Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Batak Itu Cengeng?

9 Desember 2016   10:15 Diperbarui: 9 Desember 2016   11:57 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jack Marpaung, salah seorang penyanyi Batak jago andung masa kini (norrysequator.blogspot.com)

Pernah lihat seorang laki-laki berwajah sangar, sesangar Mike Tyson, memetik gitar sambil bernyanyi meratap-ratap?

Coba tanya dia, “Orang Batak ya, Bang?” Yakin 75 persen jawabannya, “Botul, aha haroa!” (Betul, emang kenapa?)

Kontradiktif, memang. Muka sangar, hati cengeng. Cengeng? Tunggu dulu. Apakah benar orang Batak berhati cengeng, lantaran suka melantunkan lagu-lagu ratapan? Tepatnya, lagu-lagu “andung” (ratap-tangis)?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, simaklah lebih dahulu syair lagu “andung” standar karya komponis Nahum Situmorang berikut. Judulnya “Huandung ma Damang” (Tangisku untuk Amang):

Huandung ma damang, Amang rabi-rabi, Amang dopa-dopa, Amang rajanami.

Babiat di huta, gompul di balian. Na tanda di adian, songon hoda si bolang.

Bohama pangandunghu di damang, da damang na hu adui. Da parroha simulak-ulak amonge, parsiturian naso hajalahan on. Molo huparningothon do, da na malambok pusu i, da damang na hu adui i, tu ahu lapa-lapa on.

Hei hei … hei hei … hei hei hei ...

Na sungkot so na ginjang ahu among, na ponjot so nabolon on. Aut na binaen ni ginjanghu ahu nian, na boi do paunduhon hi. Aut na binaen ni bolonhu ahu among, na boi do pajorbingon hi. Nunga pinaginjang ni na hansit be ahu, pinabolon ni na dangol on.

Hei hei … hei hei …hei hei hei …

Na so barani pulut ahu among, maniop sirumantos i. Manang   maniop siudoron da among, manimbung silumallan i. Asa adong i da amang, da dalan hu haroburan hi. Asa adong i da amang, da dalan hu hamaupon hi. 

Hei hei … hei hei … hei hei hei…”

Terus terang, tidak mudah bagi saya menerjemahkan lagu ini ke Bahasa Indonesia. Sebab dia memuat sejumlah idiom dan kosa kata Batak tua, kosa kata khusus “andung”, yang tidak saya kuasai.

Tapi, bermodal penguasaan bahasa Batak yang pas-pasan, ditambah sedikit rasa bahasa, saya artikan syair lagu itu kira-kira begini:

Tangisku untuk Amang, Amang yang  pandai menyimpan marah, Amang yang kini jatuh terkapar, Amang raja kami.

Harimau di kampung, beruang di sawah. Tampak nyata di peristirahatan, seperti kuda si belang. 

Akan bagaimanakah tangisku untuk Amang, Amang yang kucinta. Engkau yang berhati pemaaf, pencerita tiada tara. Bila ku kenang, sikapmu yang menenangkan hati, Amang yang kucinta, tiada artilah aku serpih sekam  ini.

Hei hei … hei hei … hei hei hei ...

Aku tersangkut bukan karena tinggi Amang, sesak bukan karena besar. Andai tersebab oleh tinggiku, dapatlah aku  merunduk. Andai tersebab oleh besarku Amang, dapatlah aku  menyamping. Aku telah tumbuh oleh derita, besar oleh kepedihan.   

Hei hei … hei hei …hei hei hei …

Andai tegalah hatiku Amang, menghunus pisau belati. Atau menarik seutas tali Amang, terjun ke dasar danau. Agar ada  jalan Amang, menuju  bunuh diriku. Agar ada jalan Amang, menuju akhir ajalku.

Hei hei … hei hei … hei hei hei…”

Lagu andung “Huandung ma Damang” itu berkisah tentang ratapan seorang anak yang gagal dalam hidupnya, atas kematian Amangnya (ayah) yang tak kunjung bisa dibahagiakannya. 

Menyimak syairnya yang begitu indah, tak terbaca nada kecengengan di situ. Juga jika mendengarkan langsung lagu itu dinyanyikan kelompok “Trio Golden Heart”, grup penyanyi Batak legendaris yang mempopulerkan lagu itu tahun 1970-an, tak terdengar nada cengeng sama sekali. 

Menurut saya, Trio Golden Heart-lah penginterpretasi terbaik untuk lagu itu. Mengisahkan kisah pilu tanpa nada cengeng. Sebaliknya justru indah.

Tidak seperti penyanyi Batak generasi masa kini, yang menyanyikan lagu itu dengan bumbu isak tangis, helaan nafas berat, lesapan ingus, dan lain improvisasi yang pada pokoknya “lebaayy…”.  Esensi malah lenyap oleh ekspresi sensasi.

Andung” sejatinya adalah salah satu bentuk kekayaan seni tradisi budaya Batak. Aslinya andung itu bersifat personal. Ditembangkan dalam kesendirian, untuk diri sendiri, sebagai katarsis dari tekanan berat kehidupan. Esensinya adalah ungkapan rasa sakit, derita, pilu, dan sejenisnya, lazimnya karena tekanan kemiskinan atau kemalangan dalam hidup. 

Orang Batak tempo dulu memang sudah bergulat dengan masalah kemiskinan. Sumberdaya alam yang terbatas menjadi sebab. Dominasi lahan kering yang tandus tidak memberi rejeki yang memadai untuk orang Batak, dengan segala keterbatasan teknologi. Maka kemiskinan menjadi keseharian untuk banyak orang Batak. 

Kemiskinan mendorong orang Batak merantau. Ke Sumatera Timur atau Jawa dan daerah lain. Tapi merantau tak pernah mudah. Kemiskinan tidak serta merta lekang. Maka penderitaan selalu mengikuti setiap helaan nafas.

Di bawah tekanan berat kehidupan, maka andung menjadi sarana katarsis terbaik. Untuk penguatan diri, menghadapi kenyataan besok hari, yang sudah untung bila bisa sama dengan hari ini.

Maka andung, atau “mangandung”,  sebenarnya adalah ekspresi jujur orang Batak tentang derita hidupnya. Lazimnya tanpa isak tangis, tanpa luberan air mata. Mungkin mata basah, tapi bukan karena sedu-sedan. 

Kerap juga seseorang, lazimnya perempuan tua, memanggungkan “andung”nya dakam kesempatan melayat orang meninggal. Biasanya, kalau orang yang pandai andung sudah “mangandung”, para pelayat akan menyimak dan menikmatinya. Tidak semua orang bisa “mangandung”, mengingat irama, kosa kata, dan idiomnya yang spesifik. Orang yang cuma bisa “mangangguk bobar” (nangis bombay) biasanya akan disuruh diam.

Tradisi andung itulah yang kemudian diangkat ke khasanah lagu Batak populer. Sayangnya, dalam perkembangannya, esensi andung itu malah cenderung memudar ketika diekspresikan dalam bentuk lagu populer. Yang menonjol justru sensasi sedu-sedan yang didramatisir, memenuhi selera pasar.  Akibatnya malah terkesan cengeng.

Tapi, sungguh, lagu andung sejatinya bukanlah lagu cengeng. Sayangnya, banyak penyanyi Batak masa kini yang menginterpretasikannya sebagai lagu cengeng. Maka timbullah citra orang Batak itu sebagai orang cengeng berwajah garang. 

Begitulah. Tugas orang Batak sendirilah, terutama para penyanyinya, untuk memupus citra “Batak cengeng” itu. Sebelum terlanjur menjadi stereotip etnik Batak. Caranya gampang: Kembali ke esensi dasar andung!(*) 

*)Mohon koreksi dari rekan-rekan Kompasianer Batak, jika terdapat kesalahan dalam terjemahan lagu "Huandung ma Damang".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun