Kompasiana diukur dari  jumlah pageviews (pv) dan Unique Visitor (UV).  Dua masalah itu sudah saya babar dalam dua artikel gratisan terdahulu (cari di  K. 5/1/21 dan K. 6/1/21).

Tapi tunggu dulu.  Mungkin ada yang berpikir,  "Lebay bangetlah jika Kompasianer berharap digaji." Harusnya justru berterimakasih kepada Grup Kompas-Gramedia (KG) karena sudah menyediakan Kompasiana sebagai blog gotongroyong,  "rumah bersama" gratisan untuk unjuk eksistensi kepenulisan.  Coba loe cuma nulis di blog pribadi, emangnye ade yang ngelirik.  

Saya jelaskan, ya.


***

Begini.  Kompasiana itu organisasi bisnis yang berorientasi laba, bagian dari bisnis Grup KG. Bukan organisasi sosial berorientasi nir-laba.  Karena itu, Kompasiana dimonetisasi.  Itu sebabnya ada iklan dan kerjasama bisnis dengan berbagai perusahaan.  Semakin tinggi angka pv dan UV semakin tinggi reit monetisasinya.  Dari situ dihasilkan uang, sebagai pendapatan dan ujungnya laba (profit) bersih.   Sebagian sangat kecil dari uang itu dibagikan kepada Kompasianer dalam bentuk K-Rewards dan hadiah-hadiah lainnya. Jangan dipikir itu dana bansos dari Kompasiana. Emangnya, Kompasiana organisasi filantropi?

Jadi, tolong jangan bersikap lugu dan lucu.  Min K jelas berpikir kapitalistik. Masa Kompasianer nyaman berpikir sosialistik.  Kalau struktur relasinya seperti itu, selamanya Kompasianer yang sosialis itu menyumbang kepada Min K yang kapitalis.  Tahu sifat kapitalis, bukan.  Meraup surplus (laba) sebesar mungkin, dengan biaya sekecil-kecilnya.  Termasuk dalam "biaya sekecil-kecilnya" itu adalah K-Rewards, dana komunitas, dan hadiah-hadiah lain.   Kompasianer selama ini sudah senang mendapat bagian "kecil" itu.  Miris, gak, sih?

Hal yang dipersoalkan di sini adalah aspek keadilan.  Apakah adil bila Kompasianer yang telah berjibaku menulis setiap hari untuk Kompasianan hanya diganjar K-Rewards puluhan, ratusan, atau satu dua juta per bulan?  Jumlah total K-Rewards itu mungkin tak lebih dari Rp 25 juta per bulan. Berapa laba Kompasiana per bulan dari program monetisasi?  Poltak Center tidak punya data.  Tapi mestinya minimal dalam bilangan ratusan juta rupiah.

Prinsip "pemberian"  Macell Mauss idealnya berlaku di sini.  Jika hanya membayar Rp 25 juta/bulan untuk Kompasianer,maka  jangan berharap Kompasiana akan mendapat artikel bermutu tinggi dari Kompasianer.  Prinsipnya, semakin besar imbalan untuk Kompasianer maka semakin besar pula umpan balik Kompasianer yaitu berupa jumlah artikel yang semakin banyak dan semakin bermutu.

Jelas di sini, kriteria jumlah UV, dulu 3,000 UV sekarang 1,500 UV, bukan kriteria yang adil. Sebab berlaku sama untuk artikel bermutu rendah, sedang, dan tinggi.  Kompasianer akan berpikir, untuk apa menulis artikel bermutu, jika dengan hanya menulis artikel bermutu rendah dengan judul bombastis bisa mendapatkan status terpopuler dan, karena itu, UV besar.  Hal seperti ini akan menyebabkan demotivasi pada Kompasianer serius, yang terbiasa menulis artikel bermutu tinggi.

Memang, untuk jangka pendek, artikel-artikel bermutu rendah atau sedang yang populer itu bisa mengangkat angka pv dan UV Kompasiana.  Tapi jangka panjang, hal itu akan mendegradasi mutu Kompasiana dan mendevaluasi nilai monetisasi, sehingga pembaca akan beralih ke media lain.  Jika itu terjadi, maka Kompasiana akan tutup buku, dan rekan-rekan Min K mungkin akan dimutasi menjadi tukang sunting.

Jadi, logikanya begini. Jika Kompasianer digaji, maka mereka memiliki kewajiban untuk menulis artikel bermutu tinggi secara rutin untuk Kompasiana.  Jika jumlah artikel bermutu tinggi semakin banyak, maka angka pv dan UV Kompasiana meningkat.  Jika pv dan UV semakin tinggi, maka nilai monetisasi Kompasiana juga semakin tinggi.  Itu namanya pertumbuhan.  Bukan stagnasi, seperti kinerja Kompasiana tahun 2017-2020.

***

Bagaimana skema penggajian Kompasianer? Ah, gampang.  Lazimnya penggajian, dasarnya pangkat dan kinerja.  Pangkat di Kompasiana sudah ada, mulai dari Debutan, Junior, Taruna, Penjelajah, Fanatik, dan Senior.  Mestinya pangkat itu bukan untuk gagah-gagahan.  Tapi bisa dikonversi ke dalam nilai uang, katakanlah sebagai "gaji pokok".  Paling kecil, gaji pokok Debutan dan paling besar Maestro (baru satu Kompasianer).  Bisa juga diberi batasan, sebagai ukuran loyalitas, Kompasianer yang dapat dipertimbangkan untuk digaji harus minimal Penjelajah.  Jadi jumlah yang berpeluang digaji akan lebih kecil.,

Apakah Kompasianer Penjelajah, Fanatik,dan Maestro otomatis akan mendapatkan gaji pokok bulanan?  Oh, tidak, enak aja.  Min K harus membuat kriteria eligibilitas untuk menentukan kelayakan Kompasianer mendapat gaji bulanan.  Misalnya:  harus terverifikasi; menulis minimal 5 artikel per minggu, dengan kriteria mutu dan topik artikel yang ditentukan oleh Min K; dan aktif dalam interaksi antar-Kompasianer.  Silahkan Min K tambahkan syarat  "keharusan" lainnya.

Karena sudah digaji, maka Kompasianer tentu harus tunduk pada aturan main.  Misalnya, status "bergaji"-nya bisa dicabut jika tidak menunjukkan kinerja minimal 5 artikel bermutu per minggu.  Atau, jika merasa tidak nyaman terikat, Kompasianer bergaji bisa saja mengundurkan diri.  Ada hak, ada pula kewajiban, bukan?,

Jika untuk tahap pertama yang bisa dipertimbangkan untuk mendapat gaji bulanan adalah Kompasianer Terverifikasi (biru), maka jumlahnya hanya 548 orang Kompasianer.  Jika disaring lagi menggunakan kriteria pangkat Penjelajah, Fanatik, dan Maestro maka jumlah itu mungkin tinggal 250 orang Kompasianer. Disaring lagi dengan kriteria TPPA, interaksi, dan lain-lain mungkin jumlahnya tinggal 100 orang saja.  

Pertanyaaannya sekarang, jika per Kompasianer Bergaji itu dibayar Rp 2 juta/bulan (20 artikel), apakah terlalu berat bagi Kompasiana untuk mengalokasikan dana gaji Rp 200 juta per bulan?  Pikirkan berapa pv dan UV dan tambahan pendapatan yang diperoleh Kompasiana dengan membayar "sekecil" itu.  

Mungkin ada yang protes.  Tak adil itu untuk Kompasianer Tervalidasi dan Non-Validasi, juga untuk mereka yang berpangkat Debutan , usampai Taruna. Hadeuh, usaha dong yang lebih keras, biar naik kelas.  Masa baru masuk kerja langsung menuntut hak seperti direktur?

***

Saya pikir, tak perlu  menunggu Prov. Al Pepeb untuk menjadi Min K tahun 2222 untuk merealisasikan Kompasianer Bergaji. Sebab pada tahun itu semua kita sudah kembali menjadi tanah.

Di sampul belakang buku tulis tahun 1960-an ada tertulis:  Don't wait untill tomorow what you can do today.  Artinya, menurut kakek Poltak, "Hiari ini kontan, besok boleh utang."  Maksudnya, Min K jangan diam saja. Langsung eksekusi tahun ini.  Begitu baru Min K progresif dan futuristik.

Artikel ini adalah artikel ketiga dari Trilogi Analisis Statistik Kompasiana yang dirilis oleh Poltak Center.  Jadi, Min K tenangkan hatimu, jangan kebat-kebit lagi, besok tidak akan ada artikel masukan untuk Min K.  Entah, kalau lusa, minggu depan, atau bulan depan, ya.  Itu tergantung pada ada tidaknya gaji peneliti di Poltak Center. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun