Jika Menkes Terawan kinerjanya buruk, ada atau tidak pandemi Covid-19, maka Presiden Jokowi pasti akan menggantinya. Faktanya, Presiden Jokowi tidak menggantinya. Artinya, sejauh ini, kinerja Terawan tidak cukup buruk sebagai alasan untuk memecatnya. Â
Dalam acara Mata Najwa pada 23 April 2020, Presiden Jokowi tegas menilai Menkes Terawan sudah bekerja sangat keras, tanpa membantah adanya berbagai kekurangan. "Setiap pekerjaan ada yang menilai," kata Pak Jokowi. Maksudnya, dialah yang punya hak dan kewajiban menilai Terawan.
Jika mengikuti perkembangan komunikasi pemerintah terkait pandemi Covid-19, maka sangat jelas bahwa Presiden Jokowi sejak mula telah menugaskan Menkes Terawan hanya dan hanya bekerja saja. Jangan bicara, diam saja dalam kerja keras.
Hal itu sudah jelas terbaca saat di awal pandemi, fungsi juru bicara Tim Gugus Tugas Covid-19 didelegasikan dari Menkes Terawan ke dr. Yurianto, kemudian ditambah dengan dr. Reisa. Â
Sekarang, sudah ditunjuk pula Prof. Wiku selaku juru bicara Satgas Penanganan Covid-19. Kata Presiden Jokowi, "Saya minta setiap mau statement yang urusan mengenai Covid-19, betul-betul ditanyakan lebih dulu dengan yang namanya Prof. Wiku. Sehingga tidak semua berkomentar. Satu itu saja yang namanya Prof. Wiku itu diajak, kalau memang mau bicara." (wartakotalive.com, 24/8/2020).
Maksud Presiden Jokowi sangat jelas. Tidak boleh ada menteri yang bicara soal Covid-19, termasuk Menteri Kesehatan. Frasa "tanya Prof. Wiku" dan "ajak Prof. Wiku" adalah kode keras agar menteri fokus mengerjakan tugasnya dan tak perlu ikut bicara soal Covid-19. Di atas Prof. Wiku, yang boleh bicara adalah Presiden Jokowi sendiri. Â
Perkecualian, baru-baru ini di acara Mata Najwa, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan memang bicara soal penanganan Covid-19. Tapi di situ fokus Luhut adalah manajamen pengendalian Covid-19 di 9 provinsi dengan status pandemi terparah.
Jadi, ketika dalam Mata Najwa (28/9/2020) tiba-tiba Najwa Shihab tampil mewawancarai "kursi kosong" Menkes Terawan, sebagai bentuk "kekesalan" karena Terawan tidak kunjung sudi diwawancarai, saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Dari segi kreativitas, jelas acara wawancara dengan "kursi kosong Terawan" itu sangat kreatif. Dari segi demokrasi, hal itu juga dapat dibenarkan sebagai artikulasi hak demokrasi di ruang publik.Â
Tapi bagaimana dari segi etika? Saya tidak melihatnya sebagai suatu tindakan etis. Alasannya sederhana saja. Sudah tahu Menkes Terawan tidak diperbolehkan bicara soal Covid-19 di ruang publik, kecuali di depan DPR, masih memaksakan diri untuk mengundangnya ke Mata Najwa.Â
Lalu karena Terawan tidak bersedia, dan hal itu pasti sudah diduga sebelumnya oleh Najwa, lantas dibuat sebuah panggung pertunjukan demokrasi untuk mempermalukan Menkes Terawan. Â
Di atas panggung itu, Menkes Terawan secara in absentia diberondong Najwa dengan sejumlah pertanyaan bernada menyidik bahkan menghakimi.
Salah satunya pertanyaan tentang kesediaan Menkes Terawan mengundurkan diri seperti sejumlah Menkes di negara lain. Pertanyaan ini tidak salah, tapi sudah implisit menghakimi Menkes Terawan. Secara tidak langsung juga menyindir Presiden Jokowi, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penunjukkan Terawan sebagai menkes.
Memang betul bahwa publik berhak tahu semua kebijakan dan program pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Namun hal itu tidak berarti pula bahwa seorang menteri harus menyampaikannya lewat acara Mata Najwa. Seolah-olah acara itu adalah representasi dari publik. Â
Harus diingat ada DPR RI sebagai representasi rakyat Indonesia. Bahwa kinerja DPR RI mungkin kurang memuaskan, hal itu tidak berarti bahwa Mata Najwa menjadi alternatif bagi DPR RI. Â
Tindakan seperti acara Mata Najwa itu, sekalipun kreatif, menurut saya bukan saja tidak etis tetapi juga merecoki Menkes Terawan yang sedang fokus kerja keras menanggulangi pandemi Covid-19.
Saya teringat pada teguran keras Luhut Panjaitan kepada Najwa Shihab ketika, dalam acara dialog, Najwa menayangkan foto kerumunan massa dalam rangka deklarasi paslon Pilkada. Luhut mengingatkan, mengapa Najwa harus melancarkan provokasi dengan menampilkan foto semacam itu. Bukan soal benar atau salah, tapi soal manfaat atau mudarat.
Satu hal yang harus dipahami, Kementerian Kesehatan adalah institusi yang paling tinggi tingkat kegiatan dan stresnya dalam penanganan pandemi Covid-19. Fakta bahwa kantor Kemenkes kini menjadi "klaster penularan" harus dipahami dalam konteks itu.
Ketika kementerian lain bisa menjalankan WFH secara optimal, hal itu tak berlaku untuk Kemenkes. Bisa dibayangkan akan separah apa kini pandemi Covid-19 di Indonesia, jika WFH diberlakukan untuk mayoritas aparat Kementerian Kesehatan.
Di sisi lain, kinerja Kemenkes dalam penanggulangan Covid-19 sangat ditentukan juga oleh faktor tingkat kemiskinan sosial, yaitu kadar solidaritas sosial atau tanggung jawab sosial dalam masyarakat. Sangat jelas bahwa masyarakat Indonesia pada semua lapisan sosial dan golongan sosial adalah pengidap kemiskinan sosial yang kronis. Â
Hal itu terbukti dari rendahnya disiplin masyarakat, baik warga maupun aparat, baik orang miskin maupun orang kaya secara ekonomi, untuk mematuhi protokol Covid-19, khususnya kebijakan jarak fisik dan jarak sosial. Melanggar protokol "jarak" berarti indikasi kemiskinan sosial, ketiadaan tanggung jawab sosial atau tanggung jawab terhadap keselamatan bersama. Â
Kemiskinan sosial semacam itu kontraproduktif terhadap upaya-upaya penanggulangan Covid-19 yang dilaksanakan Kemenkes. Kementerian ini menjadi seperti Sysiphus yang mendorong batu ke puncak gunung. Tapi kemudian, akibat kemiskinan sosial masyarakat, klaster pandemi Covid-19 tumbuh lagi, sehingga Sysiphus (kinerja Kemenkes) merosot lagi ke bawah.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa Presiden Jokowi sudah minta Menkes Terawan bekerja keras dalam diam. Maka biarkanlah Terawan diam dalam kerja kerasnya.
Jika ada yang dinilai tak beres dalam kerjanya, silahkan kumpulkan fakta dan ungkapkan sebagai kritik di ruang publik, tanpa harus minta Terawan bicara. Â
Tak perlulah membuat panggung pertunjukan demokrasi "wawancara kursi kosong", atau apa pun formatnya, untuk menyindir atau menekannya. Pertunjukan semacam itu adalah panggung "keangkuhan demokrasi", bukan panggung untuk Terawan. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI