Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

3 Hantu Batak: Beguganjang, Homang, dan Begulambak

3 September 2019   18:52 Diperbarui: 5 September 2019   22:32 3084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ornamen Kepala Singa pada gorga Rumah Batak dimaksudkan sebagai penangkal roh jahat (Foto: budaya-indonesia.org)

Orang Batak Toba bilang, "Martondi na mangolu, marbegu naung mate." Artinya, "Orang hidup memiliki roh (tondi), orang mati memiliki hantu (begu)." 

Jika merujuk pada ujaran petitih itu, maka aslinya orang Batak mengenal konsep "hantu" sebagai konsekuensi dari kematian. Menjadi "hantu" atau begu, bagi orang Batak adalah memasuki "kehidupan setelah mati". 

Menurut kepercayaan asli orang Batak, jika seseorang mati dalam arti fisiknya musnah maka yang tertinggal adalah "hantu"-nya. Hantu-hantu orang mati itu ada di " dunia tak terlihat", berdampingan dengan orang hidup di "dunia kasat mata".

Karena itu, jika orang hidup ingin berkomunikasi dengan orang mati, maka dipanggilah hantu atau begu-nya. Lazimnya hantu yang dipanggil adalah hantu leluhur atau nenek-moyang. Tujuannya untuk memohon berkat atau petunjuk hidup.

Ada dua cara yang lazim ditempuh orang Batak untuk memanggil hantu leluhur.

Pertama, memanggil "leluhur" memasuki tubuh seorang medium. Biasanya dilakukan suatu keluarga atau komunitas di bawah arahan seorang datu (dukun).

Setelah hantu leluhur memasuki tubuh medium, datu kemudian bertanya atau menyampaikan permohonan padanya. "Leluhur" akan menjawab, biasanya setelah minta sejumlah persyaratan untuk dipenuhi.

Kedua, keluarga atau komunitas membawa "hidangan" ke makam leluhur. Di situ makanan disajikan dan doa (tonggo-tonggo) memanggil arwah dipanjatkan. Lalu seorang tetua yang punya kemampuan melihat roh akan memberitahu apakah "leluhur" datang atau tidak dan menyantap makanan atau tidak.

Jika hantunya datang dan menyantap makanan, maka itu pertanda baik atau berkah.

Di masa lalu, atau setidaknya sampai awal 1900-an, sebelum ajaran agama Kristiani menyebar luas ke Tanah Batak, agama yang hidup di sana adalah hasipele-beguon (paganisme).

Secara harafiah pele berarti "memberi sesembahan", begu berarti "hantu orang mati". Hasipele-beguon berarti "penyembahan hantu orang mati" (hantu leluhur).

Di sini perlu membedakan sombaon dengan begu. Begu adalah bentuk manusia di alam kematiannya. Sedangkan sombaon adalah dewa-dewa orang Batak. Baik itu Dewa Maha Agung (Mulajadi na Bolon), Dewa-Dewa Agung (Bataraguru, Soripada, Mangalabulan), dan Dewa Kecil (a.l. dewi air Boru Saniangnaga dan dewa tanah Boraspati ni Tano).

Bisa dikatakan, pada mulanya bagi orang Batak hantu bukanlah zat yang menakutkan, mencelakakan, apalagi mematikan. Sebab tidak ada rumusnya orang mati membunuh orang hidup. 

Faktanya orang Batak meyakini adanya begu atau hantu selain hantu orang mati. Ada tiga sosok hantu utama dalam masyarakat Batak yaitu beguganjang, homang, dan begulambak.

Tiga sosok hantu ini tidak jelas asal-usulnya. Ketiganya tidak dikenal dalam mitologi orang Batak (Toba) dan praktek religi hasipelebeguon. Juga tidak dikenal sebagai hantu-hantu orang mati. Lalu dari mana datangnya tiga hantu ini? Nanti saya akan coba berikan analisisnya di bagian akhir.

***
Sekarang saya akan perkenalkan dulu tiga hantu Batak yang terkenal itu. Silahkan mengikuti pengenalan ini tanpa perlu mendirikan bulu roma. Tidak ada yang perlu ditakutkan di sini.

Beguganjang. Inilah hantu yang paling terkenal dan dinilai paling jahat dalam masyarakat Batak (Toba). Secara harafiah begu berarti hantu, ganjang berarti panjang (tinggi). Beguganjang menunjuk pada sosok hantu yang sangat panjang (tinggi).

Tidak ada kepastian tentang "sosok" hantu ini. Orang Batak hanya bilang, "Pokoknya sangat tingggi dan menyeramkan." Seberapa tingginya, tidak ada ukuran pasti, kecuali dikatakan lebih tinggi dari pohon di sekitarnya. 

Seberapa seramnya juga tak jelas. Ada yang bilang kurus tinggi, hitam, lidahnya menggantung panjang, matanya besar melotot, mulutnya selalu menyeringai. Ada yang bilang kurus tinggi, putih, wajah rata putih hanya terlihat mata melotot. Jadi soal tingkat keseraman ini, silahkan berimajinasi sendiri.

Orang Batak meyakini bahwa beguganjang itu adalah buatan dan peliharaan manusia. Menurut cerita dari mulut ke mulut, jenis hantu ini "diciptakan" oleh seseorang yang punya "ilmu hitam" dari jasad bayi yang usia kuburnya belum 7 hari. Melalui ritual tertentu, dengan tumbal-tumbal tertentu, katanya jasad bayi itu ditempa menjadi beguganjang.

Aslinya beguganjang ditugasi pemeliharanya menjaga ladang pertanaman. Dalam masyarakat Batak tempo dulu, jarak ladang ke perkampungan umumnya jauh sehingga rawan pencurian. Tugas beguganjanglah mengamankan ladang dari pencuri. Jika ada nekad yang mencuri, maka dia akan jatuh sakit lalu meninggal dalam waktu cepat. 

Konon, ladang yang dijaga beguganjang akan aman dari pencurian dan memberikan hasil melimpah. Hasil melimpah ini tentu memberi kesejahteraan lebih bagi pemilik ladang. Orang Batak bilang, gabe na niula, usahataninya memberi hasil melimpah ruah.

Tapi, bicara tentang "ekonomi hantu", tidak ada yang gratis. Sebagai peliharaan, beguganjang itu harus diberi makan atau sajian. Di sinilah letak keseramannya. Sebab makanan yang diminta beguganjang adalah nyawa manusia. 

Maka, jika ada warga meninggal mendadak atau secara misterius di satu kampung, segera muncul sangkaan bahwa itu adalah korban beguganjang. Apalagi jika kejadian kematian menimpa sejumlah orang tanpa kejelasan penyebabnya.

Bagian terseram adalah cara beguganjang "memakan" korbannya. Konon pemeliharanya akan memilih calon korban lalu mengarahkan hantu ini untuk membunuhnya. Calon korban akan dimonitor pergerakannya. Saat dia berjalan sendirian malam hari, maka beguganjang muncul tiba-tiba menghadangnya. 

Konon beguganjang itu pertama-tama terlihat sebagai sosok kecil pendek. Tapi lama-lama tubuhnya memanjang ke atas melebihi tinggi pohon. Orang atau korban yang melihatnya akan terbawa mendongak ke atas melihat ke arah kepala hantu tersebut.

Pada waktu itulah, tanpa terlihat, kedua tangan hantu itu tiba-tiba mencekik leher korban sampai mati.

Homang. Ini adalah sosok hantu hutan yang diyakini gemar menyesatkan orang sehingga hilang secara misterius. Konon orang disesatkan homang ada yang berhasil ditemukan kembali hidup-hidup tapi ada juga yang tinggal kerangka.

Homang konon tinggal di hutan-hutan tanah Batak. Baik di hutan perawan maupun di hutan yang lazim didatangi warga untuk memanen hasil hutan, semisal rotan, kemenyan atau getah, kayu, hewan, dan buah-buahan hutan.

Hantu ini digambarkan sebagai mahluk tinggi-besar, berbulu panjang sekujur tubuh, bergigi tajam, dan bermata bundar merah dengan sorot tajam. Berdasar deskripsi ini, kira-kira wujud homang itu seperti mahluk Yeti di Himalaya. Atau sekurangnya seperti orang utan yang berjalan tegak.

Bedanya dengan manusia dan keluarga kera, telapak kaki homang itu terbalik ke belakang. Karena itu jejak kaki homang itu menyesatkan. Dikira berjalan ke arah selatan, nyatanya ke utara. Atau disangka ke arah utara, nyatanya ke selatan.

Diceritakan pula, makanan homang itu adalah daging dan buah-buahan hutan. Berarti dia semacam mahluk kera pemburu dan pengumpul hasil hutan juga, seperti manusia purba.

Homang tidak bisa bicara tapi mampu menirukan suara manusia. Di sinilah letak "kehantuan"-nya. Jika seseorang lepas dari rombongan di hutan, lalu teman-temannya memanggil-manggil namanya, maka homang akan menirukan dan ikut memanggil nama orang tersebut. 

Orang yang dipanggil kemudian akan bergerak ke arah suara homang memanggil. Karena homang bergerak pindah-pindah, teriakan panggilan juga pindah-pindah. Akibatnya orang yang mendekati suara itu akan semakin tersesat, sampai kemudian terperangkap di sarang homang.

Konon jika sudah terperangkap di sarang homang, korban menjadi linglung, bisu, dan tak terlihat. Menurut cerita, orang-orang yang mencari korban hilang ke hutan sebenarnya sering lewat di dekat korban, tapi mereka tak bisa melihatnya.

Korban sendiri bisa melihat dan mendengar para pencarinya berbicara, tapi tidak bisa berteriak atau menemui mereka, karena dia mendadak bisu dan lumpuh.

Menurut cerita orang tua tempo dulu, sebenarnya korban punya pilihan untuk lepas atau tetap disekap homang. Katanya, jika korban terus-menerus menolak makanan yang diberikan homang maka dia akan dilepaskan.

Tapi jika korban memakan makanan itu, maka dia selamanya akan disekap homang. Masalahnya, memang, siapa yang mampu menolak makanan di saat perut lapar luar biasa?

Begulambak. Ini jenis hantu yang beroperasi di jalan-jalan setapak menuju ladang, sawah, dan hutan. Jalan-jalan seperti itu umumnya sunyi, tidak banyak dilewati orang. Di situ, di saat-saat sepi, dia dengan sabar menunggu korbannya.

Sosok hantu begulambak ini masih kontroversi juga. Sebagian orang bilang sosoknya seperti musang raksasa dengan kepala menyeramkan. Sebagian lagi bilang tubuhnya seperti musang tapi kepalanya seperti kuda yang bertaring. Satu hal yang disepakati, hantu ini berjalan tegak pada dua kaki belakangnya.

Begulambak ini tergolong hantu "pengecut". Tidak berani menghadang korban dari depan. Hantu ini konon mengendap dari belakang korbannya yang melintas sendirian di jalan sepi.

Secara mendadak begulambak kemudian menggelitiki pinggang dan ketiak korbannya sambil meringkik cekikikan. Korban, karena kegelian yang hebat, terbawa ikut tertawa terus-menerus sampai tenaganya habis lalu mati.

***
Pertanyaannya sekarang, benarkah ada beguganjang, homang, dan begulambak dalam kehidupan masyarakat Batak?

Jika orang Batak di Tanah Batak sana ditanya, pasti jawabnya, "Ya ada!" Tapi kalau ditanya apakah sudah pernah melihatnya, pasti jawabnya, "Belum!"

Atau paling jauh dijawab, "Ada orang kampung Pastima yang memelihara beguganjang" atau "Si Polan dulu katanya meninggal dicekik beguganjang." Atau jawaban ini, "Si Adoi hilang di hutan kemenyan karena disesatkan homang."

Jadi keyakinan orang Batak akan keberadaan hantu-hantu itu sejatinya tak punya dasar sama sekali. Baik itu dasar mitologis, religious, maupun empiris.

Dengan kata lain hantu beguganjang, homang, dan begulambak adalah folklore atau tepatnya tahyul karangan masyarakat. Takhyul itu kemudian diceritakan dari satu ke lain generasi dengan versi yang bervariasi.

Takhyul semacam itu dikarang antara lain sebagai alat pemaksa warga untuk patuh norma atau alat pendidik anak supaya patuh pada orangtua.

Jika diperhatikan ternyata tiga sosok hantu Batak itu punya wilayah operasi yang spesifik. Beguganjang beroperasi di ladang dan kemudian di sekitar pemukiman. Homang beroperasi di hutan. Sedangkan begulambak beroperasi di jalan-jalan sepi menuju perladangan dan hutan.

Besar kemungkinan beguganjang itu adalah pentahyulan halak-halak (orang-orangan ladang/sawah) yang lazim dipasang petani Batak di ladang untuk menakuti hewan "pencuri" tanaman seperti burung, babi hutan, monyet, dan beruang. Halak-halak itu lazimnya memang kurus tinggi, karena disangga dengan batang bambu, dengan bentuk kepala yang seram. 

Bentuk halak-halak ini memang menyeramkan jika dilihat malam hari. Orang bisa terkejut melihatnya dan jika dia punya riwayat jantung lemah, bisa saja langsung jatuh lemas atau bahkan meninggal.

Orang Batak dahulu kala menyebut cara kematian seperti itu sebagai orang yang diserang beguantuk, mendadak dipentung hantu lalu mati. Dulu orang Batak tidak paham tentang kematian mendadak karena serangan jantung, atau karena pecah pembuluh darah di otak.

Sedangkan homang secara gamblang sebenarnya merujuk pada wujud orang utan. Artinya wujud kera besar itu direka-cipta menjadi suatu sosok hantu yang bisa menyesatkan orang di hutan.

Lazim suatu komunitas Batak dahulu menunjuk wilayah hutan tertentu sebagai parhomangan, perkampungan homang. Tujuannya agar orang tidak pergi ke sana menebang kayu karena hutan itu merupakan sumber air untuk orang sekampung.

Selain itu sosok homang agaknya diciptakan juga untuk memelihara solidaritas dalam kelompok orang yang pergi mencari nafkah ke hutan.

Misalnya mencari rotan atau getah kemenyan dan damar. Antaranggota kelompok harus saling menjaga, selalu berdekatan, dan jangan ada yang seorangpun yang lepas dari kelompok. Di hutan banyak binatang buas yang bisa saja menyerang seseorang yang lepas dari rombongannya.

Begulambak lebih merupakan tahyul untuk menakut-nakuti anak kecil yang nakal, suka bermain jauh dari rumah atau bermain di luar rumah sampai malam.

Cerita begulambak kemudian dikisahkan pada anak-anak supaya mereka menjadi anak manis. Ada kemungkinan sosok begulambak ini merujuk pada sosok orang gila yang suka berkeliaran sambil tertawa-tawa di jalan-jalan luar kampung.

Orang gila semacam itu memang senang mengganggu anak-anak yang lewat di dekatnya.

Ironisnya, orang Batak masa kini yang sudah makan pendidikan tinggi tampaknya menolak untuk berpikir rasional dan kritis soal keberadaan tiga hantu itu. Malahan ada kecenderungan orang semakin percaya bahwa hantu-hantu itu memang benar ada, kendati tak seorangpun yang pernah melihatnya. 

Paling memprihatinkan adalah kepercayaan orang Batak akan adanya beguganjang. Tragisnya, kepercayaan akan adanya hantu itu berkembang dalam masyarakat Batak yang dicirikan ketimpangan ekonomi yang nyata.

Mayoritas warga miskin cenderung menuduh minoritas yang kaya-raya sebagai pemelihara beguganjang, sebagai alat untuk memperkaya diri.

Terlebih jika di tengah masyarakat kemudian terjadi peritiwa kematian beruntun. Sudah pasti hal itu dipercaya akibat dicekik beguganjang peliharaan orang kaya, sebagai syarat "makanan" (tumbal).

Peristiwa nyata pernah terjadi di Kampung Bunturaja, Desa Sitanggor, Muara Tapanuli Utara pada tanggal 15 Mei 2010. Tiga orang, suami-isteri dan anaknya, warga kampung itu tewas dibakar hidup-hidup oleh warga sekampung. Keluarga itu dituduk sebagai pemelihara beguganjang yang menyebabkan kematian misterius warga kampung.

Kejadian serupa terulang di Desa Aaekraja, Kecamatan Parmonangan Tapanuli Utara pada 11 Juli 2014. Tiga orang warga desa itu dianiaya dan dirusak rumahnya oleh warga sekampung karena dituduh memelihara beguganjang yang telah menyebabkan kematian misterius seorang warga.

Hal yang menarik dicermati, orang-orang yang dibunuh atau dianiaya atas tuduhan memelihara beguganjang pencabut nyawa itu adalah warga dengan keadaan ekonomi yang tergolong berada.

Sedangkan orang-orang yang meninggal "misterius" adalah orang kebanyakan atau miskin.

Ketika seorang miskin meninggal mendadak, tanpa periksa penyebabnya, orang sekampung langsung menyimpulkan itu adalah perbuatan beguganjang yang dipelihara orang kaya. Agar tidak terjadi lagi kematian warga, maka orang kaya pemelihara beguganjang harus diusir atau bahkan dibunuh. 

Gejala semacam itu diduga merupakan manifestasi kecemburuan sosial dalam masyarakat kampung. Manakala ada segelintir orang kaya, lalu ada mayoritas orang susah yang merasa tidak diperdulikan orang kaya itu, timbullah rasa frustasi sosial pada si miskin.

Orang miskin kemudian melampiaskan rasa frustasinya dengan cara mengusir atau membunuh orang kaya atas tuduhan telah menyebabkan kematian dan keresahan sosial karena memelihara beguganjang.

Ironisnya sudah sedemikian lama orang Batak mengenal agama Kristiani (untuk menyebut mayoritas) dan mengenyam pendidikan yang tinggi. Tapi kepercayaannya tentang hantu beguganjang, homang dan begulambak ternyata masih dibawa-bawa dalam kepalanya.

Lalu apa artinya iman Kristiani dan pengetahuan rasional-empiris bagi orang Batak? Ini harus dijawab dengan kepala dingin.

Demikianlah ulasan saya, Felix Tani, petani mardijker, menghabiskan masa kanak-kanak dalam kepungan tahyul beguganjang, homang, dan begulambak di pedalaman Tanah Batak.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun