Dari aroma buku usang hingga suara pensil yang menari, perpustakaan ini jadi saksi tumbuhnya literasi di hati siswa-siswi MTsN 1 Bandar Lampung.
Aroma lemari kayu tua bercampur debu halus dari lembaran buku-buku lama menyambut siapa pun yang membuka pintu perpustakaan MTsN 1 Bandar Lampung. Udara pagi itu hangat, dengan cahaya matahari yang menembus jendela kaca tinggi, memantul di atas lantai keramik dan menciptakan pola-pola cahaya seperti lukisan alam.
Laksmi, sang pustakawan, bergerak lincah di antara rak-rak. Tangannya terasa sedikit kering akibat debu kertas yang menempel, tapi ia tak mengeluh. Ia menikmati irama khas ruangan ini---derit sepatu di lantai, suara lembut halaman yang dibalik, serta goresan pensil di kertas tugas yang ditulis siswa. Bahkan bisikan antar teman pun terasa seperti melodi keheningan.
Di sudut ruangan, Hartawan, Kepala Madrasah, berdiri mengamati buku catatan peminjaman yang sudah lusuh namun rapi. Di sampingnya, Eti Kartika, wali kelas 8K, tersenyum hangat sambil menatap nama-nama yang tercatat. Suara kipas angin berputar pelan di atas mereka, menambah sejuknya suasana literasi pagi itu.
"Kelas 8K ini memang unik, Pak," ucap Eti. "Mereka mungkin tidak meminjam buku dalam jumlah besar, tapi setiap buku yang mereka sentuh meninggalkan jejak."
Hartawan membuka halaman demi halaman catatan. Tangannya berhenti pada satu nama: Naura Arka Nabillah. Di samping nama itu, tertulis dengan tinta hitam:
"Orang yang menginfakkan hartanya akan didoakan malaikat agar Allah SWT mengganti hartanya dengan kebaikan di dunia dan pahala di akhirat."
"Lihat ini, Bu Eti," kata Hartawan lirih. "Ini bukan ringkasan. Ini refleksi. Literasi sudah menyentuh hati Naura." Ia merasakan semacam getaran di dadanya, bukan karena kata-katanya sendiri, tapi karena kedalaman makna dari kutipan itu.
Eti mengangguk pelan. "Itulah yang kami tanamkan, Pak. Membaca bukan hanya untuk tahu, tapi untuk merasa... dan bertindak."
Ia menunjuk nama berikutnya: Haura Naziihah. Komentarnya sederhana namun tajam: "Sangat membantu untuk presentasi."
"Lihat, Pak," kata Eti, "Literasi di tangan Haura menjadi alat berbagi. Dia gunakan untuk menyampaikan, bukan sekadar menyerap."