Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benda-benda yang Hilang dari Peradaban Batak Modern

31 Mei 2020   07:46 Diperbarui: 31 Mei 2020   16:44 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nenek ini mungkin perempuan terakhir penganyam tikar Batak (Foto: tobatabo.com)

Istilah "hilang" di sini memang melebih-lebihkan. Agar terkesan heboh karena ini memang soal yang serius banget.

Benda-benda yang akan saya absen nanti tidak benar-benar punah (extinc).  Masih tetap ada, tapi jumlahnya terlalu kecil, karena fungsinya telah digantikan benda-benda "modern" berbahan plastik.  

Benar, seperti pernah saya tulis di sini, "revolusi plastik"-lah yang membuat benda-benda itu hilang sejak 1970-an (lihat "Revolusi Plastik di Tanah Batak", K.13.03.2019). Benda-benda yang hilang itu produk rumahan berbahan baku alami.  

Memang begitulah hukumnya mungkin. Teknologi modern semakin menjauhkan orang Batak dari alam, sekaligus melumpuhkan kreativitas asli lokal.  Peradaban modern telah dialami sebagai penyingkiran pengetahuan dan teknologi asli.

Baiklah saya absen benda-benda yang hilang dari peradaban "Batak Modern" itu.  Siapa tahu ada yang menjawab "Hadir!" Sekurang-kurangnya dari rak museum.

***
Tali Ijuk. Tali ini benar-benar terbuat dari ijuk enau (nira). Kuat dan tahan lama. Pembuatannya penuh perjuangan dan menyebalkan untuk anak kecil.  

Bahan ijuknya harus diambil dari batang atas enau. Tidak mudah karena harus memanjat sambil menghindari tusukan taruget, lidi ijuk, ijuk yang membesar dan mengeras seperti duri landak.  

Tali ijuk (Foto: picuki.com)
Tali ijuk (Foto: picuki.com)
Ijuk harus dibersihkan dulu. Lidi dan serat yang kasar dibuang.  Sampai tersisa serat ijuk yang halus dan lentur. Nah, itu bahan baku tali yang bagus. Tinggal dipilin.

Cara memilinnya begini. Seorang, biasanya lelaki dewasa, duduk di depan bal-balan ijuk, memberi pakan ijuk ke alat piuan, pemilin yang harus diputar ajeg searah sambil melangkah mundur. Ini tugas anak kecil dan menyebalkan karena tidak bisa bermain.  

Untuk mendapatkan tali 10 meter, harus memilin sepanjang 30 meter. Ini kemudian dilipat tiga sampai dihasilkan tali berpilin tiga sepanjang 10 meter. Merepotkan? Ya, iyalah!  

Tali ijuk itu dulu serbaguna. Tapi paling lazim digunakan untuk  menyatukan bagian-bagian atap rumah dengan teknik ikatan.  Lalu juga untuk menambatkan kerbau, kuda dan lembu di padang penggembalaan.

Dengan masuknya tali nilon dan tali rafia tahun 1970-an, maka eksistensi tali ijuk berangasur-angsur memudar sampai akhirnya hilang.  

Tikar Mendong. Tumbuhan air baion, mendong (Ind.) adalah bahan baku tikar alami yang paling umum  di Tanah Batak.  Tanaman mendongnya tumbuh di rawa, liar atau sengaja dibudi-dayakan. Selain mendong, daun pandan duri juga bisa digunakan.

Proses pembuatan tikar mendong itu lama. Mendong harus dijemur dulu sampai benar-benar kering.  Setelah itu ditumbuk di atas balok sampai gepeng.  Baru setelah itu siap dianyam.

Perempuan setia penganyam tikar Batak (Foto: tribunnews.com)
Perempuan setia penganyam tikar Batak (Foto: tribunnews.com)
Menganyam tikar itu, orang Batak bilang mangaletek, lazimnya pekerjaan perempuan menikah.  Dikerjakan sebelum tidur malam, atau subuh hari, kalau tidak sedang diganggu suaminya. Karena itu pengerjaannya bisa makan waktu mingguan atau bulanan, tergantung luas tikarnya.

Ada tiga ukuran tikar: kecil, sedang, besar. Tikar ukuran kecil lazim digunakan untuk alas tidur dan alas duduk di lantai dapur.  Tikar ukuran sedang untuk siluban, kelambu tidur. Juga untuk alas duduk keluarga saat makan bersama. Sedangan tikar ukuran besar digunakan untuk alas jemur padi. Juga untuk alas duduk saat pesta keluarga dan pesta adat di halaman rumah.

Tikar mendong, dalam bahasa Batak disebut amak atau lage, dulu adalah perlengkapan wajib bagi setiap rumahtangga Batak. Tidak ada rumah tanpa tikar mendong.  
Lagi, kehadiran tikar dan terpal plastik sejak 1970-an telah menggusur tikar mendong dari rumah-rumah orang Batak. Tikar plastik lebih murah dan lebih awet, tahan air. Juga tidak perlu repot menganyam sendiri.  Perempuan-perempuan Batak "modern" tidak bisa lagi menganyam tikar.

Hilangnya tikar mendong ini mewakili juga hilangnya benda-benda anyaman lainnya. Antara lain tandok (bakul kecil untuk tempat beras ke pesta adat) dan bahul-bahul (bakul besar) yang kini digantikan bakul plastik dan karung plastik.  Juga hadang-hadangan, tas bahu/selempang, yang kini digantikan tas plastik.

Keranjang Rotan. Orang Batak tempo dulu menggunakan keranjang rotan untuk aneka keperluan. Bisa untuk wadah belanjaan ke onan, pasar mingguan.  Wadah panen sayuran, kopi, dan buah-buahan di kebun.  Wadah penyimpanan bahan makanan, antara lain ikan asin, digantung di atas tungku. Pokoknya, ini wadah serba guna.

Ada satu jenis keranjang rotan segi empat, dinamai ampang atau jual, yang juga digunakan sebagai ukuran padi atau beras. Juga digunakan sebagai simbol dalam adat perkawinan: suhi ni ampang na opat, empat sudut keranjang.  Ini menunjuk pada empat pihak kerabat yang wajib diulosi (mendapat ulos) pada suatu upacara perkawinan Batak. (Ini perlu uraian khusus).

Ampang, keranjang rotan khas Batak (Foto: batakone.wordpress.com)
Ampang, keranjang rotan khas Batak (Foto: batakone.wordpress.com)
Pembuatan keranjang rotan itu pekerjaan berat, lazimnya pekerjaan laki-laki.  Rotan harus dicari dan dipanen dulu di hutan. Bisa rotan besar bisa pula rotan kecil, tergantung pada jenis keranjang yang akan dibuat. Pengambilan rotan di hutan ini bisa makan waktu seharian.

Setelah itu rotan dibersihkan, lalu dibelah dua, seterusnya dijemur sampau kering benar. Setelah kering, rotan dibersihkan lagi, bagian kambiumnya yang getas dibuang. Rotan besar biasanya dibelah lagi menjadi kebih tipis.

Setelah rotan disiapkan dalam bentuk bilah-bilah halus-tipis panjang, barulah bisa dianyam membentuk keranjang. Bisa keranjang kasar (bahan rotan besar) atau keranjang halus (bahan rotan kecil).

Lazimnya orang Batak pedesaan dulu membuat keranjang rotan pada masa senggang tani, yaitu masa menunggu panen padi di sawah. Jadi ini kegiatan ekonomi sampingan sebenarnya.

Dengan membanjirnya produk keranjang plastik tahun 1970-an, keberadaan keranjang rotan semakin pudar dalam masyarakat Batak. Hanya ampang atau jual yang masih eksis sebagai perangkat adat. Karena pada suhi ni ampang na opat di pihak "penerima isteri"  ada unsur sihunti ampang (penyunggi ampang) yaitu kakak petempuan atau namboru (saudara  perempuan ayah) dari pengantin laki.

Hilangnya keranjang rotan ini mewakili juga hilangnya tas-tas ayaman rotan dari peradaban masyarakat Batak "modern".

***
Teknologi modern, dalam kasus ini teknologi plastik, memang bersifat melumpuhkan keahlian asli dan menggusur produk-produk alami lokal seperti tali ijuk, tikar mendong, dan keranjang rotan dalam masyarakat Batak.

Menggunakan perlengkapan berbahan alami itu dianggap kuno, ketinggalan zaman.  Orang Batak modern itu pakai barang plastik, praktis dan ekonomis, tahan lama pula. Tinggal beli di pasar, tak perlu susah payah bikin sendiri.

Tapi sekarang, dengan tumbuhnya kesadaran plastik itu masalah serius dunia, bahwa "plastik itu akan membunuhmu", orang-orang Batak yang berpikiran "ramah lingkungan" atau "kembali ke alam" mulai membuat produk-produk tas anyaman mendobg dan rotan.  

Memang mereka masih sebatas menghasilkan produk fashion modern berbahan alami. Semacam modernisasi tradisi dalam budaya kebendaan.  Tapi itu harus dihargai sebagai awal yang baik.

Mumpung sekarang Danau Toba sedang didandani menjadi destinasi wisata kelas dunia, baiklah jika produk-produk alami yang telah hilang itu dipulihkan lagi sebagai "nilai ekologis" pada label "kelas dunia" itu. 

Saya membayangkan hotel-hotel menyediakan layanan kamar tidur pakai tikar, misalnya. Lalu wisatawan didorong untuk ranah lingkungan, misalnya jalan-jalan dan belanja pakai tas rotan atau mendong.

Jadi, ayolah orang Batak.  Pemerintahnya, pengusahanya dan masyarakat madaninya. Mari pulihkan lagi eksistensi produk-produk berbahan baku alami khas Batak sebagai penciri "kelas dunia" Tanah Batak, khususnya wisata Danau Toba.  Agar kelak dunia mengenal Tanah Batak sebagai ikon daerah "ramah lingkungan" di Indonesia.

Mari bergerak, jangan coma omong doang. Ngomong itu biarlah urusan Felix Tani, karena hanya itu yang dia bisa.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun