Mohon tunggu...
Ms Febiana
Ms Febiana Mohon Tunggu... Freelancer

Perempuan Indonesia - Yang Bisa Motto, Suka Nulis, Suka Jalan, Suka belajar, Suka banget kalau bisa bantu Ig: @msfebiana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warna yang menemukan Naya

10 September 2025   10:44 Diperbarui: 25 September 2025   15:12 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Naya selalu percaya bahwa hidup ini seperti kanvas. Setiap manusia membawa warna-warnanya sendiri. Ada yang merah menyala, penuh gairah dan keberanian. Ada yang biru teduh, menyimpan dalamnya samudera ketenangan. Ada yang kuning terang, membawa ceria dan kehangatan. Naya pun punya warnanya sendiri, meski butuh waktu lama baginya untuk benar-benar mengerti apa warna itu.

Sejak kecil, Naya tumbuh dengan kegemaran mengamati. Ia tidak banyak bicara, tidak suka menjadi pusat perhatian. Teman-temannya menyebutnya pendiam, bahkan terlalu diam. Tapi diam Naya bukan tanpa isi. Ia mendengar, memperhatikan, dan menyerap. Ia percaya setiap hal memiliki warnanya sendiri: tawa temannya berwarna jingga, nasihat ibunya berwarna hijau, bahkan keheningan malam baginya berwarna ungu pekat.

Namun, ketika ia remaja, Naya mulai merasa bingung. Banyak orang mengatakan padanya bahwa ia harus menjadi "cerah"---harus berani tampil, harus aktif, harus "berwarna-warni". Ia pun mencoba: mengikuti organisasi, bergaul dengan banyak teman, memakai pakaian cerah, memaksa dirinya menyesuaikan dengan warna-warna orang lain.

Tapi setiap kali pulang ke kamar, menatap dirinya di cermin, Naya merasa ada sesuatu yang tidak sejalan. Seakan ia sedang mengenakan mantel warna yang bukan miliknya. Indah memang, tetapi tidak menenangkan.

Pertemuan dengan Biru

Suatu sore, ketika Naya duduk di tepi sungai yang membelah desanya, ia melihat seorang perempuan tua sedang melukis. Kanvas kecilnya dipenuhi warna biru yang berlapis-lapis: biru muda, biru laut, biru senja. Naya duduk di sampingnya, terpesona.

"Kenapa biru semua, Nek?" tanya Naya akhirnya.

Perempuan itu tersenyum, keriput di wajahnya mengembang lembut. "Karena biru yang menenangkan saya. Warna lain indah, tapi biru membuat napas saya utuh."

Naya terdiam. Kata-kata itu menusuknya pelan. Ia pun memandang sungai yang mengalir dengan riak kecil, memantulkan langit senja. Tiba-tiba ia merasa seolah-olah biru itu berbicara padanya. Ada sesuatu yang damai di sana, seperti pelukan tanpa suara.

Hari itu, Naya pulang dengan dada yang lebih ringan.

Perjalanan Mencari Warna

Meski pertemuan singkat itu berkesan, Naya tak serta merta langsung tahu warna dirinya. Ia mencoba mengenal lebih banyak. Ia mencoba merah dengan ikut lomba debat---ia merasa bersemangat, tapi juga cepat lelah. Ia mencoba kuning dengan bergabung dalam kelompok paduan suara---indah, tetapi terlalu ramai baginya. Ia mencoba hijau dengan menanam pohon di halaman---nyaman, namun masih ada jarak.

Proses itu memakan waktu lama, bertahun-tahun bahkan. Kadang Naya merasa putus asa. "Kenapa aku tak kunjung menemukan warna yang benar-benar senada denganku?" pikirnya.

Tapi setiap kali ia hampir menyerah, ketenangan dalam dirinya seolah membisikkan: Jangan terburu-buru. Semua warna memang indah, tapi kau akan tahu mana yang membuatmu utuh.

Pertemuan Kedua: Abu-abu

Saat kuliah, Naya sempat dekat dengan seseorang bernama Arga. Arga adalah pribadi yang abu-abu. Bukan berarti ia membosankan, tetapi ia penuh keraguan, penuh pertanyaan, sering menimbang-nimbang tanpa keputusan. Awalnya Naya merasa tenang bersamanya, karena Arga tidak memaksa Naya menjadi siapa pun.

Namun, lama-kelamaan, abu-abu itu membuat Naya sesak. Ia seperti berada di ruangan berasap, tak tahu harus ke mana. Hingga suatu hari ia sadar: abu-abu bukanlah warnanya. Ia menghargai Arga, tetapi ia tidak bisa selamanya hidup dalam keraguan orang lain.

Ia pun mundur. Dan meski menyakitkan, keputusan itu membuatnya kembali menemukan ketenangan.

Menemukan Senada

Naya akhirnya lulus, lalu bekerja di sebuah sekolah kecil sebagai guru seni. Setiap hari ia mengajar anak-anak melukis. Ia membebaskan murid-muridnya memakai warna apa saja. Ada yang suka merah, ada yang suka hijau, ada pula yang suka campuran semua. Naya selalu berkata, "Setiap warna punya tempatnya. Jangan takut memilih warna yang kau cintai."

Di tengah pekerjaannya, Naya semakin paham tentang dirinya. Ia menyadari bahwa warna yang paling senada dengannya adalah biru lembut bercampur sedikit hijau. Biru memberi ketenangan, hijau memberi kehidupan.

Suatu sore setelah mengajar, Naya duduk sendiri di ruang kelas, memperhatikan hasil lukisan anak-anak. Salah satu lukisan menggambarkan langit senja dengan pohon-pohon hijau yang berdiri tenang. Naya menatapnya lama, lalu tersenyum.

Ia merasa---akhirnya---warna itu menemuinya. Ia tak perlu lagi memaksakan diri jadi merah yang menyala atau kuning yang gemerlap. Ia bisa tetap menjadi biru-hijau yang tenang, yang damai, yang apa adanya.

Ketenangan yang Mengarahkan

Naya sadar perjalanan menemukan warna tidak pernah instan. Ia melewati masa kebingungan, percobaan, bahkan kehilangan. Tetapi ketenanganlah yang selalu menuntunnya. Ketenangan membuatnya tidak silau pada warna orang lain, dan tidak tergesa menilai dirinya.

Ia teringat kembali pada perempuan tua di tepi sungai. Mungkin dulu, perempuan itu pun butuh waktu lama hingga akhirnya yakin pada biru. Dan kini Naya mengerti: warna yang senada dengan jiwa bukanlah yang paling indah bagi mata orang lain, melainkan yang paling menenangkan bagi diri sendiri.

Beberapa tahun kemudian, Naya menulis catatan kecil di buku hariannya:

"Aku tidak lagi iri pada merah yang menyala, atau kuning yang memikat mata. Aku pun tidak lagi terjebak dalam abu-abu keraguan. Aku bersyukur pada biru-hijau yang menemuiku. Meski perjalanannya panjang, aku bahagia akhirnya aku serasi dengan warna yang benar-benar aku."

Dan sejak hari itu, setiap kali murid-muridnya bertanya warna apa yang paling indah, Naya selalu menjawab sambil tersenyum:

"Semua warna indah. Tapi ketenanganlah yang akan menuntunmu pada warna yang paling serasi untukmu."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun