Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seruas Jalan Tanpa Trotoar di Jakarta

26 Februari 2019   09:01 Diperbarui: 26 Februari 2019   10:32 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Situasi Jalan Bangka Raya pagi hari, Seni 25 Februari 2019 (Dokpri)

 Trotoar itu adalah hak segala pejalan kaki. Mungkin begitulah kalimat pertama dalam pembukaan Undang-Undang Pejalan Kaki Republik Indonesia. Jika saja undang-undang seperti itu ada.

Tanpa trotoar maka akan lewat manakah para pejalan kaki perkotaan melintas? Sebab jangankan tanpa trotoar. Di Jakarta hak pejalan kaki atas trotoarpun masih kerap dirampas pemotor dan pedagang kaki lima (PKL).

Itu sebabnya anggota Koalisi Pejalan Kaki Jakarta kerap harus bersitegang dengan para pemotor yang menyerobot ke trotoar. Bahkan ada anggotanya yang pernah dihajar pemotor. Hanya karena menegakkah haknya atas trotoar.

Tapi apakah ada jalan tanpa trotoar di Jakarta? Tentu saja ada. Banyak malahan. Salah satunya Jalan Bangka Raya di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
***
Jalan Bangka Raya terentang dari daerah Kemang di selatan sampai ke Jalan Tendean di utara. Panjangnya kurang lebih 5 kilometer.

Tentang asal usul nama "Bangka" itu sekurangnya ada dua versi. Versi pertama menyebut nama itu berasal dari kata "bangkai" atau "bangke". Karena tempat itu pada masa kolonial dulu konon menjadi tempat pembuangan mayat korban kerja paksa.

Versi kedua, dulu katanya di sana memang tinggal komunitas asal Bangka. Maka nama tempat itu dikenal sebagai kawasan Bangka, dan jalannya disebut Jalan Bangka.

Versi kedua lebih masul akal. Sebab kata "bangke" dalam Bahasa Betawi tak pernah dilafalkan "bangka". Contoh, nama kampung Rawabangke, Jakarta Timur (sekarang dinamai Rawabunga).

Saya melintas pertama kali di Jalan Bangka Raya tahun 1994. Waktu itu di ruas jalan ini memang tak ada troroar. Rupanya predikat tanpa trotoar itu berkelajutan hingga tahun 2019 ini.

Di sepanjang jalan ini, bangunan hanya berjarak satu sampai satu-setengah meter dari badan jalan. Aneka bangunan berjejer di situ: rumah, minimarket, toko bangunan, rumah makan, kedai kopi, warung bakso, toko buah, warung kelontong, klinik pengobatan, toko elektronik, toko gadged, dan lain sebagainya.

Sebenarnya ada jalur tanah antara jalan dan bangunan selebar 1.0-1.5 meter. Tapi jalur itu diisi pohon angsana, tiang aneka kabel, dan tiang lampu jalanan. Sehingga praktis tidak bisa dilalui pejalan kaki.

Kalaupun ada bagian jalur tanpa pohon atau tiang kabel dan lampu, maka itu biasanya diokupasi parkiran motor dan pedagang kaki lima (PKL). Sehingga tetap tak bisa difungsikan sebagai jalur pejalan kaki.

Karena itu para pejalan kaki harus mempertaruhkan keselamatan saat melintas di ruas jalan ini. Ketiadaan ada trotoar, atau jalur untuk jalan kaki, menyebabkan mereka harus menjajah ke badan jalan.

Risiko pejalan kaki di Jalan Bangka Raya sudah pasti ada. Minimal terserempet kendaraan yang melintas. Terutama oleh sepeda motor yang jamak bergerak acak sehingga sulit ditebak arahnya. Apalagi jika dikendalikan oleh ibu-ibu dan anak-anak usia SD dan SMP.

Titik paling "gila" di ruas jalan ini adalah di sekitar "Pasar Kecil" (pasar tradisional). Terutama di pagi dan sore hari. Di titik ini orang menyeberang seenaknya saja, keluar-masuk pasar. Bajaj dan motor parkir sembarang di pinggir jalan, menunggu orang belanja.

Belum lagi kerumunan pembeli jajanan yang bokongnya menjorok ke tengah jalan. Seolah mereka sedang berada di tanah lapang saja. Jika tak hati-hati berkendara, beberapa bokong bisa saja tersenggol di titik itu.

Kondisinya diperparah barisan PKL di kiri kanan jalan. Sering bahkan sampai memakan sebagian pinggir badan jalan.

Sekitar tahun 2016-2017 ruas jalan ini sebenarnya sempat relatif bersih dari okupasi PKL. Waktu itu Gubernur Ahok melarang orang berdagang di trotoar. Larangan itu juga berlaku untuk Jalan Bangka Raya. Kendati di jalan ini sebenarnya tak ada trotoar.

Sekarang PKL marak lagi di pinggir jalan. Mulai dari pagi sampai malam. Puncak keramaiannya sore sampai malam hari.

Semuanya penjaja makanan. Mulai dari gorengan, bubur ayam, soto, nasi uduk, bakso, sate, pecel lele, kebab, ketoprak, nasi goreng, dan lain-lain.

Jalan Bangka ini memang dikenal sebagai salah satu "crazy street" di Jakarta Selatan. Karena bus kota, bajaj, pemotor, kendaran pribadi, dan pejalan kaki yang sama "gila"-nya jika melintas di ruas jalan ini. "Gila" karena tidak ada yang mematuhi rambu lalu-lintas dan etika menggunakan jalan raya. Semua mau menang sendiri.
***
Jargon terkenal dari Gubernur Jakarta sekarang, Anies Baswedan, adalah "Maju Kotanya Bahagia Warganya". Soal bahagia itu subyektif. Datangnya dari dalam diri. Bukan dari luar. Jadi Gubernur Jakarta, siapapun orangnya, tak akan pernah bisa bikin bahagia warganya.

Yang bisa diupayakan seorang gubernur adalah membuat warganya senang. Tentu dengan cara memajukan kotanya. Agar kehidupan warga menjadu lebih mudah, murah, nyaman, dan aman. Itu tugas utama seorang gubernur.
 
Tak perlu kompatan besar kemajuan untuk menyenangkan warga. Cukup dengan satu kemajuan bersahaja. Salah satunya dengan memfasilitasi pejalan kaki secara layak. Terutama penyediaan trotoar untuk mereka.

Kota yang maju adalah kota yang memuliakan pejalan kaki. Ini berlaku umum, tak terkecuali untuk Jakarta. Maka jika Pak Gubernur hendak menyenangkan warga Jalan Bangka Raya, bangunlah trotoar di sana. Tidak perlu lebar-lebar. Cukuplah 1.0 meter di kiri dan kanan jalan.

Sangat sederhana sebenarnya. Tapi entah mengapa Pemda Jakarta tak tergerak untuk membangun trotoar di jalur-jalur jalan tanpa trotoar. Ridak hanya di Jalan Bangka Raya. Tapi juga di jalan-jalan lain yang tak perlu disebut namanya di sini.
 
Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, selalu gamang berjalan kaki di Jakarta.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun