Di ambang pintu gerbang sekolah, aroma rumput yang baru dipotong menusuk hidung, bercampur dengan kelembaban sisa hujan sore. Udara terasa dingin dan pekat, seolah memeluk setiap sudut Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Bandar Lampung. Malam itu, bukan malam biasa. Malam itu, adalah Malam Bina Iman dan Takwa (MABIT) yang dinanti-nantikan oleh seluruh siswa kelas 7. Sekitar 600 pasang mata berbinar, menatap aula yang akan menjadi saksi bisu petualangan pertama mereka.
---Â
Di antara riuh rendah suara percakapan, berdiri  Muhammad Fathir Athallah. Di benaknya, MABIT adalah samudra yang belum pernah ia arungi. Rumah adalah pelabuhan satu-satunya. Kamar tidurnya adalah benteng yang tak bisa ditembus. Belum pernah ia merasakan tidur berjejer dengan puluhan teman sebaya, apalagi di tempat yang asing. Kegelisahan menari-nari di benaknya, namun di sisi lain, ada sepercik rasa penasaran yang tak bisa ia padamkan. Ia membayangkan bagaimana rasanya shalat malam berjamaah, bagaimana rasanya tertawa lepas sampai larut malam tanpa gangguan orang tua, dan bagaimana rasanya terbangun di pagi buta dengan suara adzan yang bergema dari masjid sekolah.
---
Tak jauh dari Fathir, Raisca Zaira Putri sudah seperti veteran. Baginya, MABIT adalah angin sejuk yang datang di tengah teriknya rutinitas sekolah. Pengalaman kemah sabtu minggu sudah mengajarinya banyak hal; tentang bagaimana mendirikan tenda, memasak dengan peralatan seadanya, dan yang paling penting, tentang bagaimana beradaptasi. Di tengah kerumunan, ia sudah sibuk membantu teman-temannya yang kebingungan. Senyumnya tak pernah luntur, seolah ia adalah pemandu wisata yang siap membawa semua orang menikmati petualangan ini. Ia tahu, MABIT bukan hanya tentang tidur di luar rumah, melainkan tentang membangun kebersamaan yang kokoh.
---
Sementara itu, Shafira Dwi Putri hanya terdiam. Bibirnya terkunci rapat. Wajahnya adalah cermin yang memantulkan keraguan dan harapan. Meskipun tak banyak bicara, matanya berbicara seribu bahasa. Ia memperhatikan setiap detail; dari tawa lepas Raisca, kecemasan yang terpancar di wajah Fathir, hingga obrolan hangat yang berputar di sekitarnya. Mungkin, MABIT adalah saatnya ia keluar dari cangkang, melepaskan keraguan, dan menyatu dengan irama kebersamaan yang baru.
---
Lalu, ada Muhammad Atha Novritama, sang petualang sejati. Pantai, gunung, hutan; semua sudah pernah ia jamah. Pengalaman berkemah bersama keluarga dan mengikuti outbound kantor orang tua telah membentuknya menjadi pribadi yang mandiri. Ia menyentuh tas ranselnya yang kokoh. Isinya sudah ia susun rapi, tak ada yang kurang. Baginya, MABIT hanyalah babak baru dari buku petualangan hidupnya yang panjang. Ia tak sabar untuk merasakan bagaimana rasanya menjadi bagian dari gerombolan teman-teman sebaya, berinteraksi dengan mereka di luar ruang kelas yang formal.
---
Suara riuh berganti menjadi bisikan ketika ustaz dan ustazah mulai memberikan arahan. Rasa tegang mulai mencengkeram. Tapi, di sisi lain, ada kegembiraan yang membuncah. Akifa Khaira Lubna sudah membayangkan betapa serunya nanti. "Pengalaman yang menyenangkan karena dapat ketemu temen," begitu katanya. Baginya, MABIT adalah ladang pertemanan. Di sinilah ia akan menemukan teman baru, memori baru, dan tawa baru yang tak akan pernah ia lupakan. Telinganya terasa panas, bukan karena marah, tapi karena banyaknya suara yang berbisik-bisik, mengolok, bercanda, dan berbagi cerita.
---
Azzahra Humairoh sudah familiar dengan semua kegiatan seperti ini. Persami, pesantren kilat, hingga lomba-lomba; semua sudah pernah ia ikuti. MABIT adalah kelanjutan dari cerita-cerita itu. Ia sudah membayangkan bagaimana serunya shalat malam berjamaah. Ia sudah membayangkan bagaimana hikmatnya mendengarkan tausiyah dari para ustaz dan ustazah. Tiba-tiba, ia merasakan gatal di telapak tangannya, seolah-olah ingin segera bersiap, segera beraksi. MABIT adalah kesempatan untuk mengisi kembali jiwa dan hati, memperkuat iman, dan menemukan kembali makna kebersamaan.