Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

3 Hantu Batak: Beguganjang, Homang, dan Begulambak

3 September 2019   18:52 Diperbarui: 5 September 2019   22:32 3084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ornamen Kepala Singa pada gorga Rumah Batak dimaksudkan sebagai penangkal roh jahat (Foto: budaya-indonesia.org)

Misalnya mencari rotan atau getah kemenyan dan damar. Antaranggota kelompok harus saling menjaga, selalu berdekatan, dan jangan ada yang seorangpun yang lepas dari kelompok. Di hutan banyak binatang buas yang bisa saja menyerang seseorang yang lepas dari rombongannya.

Begulambak lebih merupakan tahyul untuk menakut-nakuti anak kecil yang nakal, suka bermain jauh dari rumah atau bermain di luar rumah sampai malam.

Cerita begulambak kemudian dikisahkan pada anak-anak supaya mereka menjadi anak manis. Ada kemungkinan sosok begulambak ini merujuk pada sosok orang gila yang suka berkeliaran sambil tertawa-tawa di jalan-jalan luar kampung.

Orang gila semacam itu memang senang mengganggu anak-anak yang lewat di dekatnya.

Ironisnya, orang Batak masa kini yang sudah makan pendidikan tinggi tampaknya menolak untuk berpikir rasional dan kritis soal keberadaan tiga hantu itu. Malahan ada kecenderungan orang semakin percaya bahwa hantu-hantu itu memang benar ada, kendati tak seorangpun yang pernah melihatnya. 

Paling memprihatinkan adalah kepercayaan orang Batak akan adanya beguganjang. Tragisnya, kepercayaan akan adanya hantu itu berkembang dalam masyarakat Batak yang dicirikan ketimpangan ekonomi yang nyata.

Mayoritas warga miskin cenderung menuduh minoritas yang kaya-raya sebagai pemelihara beguganjang, sebagai alat untuk memperkaya diri.

Terlebih jika di tengah masyarakat kemudian terjadi peritiwa kematian beruntun. Sudah pasti hal itu dipercaya akibat dicekik beguganjang peliharaan orang kaya, sebagai syarat "makanan" (tumbal).

Peristiwa nyata pernah terjadi di Kampung Bunturaja, Desa Sitanggor, Muara Tapanuli Utara pada tanggal 15 Mei 2010. Tiga orang, suami-isteri dan anaknya, warga kampung itu tewas dibakar hidup-hidup oleh warga sekampung. Keluarga itu dituduk sebagai pemelihara beguganjang yang menyebabkan kematian misterius warga kampung.

Kejadian serupa terulang di Desa Aaekraja, Kecamatan Parmonangan Tapanuli Utara pada 11 Juli 2014. Tiga orang warga desa itu dianiaya dan dirusak rumahnya oleh warga sekampung karena dituduh memelihara beguganjang yang telah menyebabkan kematian misterius seorang warga.

Hal yang menarik dicermati, orang-orang yang dibunuh atau dianiaya atas tuduhan memelihara beguganjang pencabut nyawa itu adalah warga dengan keadaan ekonomi yang tergolong berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun