Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Soal Covid-19, Jokowi Tidak Belajar dari Anies Baswedan?

15 Mei 2020   16:58 Diperbarui: 15 Mei 2020   19:29 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpukan calon penumpang pesawat di Terminal II Bandara Soekarno-Hatta pada 14 Mei 2020 lalu (Foto: kompas.com)

Baik Presiden Jokowi maupun Gubernur Anies, tentu dalam hal ini staf dan tim ahlinya, sama-sama tidak paham sosiologi kerumunan.  Jika ada kesempatan mendapatkan keperluan umum, maka dengan cepat akan terjadi kerumunan untuk mendapatkannya.  

Penyebabnya simpel. Penawaran lebih kecil dari permintaan pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika kapasitas gerbong MRT dibatasi 60 orang, sementara calon penumpang yang memerlukan gerbong itu  300 orang pada satu waktu, maka sudah pasti terjadi kerumunan. Hal serupa berlaku juga untuk kasus Terminal 2 Bandara Soetta.

Cukup dengan pemahaman elementer tentang sosiologi kerumunan, kasus-kasus penumpukan iu bisa dihindarkan. Penumpukan penumpang MRT dan pesawat tergolong kerumunan terpola.  Gampang dikendalikan, apalagi di era Teknologi 4.0 sekarang ini. Orang bisa dikendalikan lewat sistem komunikasi digital.

Masalahnya peran Sosiologi, sebagai sains yang mendalami gejala sosial kerumunan, telah terpinggirkan  dalam proses pengambilan kebijakan  sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto. Prioritas diberikan pada ekonomi dan teknologi.

Karena tidak diperhitungkan, akibatnya Sosiologi menjadi ilmu yang "mati". Dia hanya dipelajari di Perguruan Tinggi. Atau paling jauh hanya diperhitungkan sebagai pelengkap dalam survei-survei perencanaan pembangunan.

Pandemi Covid-19 telah mengungkap soal "kematian Sosiologi" itu secara gamblang. Salah satu masalah utama yang menyebabkan sulitnya pengendalian Covid-19 adalah rendahnya solidaritas sosial dalam masyarakat Indonesia.

Penyebabnya adalah penekanan pada matra pertumbuhan (ekonomi), stabilitas (politik), dan pemerataan (ekonomi) dalam proses-proses pembangunan selama ini.

Bahkan penekanannya sejauh ini lebih pada pertumbuhan dan stabilitas. Pemerataan dianggap sebagai konsekuensi pertumbuhan, mengikut formula "efek tetesan ke bawah".

Padahal, pemerataan itu mempersyaratkan matra keempat, solidaritas sosial. Tanpa solidaritas, mustahil terjadi pemerataan.

Gejala itu teramati dengan jelas pada awal-awal masa pandemi Covid-19. Orang kaya menumpuk persediaan untuk keselamatan dan keamanannya. Pengusaha menimbun komoditas, misalnya masker dan sanitizer, untuk menangguk untung.

Tentu selalu ada orang kaya dan pengusaha yang memiliki solidaritas tinggi. Mereka benih-benih penumbuhan solidaritas sosial dalam masa pandemi Covid-19 ini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun