Mohon tunggu...
Muhammad Syamsuddin
Muhammad Syamsuddin Mohon Tunggu... Dosen ITB -

Upaya sederhana, semoga bisa, mendamaikan kata dengan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Akal Sehat Saja, Cukupkah? (Menyambut kedatangan Robert Merton di Jakarta)

12 Januari 2014   23:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akal sehat saja tidak cukup bagi seseorang untuk bisa memahami dengan baik fenomena ekonomi. Akal sehat seseorang masih perlu dikawal oleh imajinasi (atau model ekonomi) agar ia bisa sampai kepada pemahaman yang dalam (deep understanding) tentang fenomena ekonomi. Tulisan ini akan memberikan uraian singkat tentang keperkasaan imajinasi yang mendampingi akal sehat.

Sebagai ilustrasi, di dalam disiplin ilmu keuangan rumus Black-Scholes untuk penentuan harga opsi saham semula dianggap tidak bisa diterima akal sehat (tidak logis) sehingga papernya mula-mula ditolak oleh dewan redaksi Journal of Political Economy (JPE) untuk dimuat. Oleh pihak redaksi JPE rumus Black-Scholes dianggap tidak logis karena pada rumus tersebut tidak memuat expected rate of return dari saham-nya. Memang, menurut rumus Black-Scholes harga suatu opsi saham tidak akan tergantung apakah sahamnya cenderung naik atau cenderung turun. Kecenderungan harga saham untuk naik atau turun digambarkan oleh expected rate of return-nya. Nilai expected rate of return yang positif  (negatif) menggambarkan kecenderungan harga saham yang sedang naik (turun).

Logika ini kelihatannya sulit bisa diterima oleh akal sehat orang pada umumnya (dan juga akal sehat pihak redaksi JPE semula). Logika yang dipakai pihak redaksi JPE semula kira-kira begini. Nilai intrinsik dari suatu opsi tergantung pada posisi harga saham yang sedang naik atau turun. Kalau begitu, bagaimana mungkin harga opsi saham kok bisa tidak tergantung pada kecenderungan untuk naik atau turun dari harga saham seperti di rumus Black-Scholes?  Dengan kata lain, bagaimana mungkin harga opsi saham kok tidak tergantung kepada nilai expected rate of return dari sahamnya?

Apa yang luput dari penglihatan redaksi JPE terhadap rumus Black-Scholes?

Mereka tidak menggunakan model ekonomi (keuangan) ketika menggunakan akal sehatnya. Mereka tidak menggunakan imajinasi. Rumus Black-Scholes diturunkan dari asumsi yang abstraks, yaitu no-arbitrage opportunity. Dengan kata lain, economic agent yang hidup di dalam model diasumsikan sedang menghuni risk-neutral world (yang tentu saja beda dengan real world). Inilah dunia imajiner yang diciptakan untuk menurunkan rumus Black-Scholes. Andaikan mereka bisa menerima cara pandang ini, tentulah mereka juga akan sampai kepada kesimpulan bahwa harga opsi saham tidak akan tergantung pada expected rate of return dari sahamnya.

Inilah peragaan kekuatan imajinasi yang mendampingi akal sehat yang diperlihatkan oleh rumus Black-Scholes. Sang maestro dalam hal ini adalah Robert Merton (MIT). Beliaulah yang memberi jalan bagi Black dan Scholes untuk bisa sampai kepada rumus Black-Scholes yang terkenal itu. Beliau pula yang ‘pasang badan’ agar paper yang ditulis oleh Black dan Scholes tersebut diterbitkan oleh JPE. Sebagai anggota dewan redaksi JPE, Robert Merton bisa meyakinkan dewan redaksi JPE yang lain bahwa paper yang ditulis oleh Black dan Scholes secara logika tidak salah. Paper tersebut akhirnya dimuat di JPE tahun 1973.

Robert Merton sudah mulai memberikan kuliah di MIT tentang harga opsi saham yang demikian sejak tahun 1970 (lihat disini). Padahal paper yang memuat rumus Black-Scholes baru diterbitkan tahun 1973. Robert Merton sendiri yang pertama kali memberi julukan ‘Black-Scholes formula’. Beliau menahan diri agar paper karyanya diterbitkan setelah paper karya Black dan Scholes terbit terlebih dahulu. Paper beliau tentang opsi saham terbit pada tahun yang sama, tahun 1973 juga.

Pada posisi yang dimiliki oleh Robert Merton alangkah mudah bagi beliau mempriotaskan papernya sendiri untuk diterbitkan dulu dari pada paper yang ditulis oleh Black dan Scholes. Bila itu yang beliau lakukan maka nama Black-Sholes formula tidak akan pernah ada, yang ada adalah Merton formula. Tapi itu tidak pernah dilakukan oleh Robert Merton. Inilah kehebatan beliau. Inilah peragaan kedewasaan seorang ilmuwan besar.

Robert Merton bersama Myron Scholes mendapat anugerah hadiah Nobel untuk bidang ilmu ekonomi pada tahun 1997. Beliau akan hadir dalam seminar bertajuk New Approach for Analyzing and Managing Macro Financial Risks yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia (BI) tanggal 13 Januari 2014 di Jakarta.

Selamat datang di Jakarta, Bob.

Semoga bermanfaat. Salam dari Bandung.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun