Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Anies Baswedan Salah Paham tentang Naturalisasi Sungai di Singapura

8 Januari 2020   17:08 Diperbarui: 9 Januari 2020   10:53 4745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bishan Park, hulu Sungai Kallang, Singapura, hasil rekonstruksi ekosistem asli sungai (Foto: pub.gov.sg)

Anies Baswedan, Gubernur Jakarta telah mengungkap sebuah kesalah-pahaman ke ruang publik saat mengatakan naturalisasi sungai merupakan program penanggulangan banjir.

Anies telah mencanangkan proyek naturalisasi sungai itu sebagai pengganti proyek normalisasi sungai yang telah dijalankan pemerintah Jakarta sebelumnya.

Anies selalu menunjuk kasus naturalisasi Sungai Kallang Singapura sebagai kisah sukses pengendalian banjir. Tapi, ironisnya, justru di situlah letak kesalah-pahaman Anies Baswedan.

Naturalisasi Sungai Kallang bukanlah proyek penanggulangan banjir melainkan sebuah proyek taman kota terpadu. Proyek itu adalah bagian dari Program ABC Waters Singapura (Active, Beautiful, Clean Waters Programme).

Saya akan jelaskan soal naturalisasi Sungai Kallang itu nanti. Sebelum ke situ, saya akan jelaskan dulu secara ringkas program mitigasi banjir di Singapura. Lalu di ujuang saya akan berikan perbandingan ringkas mitigasi banjir Singapura dan Jakarta.

Program Mitigasi Banjir Singapura

Singapura, sebuah negara pulau atau negara kota seluas 721.5 km2, tidak memiliki sumber air tanah. Karena itu definisi operasional sungai di negara ini adalah saluran drainase air hujan dan air limbah rumah tangga, niaga, dan industri.

Negara ini punya sejumlah sungai di bagian selatan dan utara. Di bagian selatan ada tiga sungai alami utama yaitu Sungai Singapura, Sungai Kallang, dan Sungai Geylang. Lalu ada dua sungai buatan utama yaitu Kanal Stamford dan Kanal Rochor. Sebenarnya hulu Sungai Singapura itu juga kanal, dikenal sebagai Kanal Alexandra. (Lihat Peta).

Peta sungai-sungai di Singapura bagian selatan (Foto: sgPUB)
Peta sungai-sungai di Singapura bagian selatan (Foto: sgPUB)
Di bagian utara ada Sungai Serangoon (dengan anak-anaknya), Sungai Punggol, Sungai Peng Siang, Sungai Tengah, Sungai Kangkar, dan Kanal Pang Sua. Keempat sungai tersebut terakhir bermuara ke Reservoir Kranji.

Kota Singapura rawan banjir terutama saat musim penghujan. Berada di wilayah tropis, curah hujan rata-rata tahunan di pulau ini tercatat 2,340 mm/tahun.

Kejadian curah hujan harian tertinggi di kota pulau ini tercatat 512.4 mm (2/12/1978), 467 mm (1969) dan 366 mm (11/12/2006). Bulan November, Desember, dan Januari adalah bulan-bulan hujan lebat (di atas 200 mm) sekaligus bulan-bulan rawan banjir di Singapura.

Saya hanya akan membicarakan mitigasi banjir terkait aliran sungai-sungai yang melintasi pusat kota Singapura di bagian selatan pulau. Semua sungai ini bermuara ke Reservoir Marina atau Teluk Singapura yang terkenal itu.

Manajemen mitigasi banjir kota Singapura terfokus pada sungai-sungai tersebut dan kawasan tangkapan airnya. Ia menjadi ikon mitigasi banjir Singapura.

Ada tiga fase implementasi mitigasi banjir di Singapura yaitu Operasi Bersih Sungai (Clean The River), Pembangunan Bendungan Marine (Marine Barrage), dan Pembangunan Tangki dan Sodetan Kanal Stamford (Stamford Detention Tank and Stamford Diversion Canal).

Fase Pertama: Operasi Bersih Sungai

Program ini dicanangkan Lee Kwan Yew, PM Singapura tahun 1977. Fokusnya Sungai Singapura dan Sungai Kallang. Targetnya dalam 10 tahun, artinya tahun 1987, sungai harus bersih.

Sampai tahun 1970-an sungai-sungai di Singapura, khususnya Sungai Singapura dan Sungai Kallang, sudah terpolusi parah. Sumber polutan utama adalah limbah peternakan (babi dan bebek), industri rumahan, pedagang informal, pedagang kaki-lima, dan pedagang sayuran yang beroperasi di sepanjang bantaran sungai. Juga limbah oli, sisa bahan bakar, dan air kotor dari bengkel kapal dan dari tongkang/kapal sungai yang lalu-lalang.

Operasi Bersih Sungai itu dilaksanakan sebagai program nasional. Sejumlah departemen dan badan terkait dilibatkan antara lain Kementerian Lingkungan, Kementerian Hukum, Kementerian Pembangunan Nasional, Kementerian Perdagangan dan Industri, dan Kementerian Informasi, Komunikasi, dan Kesenian.

Pimpinan operasi itu adalah Lee Ek Tieng, kemudian menjadi Sekretaris Jenderal Menteri Lingkungan Singapura.

Operasi Bersih Sungai meliputi dua kegiatan besar yaitu penataan komunitas pinggir sungai penataan fisik sungai. Bagian tersulit adalah penataan komunitas pinggir sungai.

Tapi dengan pendekatan sosial-ekonomi yang tepat, Pemerintah Singapura berhasil merelokasi sekitar 26,000 keluarga, atau sekitar 46,000 orang, dari bantaran Sungai Singapura dan Sungai Kallang.

Selain itu pemerintah juga merelokasi 610 unit peternakan babi, 500 unit peternakan bebek, lebih dari 2,800 unit pedagang informal dan industri rumahan, sekitar 5,000 pedagang kaki-lima, dan sejumlah besar pedagang sayuran.

Relokasi dilakukan ke tempat-tempat baru yang telah disediakan pemerintah. Perumahan disiapkan oleh Badan Perumahan dan Pembangunan, sebagai tempat tinggal dan usaha informal/rumahan. Sedangkan tempat usaha disiapkan oleh Jurong Town Corporation, berupa estat industri, pasar, pusat jajanan, dan kawasan peternakan.

Setelah penataan komunitas, barulah pemerintah masuk ke pekerjaan penataan sungai. Kegiatan ini meliputi pembersihan bangunan di bantaran, pengerukan dasar sungai, pelebaran sungai, pengangkatan limbah, pembangunan turap beton sepanjang tepi sungai, dan percantikan bantaran sungai dengan penanaman pohon dan pembangunan taman pada titik-titik tertentu (landscaping).

Operasi Bersih Sungai dirampungkan tahun 1987 dengan biaya sekitar S$ 300 juta (kurang lebih Rp 3 triliun pada nilai tukar Januari 2020). Hasilnya adalah Sungai Singapura dan Sungai Kallang yang bersih dan indah, menjadi sumber air baku, obyek wisata sungai, dan jalur transportasi air.

Lebih penting lagi, sungai-sungai tersebut mempu menjalankan fungsi mitigasi banjir di pusat kota Singapura. Setelah dikeruk, diperlebar, dan dibersihkan badan sungai dapat menampung volume atau debit air yang lebih besar saat musim penghujan. Dengan demikian risiko banjir akibat hujan dapat dikurangi.

Fase Kedua: Pembangunan Bendungan Marine

Pemerintah Singapura tidak berhenti pada program pembersihan sungai. Sebab walaupun aliran air sudah lancar, masih ada ancaman banjr rob saat laut pasang.

Kondisinya lebih parah jika pasang laut bersamaan dengan curah hujan tinggi. Kawasan-kawasan rendah seperti Chinatown, Kawasan Rochor dan Geylang menjadi langganan banjir.

Untuk memitigasi risiko banjir tersebut, tahun 1987, tepat setelah merampungkan Operasi Bersih Sungai, PM Lee merencanakan pembangunan Bendungan/Pintu Air Marine (Marine Barrage), tepat di mulut Teluk Singapura. 

Marine Barrage di Singapura (Foto: pub.gov.sg)
Marine Barrage di Singapura (Foto: pub.gov.sg)
Proyek Bendungan Marine itu dikerjakan sejak tahun 2005 dan selesai untuk dioperasikan pada tahun 2008. Biaya konstruksinya mencapai S$ 226 juta.

Bendungan ini menjadi bendungan terbesar (240 ha) di Singapura, dari total 17 unit bendungan yang ada di sana. Luas kawasan tangkapan airnya 10,000 ha, sekitar seperenam wilayah Singapura, meliputi daerah aliran sungai-sungai di selatan yang bermuara ke bendungan itu.

Bendungan Marine kini menjadi ikon Singapura. Selain untuk mengontrol banjir, bendungan itu berfungsi sebagai sumber air tawar baku untuk Singapura. Juga menjadi basis kegiatan sosial-ekonomi, antara lain wisata, transportasi air, dan olah-raga air.

Cara kerja bendungan itu mengendalikan banjir sederhana. Saat curah hujan tinggi dan permukaan bendungan naik, pintu air akan dibuka sehingga  mengalirkan air turun ke laut. Saat pasang laut, pintu air ditutup untuk mencegah banjir rob.

Jika permukaan bendungan naik bersamaan laut pasang, maka 7 unit pompa air raksasa dioperasikan untuk membuang air ke laut.

Dengan mitigasi banjir seperti itu maka kawasan-kawasan rendah di pusat kota Singapura, seperti Chinatown, Kawasan Rochor dan Geylang, terhindar dari banjir saat hujan lebat turun. Kuncinya adalah disiplin dalam pengoperasian pintu air bendungan.

Fase Ketiga: Pembangunan Tangki Air dan Sodetan Stamford

Masalah banjir di jantung kota Singapura rupanya tidak melulu berpangkal dari Sungai Singapura dan Sungai Kallang ataupun banjir rob dari Teluk Singapura. Tapi juga dari keterbatasan daya tampung kanal-kanal kota khususnya Kanal Stamford curah hujan tinggi.

Seiring petumbuhan penduduk dan ekonomi kota, tutupan permukaan tanah Singapura oleh beton bangunan dan jalan semakin luas. Akibatnya kawasan tangkapan atau serapan air menyempit.

Risikonya, saat hujan lebat, aliran permukaan membesar sehingga melimpas dinding kanal membanjiri kota.

Tahun 2010 dan 2011 misalnya banjir besar melanda Jalan Orchard, pusat perbelanjaan terkenal itu. Penyebabnya Kanal Stamford, yang terentang 4.7 km di sisi jalan itu,  tak mampu menampung besarnya arus permukaan akibat hujan lebat.

Untuk memitigasi banjir tersebut, Badan Sarana Umum (Public Utilities Board/PUB) Singapura mengganggarkan total S$ 277.6 juta untuk membangun dua infrastruktur pengendali banjir di bagian hulu dan tengah kanal.

Rancangan SDT dan SDC di Stamford Canal Singapura (Foto: sgPUB)
Rancangan SDT dan SDC di Stamford Canal Singapura (Foto: sgPUB)
Pertama, tahun 2013, membangun tangki penahan air bawah tanah (Stamford Detention Tank/SDT) di hulu Kanal Stamford. Daya tampungnya 38,000 m3 air.

Sebagian limpasan air hujan di Kanal Stamford dialihkan dan disimpan sementara di tangki ini. Setelah hujan reda, dan permukaan kanal turun, barulah air tangki akan dipompa kembali ke Kanal Stamford.

Kedua, tahun 2014, membangun sodetan bawah tanah (Stamford Diversion Canal/SDC) dari Kanal Stamford ke Sungai Singapura. Sodetan ini terdiri dua terowongan berdiameter 4.5 meter yang mengalihkan sebagian aliran air dari Kanal Stamford ke Sungai Singapura.

Dengan demikian volume atau debit air yang turun menuju Jalan Orchard berkurang, sehingga banjir dapat dihindarkan.

Dari paparan di atas, menjadi jelas bahwa mitigasi banjir di pusat kota Singapura sangat sederhana. Pertama, bersihkan sungai (pengosongan bantaran, pengerukan, pelebaran, penanggulan/turap beton), lalu bangun bendungan/pintu air raksasa di mulut Teluk Singapura, dan akhirnya bangun sodetan pembagi aliran air antar sungai (di bawah tanah) dan tangki raksasa penahan air (bawah tanah) di hulu Kanal Stamford.  

Proyek Taman Bishan-Ang Mo Kio di Sungai Kallang

Setelah membangun sekitar 8,000 km saluran air dan 17 unit bendungan air baku, Pemerintah Singapura mengambil tantangan baru yaitu transformasi menjadi Kota Taman dan Air (City of Gardens and Water).

Visinya adalah "sungai cerlang bertepian panoramik, perahu tenang meniti arusnya, dengan air bersih yang mengalir ke danau indah".  

Untuk mewujudkan visi itu maka Badan Sarana Umum (PUB) Singapura mencanangkan "Active, Beautiful, Clean Waters (ABC Waters) Programme tahun 2006.

Program ini digagas setelah pemerintah menilai mitigasi banjir, yaitu bersih sungai dan Bendungan Marine, sudah mantap. Tentu ini di luar kejadian banjir di Orchard Road tahun 2010 dan 2011 yang mendasari pembangunan infrastruktur SDT dan SDC.

Tampakan Sungai Kallang | www.pub.gov.sg
Tampakan Sungai Kallang | www.pub.gov.sg
Program ABC Waters lalu menetapkan dua-pertiga wilayah Singapura difungsikan sebagai kawasan tangkapan air. Itu artinya pemerintah, dalam hal ini PUB, harus menjalankan program-program penghijauan kota.

Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas tangkapan air hujan, sekaligus meningkatkan retensi air dalam tanah. Selain untuk tabungan air tawar, kondisi ini dapat mengendalikan aliran permukaan.

Gencarnya pembangunan taman-taman kota di Singapura dilakukan sebagai bagian dari Program ABC Waters. Selain menjadi pusat aktivitas sosial warga, juga obyek wisata, taman-taman itu dibangun untuk perluasan areal efektif untuk tangkapan air.

Begitulah, Taman Bishan-Ang Mo Kio (Taman Bishan) di Sungai Kallang, yang dipungut Anies Baswedan sebagai contoh sukses "Naturalisasi Sungai", adalah bagian dari Program ABC Waters. Taman itu bukan infrastruktur mitigasi banjir, tapi memang dibangun dengan kaidah "anti-banjir".

Taman Bishan dibangun tahun 2009-2012, mencakup luasan 62 hektar, terentang 2.7 km dari Jalan Thomson Atas di barat sampai Jalan Bishan di timur. Menelan biaya S$ 8.5 juta , taman ini dibangun dengan cara mengintegrasikan taman kota lama dengan alur Sungai Kallang.

Caranya dengan menggempur turap beton sungai, lalu merestorasi ekosistem sungai menjadi "alami" dengan menggunakan teknologi bio-rekayasa tanah (soil bioengineering) untuk membangun bantaran sungai yang landai, hijau, dan anti-erosi.

Alur sungai dibuat berbelok-belok (meander) dan bercabang-cabang. Bantarannya yang lebar ditanami rumput, perdu, dan pepohonan dengan komposisi yang terlihat alami.

Peta lokasi Bishan Park di hulu Sungai Kallang, Singapura (Foto: google map)
Peta lokasi Bishan Park di hulu Sungai Kallang, Singapura (Foto: google map)
Letak dan struktur fisik (topografi) taman itu dengan gamblang mencerminkan kaidah "anti-banjir". Pada peta Singapura tampak jelas Taman Bishan terletak di hulu Sungai Kallang, sungai terpanjang di Singapura (10 km), tepat di bawah Bendungan Lower Peirce, yang menjadi sumber utama air Sungai Kallang.

Posisi taman seperti itu membuatnya "anti-banjir" karena debit air yang masuk ke ruas sungai Taman Bishan, bisa diatur dari pintu air Bendungan Lower Pierce. Sungai mau kering juga bisa, dengan cara menutup total pintu air bendungan.

Bantaran sungai di Taman Bishan juga luas dan landai, dengan struktur tanah berdaya serap tinggi, sehingga mampu menyerap dan menahan air hujan. Ini sesuai dengan fungsinya sebagai bagian dari kawasan tangkapan air.

Panorama Taman Bishan memang tampak alami, kendati sejatinya ia adalah "alam buatan". Tampakan alami itulah agaknya yang menginspirasi Anies Baswedan untuk mengkonsepsikannya sebagai "Naturalisasi Sungai". Padahal, PUB Singapura tidak mengkonsepsikannya seperti itu, melainkan semata proyek taman terpadu dalam konteks Program ABC Waters.

Taman Bishan sebelum dan sesudah redisain dan restorasi (Foto: wikipedia.org)
Taman Bishan sebelum dan sesudah redisain dan restorasi (Foto: wikipedia.org)
Sebagai sebuah taman kota, Taman Bishan tergolong taman paling indah, luas, dan ramai pengunjung. Taman dilengkapi dengan ragam sarana kegiatan sosial. Taman ini juga menjadi lahan belajar ekosistem sungai "alami". Pengunjungnya diperkirakan 3 juta orang per tahun.

Bagian bawah sungai itu, 17.3 km, tetaplah Sungai Kallang dengan turap beton di tepi kiri dan kanannya, mengalirkan air seperti biasa ke Bendungan Marine.

Jika dilihat letaknya, maka Taman Bishan sebenarnya merupakan bagian dari Taman Bendungan Lower Pierce. Artinya, secara keseluruhan taman-taman itu merupakan "sabuk hijau" atau kawasan tangkapan air di hulu Sungai Kallang.

Bukan sebuah kebetulan pemilihan letak taman di hulu sungai. Pemerintah Singapura tidak akan membangun taman seperti itu tepat di hilir atau di muara sungai, karena pasti akan terlanda banjir saat musim hujan berat.

Jadi, mengatakan "restorasi sungai alami" Taman Bishan, atau "naturalisasi sungai" dalam istilah Anies Baswedan, sebagai infrastruktur penanggulangan banjir adalah sebuah kesalahan.

Rekonstruksi sungai alami di Singapura adalah proyek taman ramah lingkungan, antara lain taat pada asas "anti-banjir".

Sedikit Perbandingan dengan Jakarta

Karakteristik sungai di Jakarta jauh beda dengan Singapura khususnya dalam hal sumber air dan ukuran. Sumber air sungai-sungai utama Jakarta adalah mata air tanah di hulu, disamping curah hujan dan air limbah. Sedangkan sumber air sungai Singapura hanya hujan dan air limbah.

Sungai di Singapura pendek-pendek, paling panjang Sungai Kallang (20 km). Bandingkan misalnya dengan Ciliwung. Lintasannya di kota Jakarta saja 33 km. Artinya dari segi akumulasi volume air, sungai-sungai di Jakarta jauh lebih dahsyat ketimbang sungai-sungai di Singapura.

Tapi mitigasi banjir di Singapura sejatinya serupa polanya dengan mitigasi banjir di Jakarta pra-pemerintahan Anies Baswedan.

Pola Singapura adalah bersihkan sungai-sungai (pengosongan bantaran, pengerukan, pelebaran, penanggulan/turap beton), bangun bendungan/pintu air di hilir (Marine Barrage), bangun sodetan bawah tanah pembagi aliran air antar sungai (SDC), dan bangun bendungan di hulu penahan air di hulu (bendungan-bendungan daerah tangkapan dan SDT).

Pola Jakarta begitu juga. Bersihkan sungai-sungai (pengosongan bantaran, pengerukan, pelebaran, penanggulan/turap beton), bangun bendungan/pintu air di hilir (Waduk Pluit, Waduk Sunter), bangun sodetan bawah tanah pembagi aliran air antar sungai (Sodetan Ciliwung-BKT), dan bangun bendungan di hulu (Bendungan Retensi Ciawi dan Sukamahi).

Persoalan dengan Jakarta sejak 2018 adalah program "bersih sungai" (pelebaran, pendalaman, turapisasi) yang mandeg, pembangunan sodetan Ciliwung-BKT yang mandek, dan pompa Waduk Pluit dan Sunter yang diragukan kinerjanya.

Sedangkan dam retensi Ciawi dan Sukamahi masih dalam tahap penyelesaian.

Ketimbang menjalankan mitigasi banjir berupa bersih sungai ("normalisasi"), pembangunan sodetan Ciliwung-BKT, dan pemeliharan fungsi waduk, Anies Baswedan lebih suka menuding bendungan Sukamahi dan Ciawi yang belum kelar sebagai biang keladi banjir Jakarta, sambil menjual utopia "Naturalisasi Sungai" sebagai mitigasi banjir paling jitu.

Saya tidak perlu ulangi lagi bahwa "restorasi sungai asli" di Singapura itu bukan "naturalisasi sungai" yang dirancang untuk mitigasi banjir.

Berdasar uraian di atas, saya bisa simpulkan bahwa Anies Baswedan salah paham tentang "naturalisasi sungai". Atau "naturalisasi sungai" itu sendiri adalah sebuah "paham yang salah" jika bicara tentang mitigasi banjir.

Saya minta maaf karena tulisan ini menjadi sangat panjang. Sebab saya harus mempertanggungjawabkan judul tulisan ini dengan menyampaikan data yang valid. Agar tidak dianggap fitnah.

Agar tidak tambah panjang, cukup sekian paparan dan pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, belum pernah jalan-jalan melihat sungai dan bendungan ke Singapura.(*)

Rujukan:

"Clean-up of Singapore River and Kallang Basin"
"Improved flood prevention measures around Orchard Road from this month"
"Kallang River at Bishan Park", (sgPUB's Youtube Channel)
"Kallang River Bishan Park"
"Marina Barrage", (sgPUB's Youtube Channel)
"Marina Barrage: A Singapore Success Story", (sgPUB's Youtube Channel)
"Stamford Diversion Canal and Stamford Detention Tank", (sgPUB's Youtube Channel)
"Time-lapse: Transformation of Bishan Park to River Plains", Brice Li's Youtube Channel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun