Aula MTsN 1 Bandar Lampung pagi itu penuh sorak dan tepuk tangan. Kami baru saja menyelesaikan dua atraksi baris-berbaris dalam pembukaan Matsama 2025. Nafas masih tersengal, peluh membasahi seragam, tapi senyum tak bisa disembunyikan. Kami---anak-anak Pramuka RIMBA---baru saja tampil. Dan tampil memukau.
Namun di balik kebanggaan itu, mataku mencari. Di sisi belakang aula, berdiri mereka: kakak-kakak alumni. Tak ada suara dari mereka, hanya sorot mata yang menyimpan sejuta makna. Sorot mata yang pernah memarahi kami karena langkah tak sinkron. Mata yang pernah menyipit kecewa karena formasi berantakan. Tapi juga mata yang kini berbinar bangga melihat hasil kerja keras kami.
Aku masih ingat malam-malam latihan, ketika gerimis turun dan kaki mulai pegal. Kakak tidak pernah meminta terima kasih. Mereka hanya berkata, "Ayo ulangi. Kalian bisa lebih dari ini."
Kala itu, aku sempat bertanya dalam hati: kenapa mereka repot-repot kembali ke madrasah, melatih kami yang bahkan belum mengenal nama mereka satu per satu? Tapi hari ini aku mengerti. Kakak tak sekadar melatih gerakan. Mereka sedang menyalakan semangat. Menanamkan keberanian. Menyulam kekompakan. Dan tanpa kami sadari, mereka sedang meninggalkan warisan---legacy---yang akan terus kami bawa.
Aku melirik salah satu kakak. Pelipisnya basah. Mungkin karena udara lembap. Atau karena perasaan yang tak bisa ditahan.
"Tanpa kakak, kami bukan siapa-siapa," bisikku dalam hati.
Dulu kami ragu, saling menyalahkan kalau latihan tak berjalan. Tapi kini, kami tahu caranya saling percaya. Kami tahu bagaimana menahan ego dan bergerak sebagai satu tubuh. Semua karena kakak pernah marah, pernah sabar, pernah memaksa kami bangkit meski jatuh.
Tepuk tangan kembali terdengar saat MC mengakhiri sesi. Aku berdiri tegap, melambaikan tangan kepada penonton. Tapi sorot mataku tetap tertuju ke barisan belakang, tempat kakak berdiri.