Mengingat tidak ada patokan khusus dari para ulama, maka definisi miskin yang bisa diikuti adalah mengacu pada angka yang ditetapkan oleh BPS sebagai representasi pemerintah. Hal ini sesuai dengan perintah agama agar kita taat pada ulil amri atau dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia.
Namun demikian hal ini bagi saya masih menyisakan masalah, karena angka garis kemiskinan yang ditetapkan BPS terlalu rendah atau terasa tidak wajar. Menurut saya angka garis kemiskinan internasional Bank Dunia sebesar 1,9 USD atau Rp 27.550 per hari lebih masuk akal dan wajar. Artinya kalau kita memakai acuan Bank Dunia maka dipastikan jumlah penduduk miskin Indonesia akan mengalami kenaikan karena angka kemiskinan berubah dari Rp 13.374 menjadi Rp 27.550.
Sementara kalau memakai acuan BPS maka orang yang memiliki pengeluaran antara Rp 13.374 hingga Rp. 27.550 tidak termasuk kategori miskin. Ketika orang pada golongan ini tidak dikategorikan miskin, maka hak-haknya sebagai orang miskin seperti yang disebutkan dalam kedua ayat Al Qur'an di atas menjadi tidak berlaku.
Oleh karenanya perlu sangat hati-hati dalam menetapkan garis kemiskinan mengingat konsekuensi tersebut, minimal tidak menzalimi dan menghilangkan orang yang sebenarnya miskin hanya gara-gara garis kemiskinan yang tidak wajar angkanya.
Sebagai penutup, saya ingin memberikan sedikit masukan:
- Evaluasi ulang kewajaran dari angka garis kemiskinan yang telah ditetapkan BPS
- Naikan angka garis kemiskinan minimal seperti standar Bank Dunia, karena semakin tinggi nilainya berarti kita memang serius untuk menaikkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat
- Survei yang dilakukan sesaat setelah pemberian bantuan beras sejahtera dan bantuan langsung non tunai lainnya hanyalah sebagai sarana pengecekan keterhubungan dan efektivitas program jaring pengaman sosial pemerintah bagi penduduk miskin.
- Perlu dilakukan aktivitas pengentasan kemiskinan secara riil, tidak sekedar bermain-main dengan angka garis kemiskinan dan survei BPS.
MRR, Cbn-25/07/2018