Mohon tunggu...
Syarif Tjan
Syarif Tjan Mohon Tunggu... -

Lahir Di Tobelo.Tipikal slengean dan suka menentang arus. Senang menekuni dunia Filsafat dan Tasauf. Waktu senggang dimanfaatkan dengan melukis, menulis, dan clubing. Pernah mampir menimba Ilmu Teknik Lingkungan di STTL Yogyakarta ( 1991), dan menyempatkan diri belajar di Magister Sistem Teknik (MST) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tahun 2007. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Impact semasa kuliah di Yogya.Menulis adalah hobi sejak dari SMA. Pernah menulis di Majalah "Suara Muhammadiyah" Yogyakarta, dan harian Malut Post. Tahun 2004 saya bersama Bapak Mulis Tapi Tapi mendirikan Tabloid Halut Press dan menjadi Pemimpin Redaksi namun hanya bertahan selama 2 tahun. Mendirikan oragnisasi Filantropis "Tjan Institute", sebagai upaya melakukan riset kecil-kecil dibidang lingkungan. Bergelut di dunia konsultan lingkungan untuk menyusun AMDAL, dan UKL/UPL. Selain konsen terhadap masalah lingkungan, sosial politik dan kebudayaan, juga memiliki cita-cita membesarkan usaha "eco- Entrepreneur" sendiri. saat ini suka menggarap banyak pesanan Instalasi Air Limbah dengan biaya murah. Sudah 17 Tahun hidup dan stay di Ternate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nota Kecil dari ILC TV One "Proyek Pulau Reklamasi Tak Terbendung"

18 Oktober 2017   06:31 Diperbarui: 18 Oktober 2017   19:25 4979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik dari pernyataan Pak Prijanto, mantan Wagub DKI Jakarta yang pernah menggundurkan diri di zaman Gubernur Fauzi Bowo dalam Talkshow Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One semalam (Selasa, 17 Oktober 2017).

Ada beberapa aspek berbeda lain yang disorot oleh Pak Prijanto mengenai pro kontra Reklamasi Teluk Jakarta, antara lain aspek ideologi, politik, social-budaya, dan pertahanan - keamanan.

Menggunakan logika intelijen, secara samar Pak Prijatno mengungkapkan kekawatiran  dibelakang rencana pembangunan reklamasi Teluk Jakarta. Bahwa selama ini kita tidak pernah bertanya tentang bagaimana hasil reklamasi ini dipasarkan? Dimana dipasarkan? Harganya berapa? Siapa yang akan membeli semua property setelah reklamasi ini selesai dikerjakan? Siapa yang akan memanfaatkan pembangunan diatas reklamasi itu? bagaimana interaksi sosial antara orang jakarta dengan para pengguna reklamasi (yang menurut Prijanto kemungkinan besar akan dimiliki oleh orang asing) ? Bagaimana kondisi pertahanan dan kemanan negara kita setelah orang - orang asing yang dimaksud itu sudah menjadi pemilik semua property diatas lahan reklamasi? Dan hal-hal inilah yang akan mengancam ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Saya sepakat dengan Pak Prijatno, bahwa publik Jakarta selama ini hanya dipaparkan informasi mengenai kekhawatiran atas masalah hilangnya mata pencaharian nelayan dan termarjinalnya semua kelompok nelayan yang tinggal di bibir pantai Teluk Jakarta, serta informasi tentang  dampak - fisik, kimia dan biotis - lingkungan belaka. Karena memang  setiap ada pembangunan dimana saja, kita semua tertuju pada Undang-undang no 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

Orang akan ribut bila suatu kegiatan dibangun tanpa memiliki Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Bahwa AMDAL reklamasi Teluk Jakarta penting saya sepakat. Tetapi kemungkinan masalah yang akan muncul kemudian pada tahap pasca konstruksi reklamasi Teluk Jakarta itulah yang lebih penting untuk kita pikirkan.Apakah reklamasi Teluk Jakarta dan semua rencana pembangunan diatasnya ditolak atau diterima?

Bagi saya, masalah reklamasi Teluk Jakarta tidak sekedar masalah AMDAL atau masalah lingkungan semata. Apa yang diungkapkan Pak Prajitno merupakan faktor x yang tersembunyi selama ini d ibalik tarik menarik antara Pemprov DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat mengenai persoalan itu.

Karena kalau dari sisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) saja, nampaknya sangat lemah untuk kita jadikan alasan menolak Reklamasi jakarta. Kenapa? Karena dalam prinsip AMDAL, Aspek Tata Ruang menjadi faktor utama penentu bisa tidaknya sebuah kegiatan dilaksanakan. Kegiatan yang memiliki kesesuain dengan peruntukan ruang, maka secara otomatis kegiatan itu bisa dilaksanakan asalkan AMDAL-nya dibuat. Dari aspek spasial, keberadaan Teluk Jakarta memang diperuntukan untuk reklamasi. Jadi sekali lagi tidak ada alasan untuk menolak reklamasi Teluk Jakarta dari kaca mata AMDAL semata.

Juga dari aspek pengelolaan dampak, AMDAL akan selalu diterima dengan catatan, asalkan tersedianya teknologi dalam penanganan dampaknya. Dan Pemerintah Pusat juga saya pikir sudah mengkaji semua aspek teknis dan administrasi rencana Reklamasi Teluk Jakarta tersebut.

Tapi dari semua itu ada hal yang lebih penting yang saya liat dari ILC semalam, yaitu komentar dari Prof. Rocky Gerung tentang etika dan filosofis dari ekologi itu sendiri. Bahwa AMDAL itu sendiri sebenarnya memiliki semangat "menghambat"  dan " menghalangi "untuk membangun. Dimana, didalam ekonomi,  izin itu adalah salah satu kutub untuk memudahkan eksplorasi. Sedangkan  didalam perspektif ekologi, izin itu untuk menghalangi eksplorasi. Karena izin  dalam ekologi memiliki semangat konservasi dan menjadi salah satu dari berbagai instrument pencegahan dan pengendalian dampak lingkungan.

Dalam konteks ini , mindset  Pemerintah Pusat  dalam memandang pembangunan reklamasi Teluk Jakarta  hanya dari aspek ekonomi saja sangatlah keliru.

Saya setuju sekali dengan Pak Rocky Gerung. Karena Analisisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebenarnya yang saat ini kita anut di Indonesia adalah adopsi dari Undang -Undang Lingkungan di Amerika, National Environmental Police Act (NEPA) sehingga filosofis utamanya kita tidak paham. Cara negara ini mengelola lingkungan sangat mekanis dan syarat administratif belaka. Padahal apa yang dikemukakan Rocky Gerung itu sebenarnya inti dari lahirnya AMDAL di Amerika serikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun