Istilah "hilang" di sini memang melebih-lebihkan. Agar terkesan heboh karena ini memang soal yang serius banget.
Benda-benda yang akan saya absen nanti tidak benar-benar punah (extinc). Â Masih tetap ada, tapi jumlahnya terlalu kecil, karena fungsinya telah digantikan benda-benda "modern" berbahan plastik. Â
Benar, seperti pernah saya tulis di sini, "revolusi plastik"-lah yang membuat benda-benda itu hilang sejak 1970-an (lihat "Revolusi Plastik di Tanah Batak", K.13.03.2019). Benda-benda yang hilang itu produk rumahan berbahan baku alami. Â
Memang begitulah hukumnya mungkin. Teknologi modern semakin menjauhkan orang Batak dari alam, sekaligus melumpuhkan kreativitas asli lokal. Â Peradaban modern telah dialami sebagai penyingkiran pengetahuan dan teknologi asli.
Baiklah saya absen benda-benda yang hilang dari peradaban "Batak Modern" itu. Â Siapa tahu ada yang menjawab "Hadir!" Sekurang-kurangnya dari rak museum.
***
Tali Ijuk. Tali ini benar-benar terbuat dari ijuk enau (nira). Kuat dan tahan lama. Pembuatannya penuh perjuangan dan menyebalkan untuk anak kecil. Â
Bahan ijuknya harus diambil dari batang atas enau. Tidak mudah karena harus memanjat sambil menghindari tusukan taruget, lidi ijuk, ijuk yang membesar dan mengeras seperti duri landak. Â
Cara memilinnya begini. Seorang, biasanya lelaki dewasa, duduk di depan bal-balan ijuk, memberi pakan ijuk ke alat piuan, pemilin yang harus diputar ajeg searah sambil melangkah mundur. Ini tugas anak kecil dan menyebalkan karena tidak bisa bermain. Â
Untuk mendapatkan tali 10 meter, harus memilin sepanjang 30 meter. Ini kemudian dilipat tiga sampai dihasilkan tali berpilin tiga sepanjang 10 meter. Merepotkan? Ya, iyalah! Â
Tali ijuk itu dulu serbaguna. Tapi paling lazim digunakan untuk  menyatukan bagian-bagian atap rumah dengan teknik ikatan.  Lalu juga untuk menambatkan kerbau, kuda dan lembu di padang penggembalaan.