Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perlu Revolusi Ekonomi Rakyat di Timor Leste

9 November 2020   18:17 Diperbarui: 10 November 2020   21:56 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Timor Leste merdeka tahun 1999 (2002) adalah pilihan sadar. Karena itu harus dihargai, apa pun kondisinya kemudian. Bukannya ditertawakan hanya karena negara kecil yang masih muda  itu kini terpuruk dalam kemiskinan.  

Menyimpulkan kemiskinan Timor Leste itu berkorelasi kausatif dengan pilihan merdeka dari RI adalah sebuah kesesatan berpikir. Sebab begitu negara itu memilih mereka, maka pilihan langsung beralih ke tangan pemerintah dan rakyatnya. Mau maju atau terbelakang? 

Republik Indonesia tahun 1945, memanfaatkan momentum kekalahan Jepang  dalam PD II, juga memaksakan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Begitu merdeka maka pilihan selanjutnya adalah mau maju sebagai bangsa merdeka? Tapi mengisi kemerdekaan tidaklah semudah membalik telapak tangan.  

Faktanya tahun 1945-1965 negara Indonesia itu tergolong negara terbelakang. Padahal sudah sudah merdeka dan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Ekonomi rakyat tetap terbelakang. Jika ada yang kaya, maka hanya segelintir pengusaha Politik Benteng dan juga penguasa yang juga pengusaha.

Ekonomi nasional dan ekonomi rakyat Indonesia baru menggeliat bangun sejak tahun 1970-an. Itu awal era pembangunan berencana di bawah komando Presiden Soeharto.  

Ekonomi pedesaan didongkrak melalui revolusi hijau, intersifikasi pertanian didukung dengan KUD. Lalu pendidikan ditingkatkan melalui program SD Inpres, dan kesehatan melalui Puskesmas dan Posyandu.

Timor Leste saya kira sedang mengalami persoalan yang sama dengan Indonesia 1945-1965. Negara ini mungkin memerlukan perubahan visi dan strategi pembangunan, seperti perubahan dari masa Soekarno ke masa Soeharto di Indonesia. Tapi tentu harus minus pertumpahan darah.  

Pemerintah Timor Leste mungkin perlu "melupakan sejenak" harta karun minyak bumi, dan mencoba reorientasi dengan mengembangkan potensi sumberdaya agraria lainnya khususnya pertanian. Saran itu merujuk pada pengalaman riset saya ke Timor Leste tahun 1994 (masih Timor Timur). Sudah lama, memang, tapi mungkin masih relevan.

Bagian dari Dataran Natarbora, Timor Leste (Foto: facebook Timor Leste iha Mundu)
Bagian dari Dataran Natarbora, Timor Leste (Foto: facebook Timor Leste iha Mundu)
Waktu itu saya membantu satu tim peneliti atas arahan Bappenas untuk mengevaluasi potensi sumberdaya pembangunan pertanian di Timor Timur. Fokus riset adalah wilayah pantai selatan, antara Kabupaten Same dan Kabupaten Viqueque.   Wilayah itu dikenal sebagai dataran Natarbora, suatu hamparan tanah datar yang cocok untuk pertanian.

Kegiatan riset itu sendiri sebenarnya bukanlah pekerjaan yang nyaman.   Selalu ada risiko menjadi "sasaran tembak"  gerilyawan Fretelin yang bersembunyi di hutan-hutan sekitar.   

Kami waktu itu ditemani oleh tiga orang rekan dosen dari Universitas Timtim dan seorang staf Bappeda Provinsi. Belakangan, setelah kemerdekaan Timor Leste, saya tahu ada di antara teman ini yang pro-kemerdekaan. Itu mungkin menjelaskan mengapa kegiatan kami aman dari gangguan Fretelin.

Dataran Natarbora yang kami kunjungi untuk sebagian sudah diisi oleh transmigran asal Jawa. Mereka mengusahakan padi dan palawija di sana, sebagaimana layaknya warga transmigran asal Jawa.

Dari pengamatan, tampak  keadaan pertanian mereka cukup baik. Produktivitas lumayan, walau belum sebagus di Jawa tentu saja. Tapi secara ekonomi, jelas hidup mereka cukupan.

Para petani transmigran itu bukannya bebas dari kunjungan Fretelin. Ada kalanya Fretelin turun gunung menemui mereka meminta bekal makanan. Permintaan seperti itu dilayani saja karena menolak berarti mengundang petaka.

Hal yang menarik adalah perbedaan ekonomi pertanian antara transmigran dan warga asli Timtim waktu itu. Transmigran adalah petani padi sawah dan palawija. Sedangkan warga asli Timtim umumnya adalah petani lahan kering, khususnya perkebunan antara lain kopi. Perbedaaan ini berangkat dari perbedaan ekologi budaya orang Jawa (sawah, tegalan) dan orang Timor (kebun, lahan kering).

Aparat aktif penggerak pembangunan pertanian di Timtim waktu itu didominasi oleh orang luar-Timtim, khususnya dari Jawa. Bukannya tidak ada aparat dari warga Timtim asli. Tapi aparat yang lebih aktif adalah "orang luar".

Saya sempat tanyakan soal ini di kantor Kabupaten Same. Informasi yang saya dapatkan: aparat dari warga setempat hanya rajin masuk kantor di awal bulan untuk ambil gaji, setelah itu entah pergi ke mana.

Hal itu menjadi masalah. Dengan begitu, aparat warga asli lokal menjadi tidak cakap menjalankan tugas-tugas administrasi dan tugas-tugas pembangunan  Padahal itu kewajiban aparat pemerintah.

Masalah nyata, semacam brain drain, muncul ketika tahun 1999 referendum menetapkan Timor Leste merdeka atau lepas dari Indonesia. Petani-petani transmigran yang cakap itu, juga aparat pemerintah yang punya dedikasi kuat, memilih meninggalkan Timtim. Mereka pulang kembali ke Indonesia.  

Akibatnya Timor Leste kehilangan sumberdaya manusia pertanian terbaiknya. Baik itu petani maupun aparat pemerintah. Yang tinggal di sana adalah warga asli yang punya ekologi budaya pertanian lahan kering dan kebun ekstensif. serta aparat dinas pertanian yang kurang cakap.

Indonesia sendiri memerlukan waktu 25 tahun (1945-1970) untuk menemukan format pembangunan ekonomi nasional yang tepat. Tahun ini Timtim genap merdeka 21 tahun lamanya. Karena itu tulikanlah telinga terhadap suara-suara aneh untuk reintegrasi ke Indonesia. Kemerdekaan Timor Leste itu, seperti dulu Indonesia, adalah pilihan yang harus dipertanggungjawabkan.

Saran saya, ada baiknya Timor Leste belajar dari sejarah pembangunan ekonomi Indonesia sejak 1970. Mulailah dengan pembangunan pertanian. Sebab, sebenarnya, kekuatan riil rakyat dan ekonomi Timor Leste adalah pertanian.

Ekonomi Timor Leste sekarang ini adalah ekonomi semu. Periksakah data PDB 2017 (USD 2.5 milyar, Statita 2020) Kontributor terbesar PDB itu adalah sektor jasa (dana minyak, wisata, angkutan, dagang, dll) yaitu 78 persen. Pertanian dan industri masing-masing hanya 18 persen.

Faktanya mayoritas penduduk ada di pedesaan. Mereka adalah petani. Dengan kontribusi PDB pertanian hanya 18 persen, bisa dipastikan penduduk pedesaan Timor Leste miskin. Itu sebabnya ekonomi Timor Keste kini adalah ekonomi semu. Karena kontribusi pertanian inilah yang semestinya dominan, bukan jasa.

Dulu Indonesia menjalankan "revolusi hijau" untuk membangun ekonomi pertanian. Sekarang Timor Leste ada baiknya merumuskan sebuah "revolusi ekonomi rakyat". Kesampingkanlah sejenak mimpi hidup enak dengan rejeki minyak. Lupakan mimpi lompatan besar menjadi negara petrodollar.

Revolusi ekonomi rakyat Timor Leste berarti revolusi pertanian. Sebuah program modernisasi pertanian terpadu harus terjadi di sana. Petani harus dilatih dan aparat dinas pertanian harus ditingkatkan kapasitasnya. Teknologi pertanian harus ditingkatkan.   

Tanpa revolusi ekonomi pertanian rakyat, saya pikir, sulit berharap Timor Leste keluar dari perangkap kemiskinan. Belajarlah pada sejarah ekonomi Indonesia. Lalu tetaplah teguh dengan pilihan Timor Leste merdeka.

Revolusi politik sudah usai. Sekarang saatnya revolusi ekonomi.  Ayo, Timor Leste, bangkitlah!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun