Udara pagi di tanggal dua puluh Oktober 2024 itu menggigit kulit. Kabut tipis menyelimuti jalan lintas kabupaten yang berkelok dan sesekali bergemerisik oleh daun-daun kering yang terhempas angin. Rohmawati Arani, seorang instruktur AKMI 2024, menatap layar ponselnya di atas dashboard mobil---pesan-pesan di grup WhatsApp terus berdenting, menyatu dengan aroma kopi panas dalam termos kecil yang tergeletak di kursi penumpang.
"Terima kasih, Pak ," tulisnya pelan. Jari-jarinya terasa dingin, kaku, namun pikirannya jauh lebih riuh dibanding jalanan sepi yang tengah ia lalui. Lima hari ia telah menjelajahi lima madrasah, lintas kabupaten, demi menjalankan tugas visitasi. Tapi kini, laporan keuangannya hanya terbaca "sehari". Hanya satu hari.
Angin luar menerobos celah jendela, menyentuh pipinya yang mulai lelah. Ia mengingat kembali sore yang lalu---ia duduk bersama kepala madrasah, berbagi cerita tentang anak-anak yang menunggu evaluasi hasil AKMI. Di sana, ia mencium bau tanah basah selepas hujan, dan suara jangkrik yang bersahut-sahutan seolah ikut menegaskan perjuangannya bukan main-main.
Namun semua itu tak terbaca sistem. Hanya karena satu pilihan: "tidak menginap".
"Astaghfirullah..." desahnya, sambil mengusap pelipis.
Dari layar ponsel, suara notifikasi kembali berbunyi.
 "Mohon pencerahan... sy sudah laporkan 5 hari, tapi sistem membaca hanya 1 hari."
 Pesan itu datang dari seseorang dengan kendala serupa.
Lalu grup pun berubah jadi ruang curhat virtual:
Tentang signal yang hilang di puncak bukit. Tentang Google Maps yang menyesatkan hingga hampir ke hutan. Tentang jalur-jalur sempit yang harus dilewati dengan napas ditahan karena bahu jalan hanya sejengkal dari jurang. Suara-suara mereka membaur seperti gemuruh halus, menyayat hati.
Seseorang mengirim candaan:
"Belok kiri ke rumah mantan, kanan ada janda muda."
Suara tawa pecah dalam chat, menyambung dengan denting sendok kecil di gelas teh manis Rohmawati. Ia tertawa lepas, walau matanya berkaca.
Keluh, tanya, saran, tawa, bahkan bingung bercampur jadi satu. Tapi dalam diam, Rohmawati tahu: langkah-langkahnya---meski tak terdata sempurna---telah menorehkan jejak.
Jejak yang nyata di ruang-ruang kelas madrasah.
Jejak yang hidup dalam semangat guru-guru pendamping.
Jejak yang tak akan pernah bisa dihapus sistem mana pun, meski penginapan tak diklaim, meski laporan belum sempurna.
Di ujung senja, ia mengetik satu kalimat di grup:
 "Kita memang tak selalu tercatat, tapi semoga tetap bermanfaat."