Dona, guru baru yang masih beradaptasi, mencermati semua percakapan itu. Telinganya mendengar suara kipas angin yang lirih di pojok ruangan. Tangannya masih terasa dingin menggenggam ponsel yang terus bergetar. Tapi hatinya hangat.
Esoknya, 4 Juni pukul 09.49, Dona memberanikan diri menulis, "Mohon maaf, izin bertanya. Untuk kelas 8 soal nomor 20 kata anak-anak tidak ada jawabannya. Apakah benar begitu?" Ia membayangkan wajah-wajah panik para siswa yang mengangkat tangan serempak di kelas.
Tak lama, Pak Eko Pepi Irawan ikut menyahut. "Kelas 8 soal nomor 8 tidak ada garis bawahnya. Mohon pencerahan." Ketelitian beliau tidak pernah berubah.
Bu Rizka Wenny, dengan sigap, menenangkan: "Sudah dibahas di kelas, Pak." Disusul Bu Tunah yang bertanya balik. Jawaban pun tuntas. Pak Eko pun membalas: "Terima kasih, Bu."
Namun ketenangan hanya sebentar. Pukul 10.07, Bu Rika mengumumkan, "Ujian ke-3 PJOK jam 10.30." Kabar mendadak memicu respons cepat dari Bu Betty: "Pengawasnya gimana?" "Tukar nggak?"
Dengan tenang, Bu Rika menjelaskan, "Tukar Bu, yang di Kamis untuk Ujian ke-3." Bu Yunia menambahkan, "Iya, nanti map dari Ujian ke-2 dibawa ke ruang panitia dulu."
Dona kembali memegang ponselnya erat. Ia menarik napas panjang. Hatinya terasa berdesir, bukan karena lelah, tapi karena kagum. Dalam satu ruang digital, ratusan hal terjadi---kebingungan, solusi, tawa, dan harapan.
Dona menyadari, dinamika madrasah bukan hanya soal kurikulum atau nilai, tapi juga koordinasi, kecepatan informasi, dan rasa saling percaya. Di balik setiap pesan, ada dedikasi. Dua hari itu, lebih dari sekadar kerja. Ia belajar bahwa menjadi guru juga berarti menjadi bagian dari tim yang tak pernah berhenti bergerak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI