Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Nikah Semarga Terlarang dalam Masyarakat Batak?

26 Mei 2020   14:16 Diperbarui: 28 Mei 2020   14:15 9152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi pengantin Batak (Foto: pariwisatasumut.net/@chickojerico)

"Jolo tiniptip sanggar, laho bahen huruhuruan; Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturon." Artinya: "Batang pimping dipotong, untuk membuat sangkar burung; Tanyakan dulu marga, agar tahu kekerabatan."

Itu etikanya kalau seorang pemuda Batak naksir pada seorang pemudi Batak yang belum dikenalnya. Entah itu di bus umum, kapal danau, pasar, gereja, pentas seni, pesta muda-mudi atau pesta adat.

Tujuan menanyakan marga itu untuk memastikan keduanya tidak semarga. Atau mereka bukan dari dua marga yang menurut padan, perjanjian adat, tidak boleh saling menikah.

Jika keduanya semarga, maka lupakan saja rasa cinta. Keduanya secara adat dianggap namariboto, saudara dan saudari sedarah. Pernikahan antara keduanya dianggap kawin sumbang yang dilarang dan terlarang.

Atau jika keduanya, walau beda marga, berasal dari satu rumpun yang secara adat terlarang menikah, maka lupakan jugalah rasa cinta. 

Larangan seperti ini, berdasar padan, berlaku misalnya pada rumpun marga Parsadaan Naiambaton (Parna), mencakup marga-marga Simbolon, Tamba, Saragi, dan Munte serta cabang-cabangnya, sekitar 80-an marga. 

Jadi, pernikahan Simbolon dan Saragi misalnya dianggap kawin sumbang, sehingga dilarang dan terlarang.

Pertanyaan kritisnya, mengapa pernikahan semarga terlarang dalam masyarakat Batak (Toba), walau secara biologis sebenarnya tidak ada lagi hubungan darah. Misalnya antara pemuda dan pemudi yang sudah terpisah ke samping sampai belasan sundut, generasi.

***
Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu harus dipahami struktur masyarakat adat Batak.

Struktur masyarakat adat Batak adalah struktus genealogis yang disebut Dalihan Natolu, Tungku Kaki-Tiga. Struktur itu tegak oleh tiga kelompok status utama yaitu hulahula, dongan tubu, dan boru.

Tiga kelompok tersebut terikat oleh hubungan sosial adat yang bersifat tegas, tidak dapat dipertukarkan. Hulahula adalah pihak marga pengambilan isteri. Boru adalah pihak marga penerima isteri. Sedangkan dongan tubu adalah kerabat sedarah atau semarga dari hulahula dan boru.

Struktur ini sudah didirikan sejak generasi awal orang Batak, yaitu sejak dua belahan sosial Batak terbentuk yaitu Belahan Lontung (keturunan Tateabulan/Ilontungon/Simarata) dan Belahan Sumba (keturunan Isumbaon). Dua kelompok ini diperkirakan terbentuk pada tahun 1000-an.

Berdasar sejarah genealogis orang Batak, secara tradisi Belahan Lontung adalah pihak marga-marga pengambilan isteri bagi pihak marga-marga Belahan Sumba. Artinya Lontung adalah hulahula bagi Sumba yang otomatis berstatus boru.

Dinasti Sisingamangaraja, marga Sinambela dari Belahan Sumba, dapat menjadi contoh klasik di sini. Sisingamangaraja I sampai XI seluruhnya mengambil isteri dari marga Belahan Lontung, terutama Situmorang. 

Perkecualian baru terjadi pada Sisingamangaraja XII yang, karena kepentingan politik penyatuan dua belahan itu menjadi "Kerajaan Batak", mengambil isteri baik dari Lontung (Situmorang, Sagala,Siregar, Berutu) maupun Sumba (Simanjuntak dan Nadeak).

Secara keseluruhan bisa dikatakan Situmorang-Lontung adalah hulahula bagi Sisingamangaraja Sinambela-Sumba yang berada di posisi boru.

Dalam masyarakat Batak berlaku suatu norma: "Tuat sian na dolok martungkothon sialagundi; Na pinungka ni parjolo diihuthon na parpudi". Artinya: "Turun dari bukit bertongkat kayu legundi; Tradisi leluhur dilanjutkan keturunannya."

Begitulah. Tradisi satu marga/rumpun marga hulahula utama, disebut mataniari (matahari), untuk satu marga/rumpun marga boru tetap diikuti hingga kini. Atau sekurang-kurangnya diakui secara adat, walau dalam prakteknya tidak selalu diikuti secara kaku.

Hal terakhir ini maksudnya pasangan marga hulahula dan marga boru tidak harus menjadi pemetaan "satu-satu" sepanjang masa. Jadi laki-laki keturunan Sisingamangaraja tidak wajib selamanya mengambil marga Situmorang-Lontung sebagai isteri. Bisa juga dari marga Sumba, seperti dilakukan Sisibgamangaraja XII. 

Intinya, pernikahan antara dua sejoli itu harus perkawinan beda marga. Atau dua sejoli beda rumpun marga, dalam hal ada larangan perkawinan antar marga serumpun, seperti kasus Parna tadi.

Tujuan larangan nikah semarga itu adalah untuk pemeliharaan dan kelestarian tatanan atau struktur Dalihan Natolu dalam masyarakat adat Batak. Misalkan ada pernikahan pemuda dan pemudi sama-sama bermarga Sinaga, maka status hulahula dan boru tidak bisa ditentukan. Sebab perkawinan itu terjadi antara orang- orang semarga. Hulahula dan boru selalu bermarga beda.

Pada contoh itu tidak mungkin Sinaga menjadi hulahula dari Sinaga. Atau sebaliknya Sinaga menjadi boru untuk Sinaga. Hubungan Sinaga dan Sinaga selamanya adalah dongan tubu.

Jelas bahwa pernikahan semarga akan meruntuhkan sendi-sendi Dalihan Natolu, sebagai tatanan sosial masyarakat Batak. Jika Dalihan Natolu tumbang, maka rubuh pula eksistensi bangun sosial-budaya masyarakat Batak.

Itu sebabnya perkawinan dalam masyarakat Batak bukan sebatas keputusan sepasang manusia, melainkan keputusan komunitas adat. Karena salah satu fungsi perkawinan dalam masyarakat Batak adalah menegakkan tatanan Dalihan Natolu.

Pelanggaran terhadap larangan itu akan diganjar sanksi sosial berat. Pasangan itu akan diusir keluar kampung dan tidak diakui secara adat. Artinya tidak diakui eksistensinya dalam tatanan sosial adat Batak. Dengan kata lain, "dipecat" secara adat sebagai orang Batak.  

Bahkan sanksinya bisa lebih parah lagi, jika merujuk sejarah sosial-adat Batak. 

Sebagai contoh, dalam legenda Sariburaja (putra kedua Lontung/Tateabulan), yang dikisahkan menikah dengan kembarannya Boru Pareme, keduanya diputuskan oleh adik-adiknya (Limbong, Sagala, Malau) untuk dibunuh. 

Walaupun kemudian tidak jadi dibunuh, moral legenda itu sangatlah terang: nikah semarga tidak beradat, merusak tatanan sosial adat, aib besar, sehingga pelakunya "harus dilenyapkan".

***
Ada satu pendapat yang mengatakan nikah semarga dilarang pada orang Batak karena tergolong inses yang bisa menyebabkan cacat genetik pada keturunan.

Walaupun dari segi ilmu biologi dan kesehatan pendapat itu benar, tapi itu bukan alasan larangan kawin sumbang pada orang Batak. Buktinya perkawinan dengan pariban, putri tulang (saudara kandung ibu) atau putra namboru (saudari kandung ayah), sangat dianjurkan secara adat. Padahal perkawinan semacam itu tergolong inses, karena ayah atau ibu mempelai masih saudara kandung dengan ayah atau ibu mertua.

Satu-satunya alasan menganjurkan pernikahan semacam itu adalah alasan kesesuaian dengan adat Dalihan Natolu. Jika seorang pemuda menikah dengan putri tulang kandungnya, berarti dia mengikuti jejak ayahnya, menikah dengan marga hula-hula. Dengan begitu kedudukannya sebagai boru semakin kuat.  

Kini pernikahan antar pariban itu sedapat mungkin dicegah lembaga gereja, antara lain Gereja Katolik. Pertimbangannya, hal itu tergolong inses yang tidak pantas (dosa) dan dapat menyebabkan cacat genetik pada keturunan.

Jadi, alasan pokok larangan pernikahan semarga pada orang Batak adalah untuk menegakkan dan melestarikan adat Dalihan Natolu, pilar eksistensi sosial, ekonomi, politik, dan budaya orang Batak. Tanpa Dalihan Natolu, tak ada masyarakat adat Batak.

Di era milenial ini, semakin banyak warga muda yang menggugat larangan itu, dengan berbagai alasan. Antara lain ada argumen bahwa setelah lewat belasan generasi dan terpisah jauh ke samping, sehingga tidak segaris darah lagi walau semarga, mestinya tidak ada alasan larangan jatuh cinta lalu menikah.

Ya, di setiap masa memang selalu ada yang degil hati, syukur-syukur bisa menjadi devian pembawa perubahan. Tapi untuk sekarang ini hanya tersedia satu pilihan bagi pelaku kawin semarga dalam masyarakat Batak: "dipecat sebagai anggota masyarakat Batak".

Terima saja sanksi adat itu, kalau mau dan mampu menanggung beban sosialnya. Jika tidak, tunggulah sampai pilar sosial Dalihan Natolu rubuh dimakan zaman. Yah, sudah keburu berkaratlah barang itu.

Demikian pandangan saya, Felix Tani, tidak sudi dipecat sebagai orang Batak.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun