Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Kali Item Jakarta

25 Juli 2018   22:07 Diperbarui: 25 Juli 2018   22:20 1293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kali Item di bawah waring item (Foto: liputan6.com)

Ketika Anies Baswedan, Gubernur Jakarta bilang bahwa kondisi tercemar parah Kali Item (Kali Sentiong)  adalah warisan dari pemerintahan sebelumnya, maka dia telah memolitisasi kasus air berbau busuk itu.

Katanya, "Jika yang mengelola Jakarta dulu memperhatikan ini, kita enggak punya warisan Kali Item. Ini karena  dulu enggak diperhatikan, jadi kita punya warisan Kali Item. ... sekarang kenyataannya ada itu, sekarang kita bereskan." ("Anies: Jika yang Kelola Jakarta Dulu Memperhatikan, Kita Enggak Punya Warisan Kali Item", kompas.com, 24/7/18).

Jelas pada ujaran Anies itu, dia telah mengkapitalisasi kasus Kali Item, untuk kepentingan politiknya. Dia hendak membangun opini bahwa pemerintahan Jokowi/Ahok/Jarot tidak becus menanggulangi pencemaran Kali Item, sehingga dia kini terkena getahnya harus membereskan masalah.

Intensi politiknya gamblang. Anies menarget citra politik sebagai  pembawa solusi untuk masalah-masalah pembangunan dan pemerintahan yang tak teratasi pemerintah sebelumnya.

Tapi, disadarinya atau tidak, ujaran Anies itu mengandung tiga masalah inkonsistensi yang justru berpotensi kontraproduktif terhadap upaya pencitraan politiknya.

Tak Sesuai Fakta

Pertama, inkonsistensi isi ujaran dengan fakta.  Ketika Anies bilang Kali Item tidak diperhatikan pemerintah sebelumnya, maka sejatinya dia sedang menyembunyikan fakta bahwa pemerintahan Jokowi/Ahok-lah yang pertama memberi perhatian serius pada pembenahan Kali Item.

Jokowi/Ahok telah menjalankan program normalisasi Kali Item, sepanjang 8 km dari Johar Baru sampai Kemayoran.   Pemerintahan mereka telah merelokasi pemukim liar sepanjang bantaran kali; membangun jalan inspeksi; membangun turap beton;  mengeruk lumpur; dan menempatkan petugas PPSU untuk membersihkan badan air kali setiap hari.  

Hasilnya, sebagaimana bisa dilihat buktinya di media digital, tahun 2016 Kali Item sempat tampil bersih dan rapih.  Artinya, Anies mengujarkan pernyataan fiktif, tak berdasar data valid.

Sejatinya, Kali Item sudah sempat ditangani dengan baik. Tapi persoalan kemudian muncul Desember 2016 saat Plt Gubernur Jakarta Sumarsono menskor 63 orang petugas PPSU Kali Item. Gara-gara mereka berfoto sambil membentang spanduk kampanye paslon gubernur/wagub Agus-Sylvi.  Itu pelanggaran etika pegawai Pemda Jakarta.

Sejak itu penanganan kebersihan Kali Item tidak lagi optimal, bahkan cenderung terbengkalai, sehingga sampah menumpuk kembali. Keterbatasan Plt. Gubernur dan singkatnya masa jabatan Gubernur Jarot menyebabkan Kali Item  kurang terperhatkan.  

Sebenarnya ada petugas PPSU baru yang ditempatkan di kali itu. Tapi mereka tidak mampu mengatasi masalah pencemaran karena tak memahami karakter Kali Item. Atau mungkin disiplin petugas PPSU lansung kendor pasca-kekalahan Ahok dalam Pilgub.

Ketika Anies Baswedan resmi menjabat gubernur tanggal 16 Oktober 2017, masalah Kali Item tetap tidak diperhatikan.  Sampai kemudian bulan ini publik heboh karena inovasi waring dari Anies untuk mereduksi ruapan udara berbau busuk dari badan air Kali Item.

Publik heboh karena waring  bukanlah solusi atas pencemaran Kali Item,  tapi solusi instan dan temporer untuk menahan  ruapan hawa busuk dari badan kali.  Itu hanya kamuflase yang berisiko meningkatkan konsentrasi udara berbau busuk  di bawah waring. Bisa  mengganggu kesehatan petugas PPSU yang bekerja di badan kali.

Tak Sesuai Kebijakan

Kedua, inkonsistensi kebijakan dan aksi. Di awal jabatannya, Anies sudah mencanangkan kebijakan "naturalisasi" kali. Intinya sama dengan "normalisasi" sungai yang dijalankan Ahok sebelumnya. Itu barang yang sama dengan bungkus berbeda.

Jika konsisten melakukan naturalisasi kali, maka seharusnya Anies bukannya memasang waring di Kali Item, tapi melanjutkan penanggulangan pencemaran dan pembersihan badan air, seperti dilakukan Ahok sebelumnya.

Jika Anies konsisten dengan program naturalisasi sungai yang dicanangkannya, maka tidak akan ada masalah bau air Kali Item. Sehingga dia tak perlu mengkambing-hitamkan pemerintah terdahulu atas permasalahan yang merupakan tanggung-jawabnya sekarang.

Tapi khas Anies Baswedan, dia cenderung melihat proses pemerintahan sebagai fungsi diskret, bukan fungsi kontinu. Karena itu dia selalu menarik garis batas tegas antara pemerintahan terdahulu dan pemerintahannya.  

Perhatikan kecenderungannya untuk mengoreksi (baca: menyalahkan) kebijakan/program pemerintahan Gubernur Jokowi/Ahok/Jarot. Lalu mengklaim kebijakan/programnyalah yang benar. Walaupun faktanya baru sebatas studi dan rencana.

Kasus waring Kali Item ini membuktikan ketakmampuan Anies menjalankan gagasannya sendiri tentang naturalisasi sungai.  

Bukan Solusi Masalah

Pemasangan waring, yang akan dilengkapi tanaman merambat dan mungkin lampu warna-warni, sejatinya bukan solusi atas masalah mendasar Kali Item.

Masalah dasar adalah pencemaran dari limbah industri tahu dan rumahtangga sepanjang kali. Ini yang seharusnya ditangani Anies. Entah itu dengan cara membangun IPAL komunal untuk industri tahu rakyat, pengendaluan limbah rumah tangga, atau pendisiplinan petugas PPSU di Kali Item.

Targetnya adalah menekan buangan limbah ke badan kali, sehingga mutu air membaik dan tidak berbau lagi.  Dengan begitu, tidak perlu pasang waring 720 meter dengan biaya Rp 581 juta. Bahkan Anies sudah berpikir mereplikasi pe-waring-an itu di kalu yang lain.

Sejatinya, dalam kasus ini, Anies sedang berpolitik dengan menggunakan pola "strawman argument", argumen orang-orangan jerami. Dia lari dari masalah sesungguhnya yaitu "pencemaran kali", dan menciptakan masalah baru berupa "bau kali", lalu bertempur mati-matian menaklukkan ruapan "bau" itu.

Perhatikan segala upaya yang dilakukan adalah untuk mengatasi ruapan bau, demi kenyamanan atlet Asian Games (bukan warga sekitar). Mulai dari teknologi "nano buble" sampai akhirnya waring yang menutup kebusukan air kali.

Bagi Anies, tidak penting sekarang mengatasi sumber bau. Yang penting adalah mengatasi bau, karena itulah yang dengan cepat bisa dikapitalisasi untuk kepentingan politiknya. Jika atlet Asian Games nyaman, maka nilai plus untuk Anies.

Itu sebabnya Anies terlihat kesal pada pers lokal yang terus-menerus menyorot pewaringan Kali Item, sehingga media asing ikut-ikutan menyoroti juga.  Sorotan media asing itu merugikan citra Anies. Karena  dunia internasional jadi tahu  gubernur Ibukota Negara RI ternyata lebih suka "menyembunyikan sampah di bawah tikar".

Tapi itulah politik, "the art of the possible", dengan penekanan pada "possible"  dalam kasus Kali Item. Ringkasnya, jika pewaringan kali bisa menjadikan Anies "pahlawan penakluk bau", apa salahnya dilakukan? Apalagi jika pewaringan itu mendegradasi citra positif pemerintah terdahulu.

Begitulah politik Kali Item hari-hari ini menurut saya, Felix Tani, petani mardijker pecinta kali bersih.***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun