Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ada Baiknya Mengkaji Ulang Kisah Boru Pareme, Perempuan Batak Pertama Pelaku Inses

3 Maret 2020   13:28 Diperbarui: 4 Maret 2020   20:07 3934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Sabulan Samosir dari jauh. Ke tempat ini dulu Boru Pareme tersingkir (Foto: wantisitohang.blogspot.com)

Orang Batak (Toba) sangat ketat dengan larangan inses (incest), hubungan perkawinan ataupun seksual antara orang-orang sedarah. Orang Batak menyebutnya marjumbar.  

Bagi orang Batak, sedarah berarti tidaklah sebatas hubungan darah langsung antara anggota keluarga inti.  Maksudnya bukan sebatas hubungan ayah-putri, ibu-putra, dan putra-putri (kakak-adik) sedarah.  

Lebih luas dari itu, larangan inses berlaku untuk orang-orang semarga kendati tidak ada lagi hubungan darah langsung.  Jika mau dirunut ke pangkalnya, hubungan darah langsung mungkin baru terlacak pada belasan generasi di atasnya.  

Menurut adat kekerabatan Batak, orang-orang semarga adalah orang-orang sedarah, walaupun sudah terpisah puluhan generasi.   Karena itu, sebagai contoh saja,  Poltak Panjaitan dilarang menikah dengan Rondang boru Panjaitan, kendati hubungan darah langsung antar mereka ada pada sepuluh generasi di atasnya.  

Dalam kasus itu Poltak dan Rondang dianggap mariboto, saudara dan saudari segaris darah. Jika mereka menikah, berarti melakukan inses atau marjumbar.  Malapetaka diyakini akan turun atas mereka, keluarga luasnya, dan komunitasnya.

Secara adat perkawinan sedarah,  inses  atau sumbang, seperti itu memang mengacaukan tatanan Dalihan Na Tolu, struktur sosial masyarakat adat Batak.  Struktur itu terdiri dari tiga status:  hulahula (pemberi mempelai perempuan), boru (penerima mempelai perempuan), dan dongan tubu (kerabat sedarah).  

Hulahula dan boru haruslah dua kelompok marga yang berbeda.  Jika terjadi kawin sumbang, maka hulahula dan boru adalah orang-orang semarga.  Artinya, mereka mardongan tubu, saudara sedarah, sehingga tidak ada lagi status hulahula dan boru.  Relasi Dalihan Na Tolu dengan demikian tak terpenuhi.

Bahkan larangan itu tidak saja berlaku untuk orang semarga tetapi juga ada yang diberlakukan untuk marga-marga serumpun. Contohnya antara  marga-marga dalam rumpun Nai Ambaton (Si Boru Anting Sabungan, generasi ketiga orang Batak menurut mitologi), disebut marga-marga Parna (Parsadaan Nai Ambaton).  

Sedikitnya terdapat 50 marga yang tergabung dalam rumpun Parna yaitu turunan dari kakak beradik Simbolon (7 marga), Tamba (19 marga), Saragi (6 marga) dan Munte (18 marga).  Antara marga-marga itu, seturut pesan Nai Ambaton (mitologi),  dilarang untuk saling menikah karena dianggap sebagai kakak-beradik.

Ironisnya, masih menurut mitologi, kawin sumbang pertama orang Batak justru terjadi antara saudara dan saudari sedarah Nai Ambaton (Si Boru Anting Sabungan) sendiri yaitu antara Sariburaja dan Si Boru Pareme, putra dan putri Tateabulan.

Apakah ini berarti kasus inses dalam masyarakat Batak sudah terjadi pada generasi ketiga orang Batak? Saya akan berikan tafsir di bagian akhir.  Sebelum ke situ saya ceritakan dulu kisah Si Boru Pareme.

***

Menurut mitologi Batak (Toba), Si Raja Batak, leluhur pertama yang tinggal di Sianjurmulamula  memiliki tiga orang putra. Namanya Tateabulan, Isumbaon, dan Togalaut. Orang Batak, yang mendiami Tanah Batak sekarang,  adalah keturunan Tateabulan dan Isumbaon.  Togalaut merantau ke utara, ke Aceh sekarang, membentuk komunitas Gayo dan Alas di sana.

Dikisahkan, Tateabulan menikahi "bidadari" (?) dan dikaruniai lima putra dan empat orang putri (boru).  Diurut dari yang tertua, mereka adalah Raja Biakbiak, Sariburaja, Boru Pareme, Limbongmulana, Boru Paromas, Sagalaraja, Boru Bidinglaut, Malauraja, dan (Boru) Nantinjo. Sariburaja (putra) dan Boru Pareme (putri) adalah kakak-beradik lahir kembar.

Konon Boru Pareme saling-goda dengan Sariburaja.  Kakak-beradik itu akhirnya saling jatuh cinta.  Tak mampu menahan gejolak asmara, antara keduanya terjadilah hubungan badan berulang kali.   Akibatnya Boru Pareme berbadan dua.

Mengetahui Boru Pareme hamil oleh Sariburaja, dan itu aib besar, orangtua dan saudara-saudarinya marah besar.  Rapat keluarga memutuskan untuk membunuh Sariburaja dan membuang Boru Pareme.

Sebelum dibunuh saudara-saudaranya, Sariburaja sudah lebih dulu melarikan diri. Pengejaran oleh saudara-saudaranya  tak membuahkan hasil.  Saruiburaja makin jauh lari keluar dari Sianjurmulamula.

Boru Pareme sendiri dibuang oleh saudara-saudaranya ke sebuah hutan di selatan Sianjurmulamula, ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Sabulan. Dengan harapan dia akan tewas dimangsa harimau di sana.

Tapi, kata pepatah, sebelum ajal berpantang mati.  Dengan mengikuti abu tungku yang dicecerkan Boru Pareme, Sariburaja berhasil menemukan adiknya itu di hutan Sabulan. Mereka tinggal di situ layaknya suami-isteri.

Suatu hari Sariburaja menolong seekor harimau timpang berkaki tiga, "babiat sitelpang sitolu pat", untuk  mencabutkan tulang rusuk babi hutan dari kerongkongannya. Sejak hari itu harimau tersebut menjadi penjaga dan pencari nafkah (daging hewan buruan) untuk Boru Pareme dan Sariburaja.

Setelah genap bulannya, tiba harinya, Boru Pareme melahirkan seorang anak lelaki dan diberi nama Raja Lontung. Selang beberapa waktu, Sariburaja pergi langlang buana. Boru Pareme dan Raja Lontung dititipkan pada "babiat sitelpang".  

Setelah Raja Lontung menginjak usia dewasa, Boru Pareme risau soal pasangan hidupnya. Raja Lontung sendiri sudah mulai menanyakan siapa pariban-nya, putri paman, yang selayaknya dinikahi.  

Karena Raja Lontung  adalah hasil inses maka mustahil mengawinkannya dengan pariban-nya. Pasti pamannya tidak mau terima.

Karena itu Boru Pareme menyusun siasat.  Dia memberikan cincinnya kepada Raja Lontung dan menyuruh anaknya itu pergi ke utara Sabulan, ke arah Sianjurmulamula. 

Pesannya, di sebuah pancuran di sana Raja Lontung akan bertemu dengan seorang gadis yang parasnya serupa Boru Pareme, ibundanya. Jika cincin itu pas dijemarinya berarti dia adalah pariban-nya.  Maka Raja Lontung harus melamar dan menikahinya.

Raja Lontung berangkat ke perbukitan Sabulan lewat jalan berliku, sesuai petunjuk ibunya. Benar, dia menemukan sebuah pancuran di sana. Di situ sedang mandi seorang gadis yang seperti "pinang dibelah dua" dengan ibunya. Selanjutnya terjadilah tepat seperti yang dipesankan Boru Pareme, ibundanya.

Raja Lontung menikah dengan pariban-nya itu dan dikaruniai tujuh orang putra dan dua orang putri yang kini dikenal sebagai keturunan Lontung. Ketujuh putranya itu adalah Situmorang, Sinagaraja,Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Dua putrinya adalah Boru Amakpandan (kawin dengan Sihombing) dan Boru Panggabean (kawin dengan Simamora).

Kedua putrinya itu diakui sebagai putra juga. Sehingga dikatakan "Lontung sisia sada ina, pasia boruna Sihombing Simamora." Artinya: (Kelompok marga-marga) Lontung sembilan satu ibu, terhitung boru-nya Sihombing (dan) Simamora.

Satu rahasia yang tak pernah diketahui Raja Lontung, sesungguhnya dia telah kawin dengan Boru Pareme, ibu kandungnya sendiri. Boru Pareme tahu bahwa Raja Lontung tidak mungkin menikah dengan pariban-nya. Dia berisiko tidak menikah sepanjang hidupnya lalu mate punu, mati tanpa keturunan, sehingga silsilahnya hilang.  

Karena itu, Boru Pareme atas ijin "Mulajadi Nabolon" (Yang Maha Kuasa) bersalin rupa menjadi seorang gadis muda lalu, lewat jalan pintas, pergi mendahului Raja Lontung ke pancuran di perbukitan Sabulan. Demi kelanjutan keturunan Raja Lontung, Boru Pareme mengorbankan dirinya untuk kawin sumbang dengan putra kandungnya.

***

Jika merujuk mitologi atau legenda di atas maka Boru Pareme adalah perempuan Batak pertama pelaku inses.  Langsung dua kali: pertama dengan saudara laki-laki kandungnya (Sariburaja), kedua kali dengan anak kandungnya (Raja Lontung). Tentu dengan dua alasan yang berbeda.

Pertanyaannya, benarkah Boru Pareme itu perempuan Batak pertama yang melakukan inses atau kawin sumbang?

Dengan segala hormat pada pomparan (keturunan) Si Raja Lontung, yang memelihara mitologi Sariburaja-Boru Pareme sebagai sumber inspirasi budaya, ijinkan saya berpendapat bahwa kebenaran kisah itu selayaknya diragukan.

Ada sejumlah alasan untuk meragukannya, bahkan untuk tidak mempercayainya sebagai kebenaran.

Pertama, kisah Sariburaja dan Boru Pareme adalah mitologi atau sekurangnya legenda yang tak memiliki nilai kebenaran empiris. Walaupun nama dan lokasi kejadian ada disebutkan, hal itu tidak membuktikan peristiwa tersebut benar terjadi.

Kedua, nama-nama orang Batak sampai sekurangnya generasi ketiga, dihitung dari Si Raja Batak diperkirakan bukan nama-nama persona (individu) tapi nama-nama komunitas kecil cikal-bakal masyarakat Batak. Ini berlaku untuk nama-nama Sariburaja, Boru Pareme dan saudara-saudarinya. Komunitas-komunitas kecil itu kemudian berkembang menjadi kelompok-kelompok marga dan sub-marga Batak. (Waktu itu belum ada komunitas yang mendefinisikan diri atau didefinisikan orang lain sebagai etnis Batak).

Ketiga, di antara kelompok-kelompok kecil rumpun Tateabulan dahulu kala mungkin memang terjadi sengketa pembagian wilayah domisili.  Kemungkinannya kelompok Sariburaja dan kelompok Boru Pareme bersekutu menguasai wilayah.  Lalu timbul perlawanan dari kelompok-kelompok Limbongmulana, Boru Paromas, Sagalaraja, Boru Bidinglaut, Malauraja, dan (Boru) Nantinjo. Kelompok Raja Biakbiak sebelumnya diperkirakan bermigrasi ke daerah barat, Barus sekarang.

Sekutu Sariburaja dan Boru Pareme diduga kalah dalam sengketa lalu bermigrasi ke daerah selatan Gunung Pusukbuhit. Di sana kelompok itu membuka perkampungan baru yang sekarang dikenal sebagai Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio, Samosir.  

Persekutuan kelompok Sariburaja dan Boru Pareme itu, oleh penutur tarombo atau silsilah Batak, kemudian ditafsir sebagai kawin sumbang.  Suatu persekutuan terlarang, sebuah aib yang harus diberi sanksi berupa pengusiran dari komunitas.  

Keempat, karena Boru Pareme bukanlah individu melainkan kelompok, maka Raja Lontung diduga bukanlah anak kandung seorang ibu dengan nama seperti itu. Raja Lontung diduga adalah kelompok kecil lain yang bergabung dengan kelompok Boru Pareme. Lalu antara anggota dua kelompok itu terjadi hubungan perkawinan yang menghasilkan marga-marga Lontung.

Kalau boleh menyimpulkan, dan ini hipotesa, persekutuan sosiologis dan politis Sariburaja-Boru Pareme dan Boru Pareme-Raja Lontung diduga telah ditafsir-ulang penutur silsilah Batak sebagai kejadian kawin sumbang. Tafsir ini dipertahankan hingga kini, tak pernah dikritisi untuk menilai kebenarannya secara sosio-historis.

Akhirnya sekadar sumbang saran, ada baiknya jika "Pomparan ni Si Raja Lontung" duduk bersama memeriksa ulang mitologi atau legenda inses "Sariburaja-Boru Pareme-Raja Lontung" ini. Saya kira, dengan bantuan metode ilmiah kini, sudah saatnya membersihkan nama Sariburaja, Boru Pareme dan Raja Lontung dari stigma inses.

Demikian pandangan saya, Felix Tani, petani mardijker, sedang belajar sejarah Batak. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun