Namaku Arrafi. Aku penjaga gawang tim futsal MTsN 1 Bandar Lampung. Bagi orang lain, mungkin aku hanya anak biasa dengan sarung tangan tebal dan jersey penuh keringat. Tapi hari itu, di Mini Sport Center UIN Raden Intan Lampung, aku adalah benteng terakhir timku. Dan di balik peluit wasit serta sorakan penonton, aku tahu: ini bukan sekadar permainan. Ini adalah panggung keberanian.
Turnamen ini bernama RUMGIP Championship 3.0, dan temanya: More Than a Game. Aku bisa merasakannya sejak pertama kali kami menginjakkan kaki di lapangan. Ada yang berbeda di udara---aroma semangat, tegang, dan harapan yang mengambang di antara langkah kaki kami.
Aku berdiri bersama 11 teman terbaikku---Furqon, Dafi, Rafa, Fahri, Ragah, Farid, Zifaf, Fadil, Rafli, Aru, Farren. Regas dan Azriel menjadi official yang sigap mendampingi. Kami tak sendiri. Ada Ibu Eti Kartika, Pak Arija, dan Pak Winarno, tiga guru pembina yang tidak pernah berhenti menyemangati dari garis samping. Mereka bukan sekadar pelatih---mereka seperti mata air tenang di tengah tekanan.
Hari itu, Kamis 24 Juli 2025, kami akan menghadapi salah satu tim terkuat: SMPN 1 Bandar Lampung. Bahkan sebelum peluit ditiup, aku bisa mendengar degup jantungku bersaing dengan riuh penonton. Nama kami tergantung di dada, tertera dalam name tag. Para guru pendamping pun harus memakai ID Card seharga tiga belas ribu rupiah. Semua serba resmi. Serius.
Begitu peluit pertama berbunyi, dunia mengecil. Yang tersisa hanya bola, lawan, dan rekan satu tim. Aku menyapu pandanganku, fokus penuh. Mereka menyerang cepat, tapi anak-anak kami bermain rapat. Setiap umpan kami seperti nada dalam sebuah irama. Dan irama itu membawa kami mencetak gol pertama... lalu kedua... lalu ketiga.
Aku berteriak di belakang, memberi aba-aba sambil mengangkat tangan. Tapi dalam hati, aku melambung. Di sela teriakan, aku sempat bertepuk tangan. Bangga. Kami unggul tiga nol di babak pertama.
Babak kedua dimulai dengan tekanan lebih berat. Lawan tak tinggal diam. Mereka menggempur, mencoba menembus pertahanan. Aku melompat, menepis, mendekap bola, dan terkadang hanya bisa mengandalkan mistar gawang sebagai penyelamat. Tapi kami bertahan. Di tengah kelelahan dan suara napas yang makin berat, kami masih bisa meluncurkan serangan balik.
Dan akhirnya, dari kesalahan umpan lawan, kami menyerang. Gol keempat tercipta. Aku menutup wajah dengan kedua tangan---campuran lega, bangga, dan rasa tak percaya.
Saat peluit akhir berbunyi, skor 4--0 terpampang di papan. Kami saling berpelukan, tangan-tangan kami saling menepuk bahu satu sama lain. Kami bukan hanya menang---kami menunjukkan siapa kami. Kami Matsansa!
Sebelum pulang, kami berfoto bersama guru-guru pembina di depan banner besar turnamen. Hari belum terlalu siang, tapi wajah kami tampak bersinar seperti siang bolong. Di tengah-tengah momen itu, Bu Eti menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan ke tanganku. "Ini nak, buat beli gorengan. Jangan lupa bekalnya dimakan ya," katanya sambil tersenyum. Senyum yang hangat seperti embun pagi.