Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kasus Elios dan Malau, Etika "Kapitalisme Batak" dan Wisata Danau Toba

27 Januari 2020   11:31 Diperbarui: 28 Januari 2020   11:58 5338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Danau Toba di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Minggu (19/4/2015). |Sumber: Kompas.com /Roderick Adrian Mozes

Salah satu testimoni yang menarik diberikan MS. Dia dan keluarganya pernah makan 2 ekor ayam di rumah makan Malau dan dikenai tagihan Rp 1, 2 juta. 

Pada kesempatan lain makan di situ, MS dan temannya menanyakan harga sebelum pesan dan diberitahu Rp 35,000 per porsi. Lalu mereka pesan 2 porsi tapi ternyata tagihannya Rp 160,000, bukan Rp 70,000. 

Harga bengkak karena di piring ditambahkan potongan-potongan kecil ayam yang ikut dihitung dalam harga.

Dua pendekatan simultan di atas mengindikasikan bahwa harga makan di rumah makan Elios dan Malau memang tidak wajar. Setidaknya terindikasi harga makanan di dua rumah makan khas Batak itu berada di atas rata-rata harga makanan sejenis di rumah makan lain di sana.

Etika "Kapitalisme Batak"
Dilihat dari segi tingkatan norma sosial, rumah makan memberi harga terlalu tinggi pada masakan sendiri tidaklah tergolong pelanggaran tatalaku apalagi hukum. 

Hal semacam itu lebih merupakan penyimpangan dari kebiasaan atau kewajaran umum. Sanksinya paling tinggi sebatas teguran atau protes, atau menghindar untuk berurusan.

Itulah yang terjadi pada kasus Elios dan Malau. Ada konsumen yang protes keras dan menyebar-luaskan masalah lewat media sosial. Lebih banyak yang jengkel lalu menghindari dua rumah makan itu pada kesempatan berikutnya.

Tindakan sosial melambungkan harga makanan bukan hanya terjadi di rumah makan Elios dan Malau. Banyak rumah makan lain yang berpolah serupa di enam kabupaten lingkar Danau Toba (Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Simalungun, Tanah Karo, Dairi).

Pertanyaannya, mengapa para pemilik rumah makan di lingkar cenderung melambungkan harga makanan untuk "konsumen pejalan"? Kategori konsumen pejalan adalah perantau yang pulang kampung, wisatawan domestik, dan wisatawan mancanegara.

Motif meraih keuntungan sebesar-besarnya dari kosumen parsahalian, hanya datang dan makan sekali saja, lazim disampaikan sebagai penjelasan. 

Tapi itu bukan penjelasan yang memadai. Sebab di rumah makan khas Batak di Jakarta misalnya, harga makanan relatif sama di semua rumah makan setara untuk semua kategori konsumen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun