Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nilai Kehidupan di Rapor

18 Juni 2025   20:05 Diperbarui: 18 Juni 2025   20:05 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang guru sore itu seperti warung kopi usang---penuh cerita, letih, dan aroma penghapus papan tulis yang menempel lekat di hidung. Yani menatap layar laptopnya dengan mata setengah merah. Tabel nilai di Excel seolah menari-nari mengejeknya.

"Aku tuh cuma mau jujur, tapi kenapa rasanya kayak mau putus cinta, ya?" gumam Yani lirih.

Husen, guru Matematika yang duduk satu meja dengannya, mengunyah permen karet sambil cekikikan. "Yani, kamu kayaknya butuh pelukan... atau bubur kacang ijo panas."

Yani hanya nyengir. Ia mengetik angka 78 di kolom milik Dimas, lalu menghapusnya, lalu mengetik 81, lalu menghapus lagi. Tangannya gemetar, bukan karena kedinginan, tapi karena tekanan. Di luar, suara hujan mulai mengetuk atap sekolah, ritmis seperti detak cemas para guru di minggu-minggu akhir semester.

"Aku tahu Dimas berusaha. Tapi kalau nilai segitu aku kasih, nanti yang lain iri. Tapi kalau kasih sesuai rubrik, dia bisa gak naik kelas," kata Yani, mencoba mengatur napasnya. Udara sore itu lembap dan pengap, membuat keringat di punggungnya terasa seperti tempelan tisu basah yang enggan lepas.

"Kadang, jadi guru tuh kayak jadi wasit, Yan. Tapi lapangannya nggak rata, dan bola bolong-bolong," sahut Husen sambil menyeruput kopi instan yang sudah dingin. Rasanya pahit, seperti kenyataan.

Yani terdiam. Ia masih ingat percakapan kecil dengan Dimas minggu lalu.

"Bu, saya tahu nilai saya pas-pasan. Tapi saya gak mau nyerah. Saya mau terus belajar," ucap Dimas, matanya berkaca-kaca.

Yani bisa mencium samar bau tinta pulpen dari kertas ujian Dimas waktu itu. Coretan jawabannya tidak semuanya benar, tapi terlihat jelas bahwa ia berusaha. Tulisannya rapi. Ada usaha. Ada semangat.

"Tapi kan semangat gak bisa diukur pake rubrik, Sen," kata Yani pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. "Gimana aku bisa adil sama semuanya?"

Husen meletakkan kopinya, menatap Yani serius. "Nilai itu bukan cuma angka, Yan. Itu juga cerita. Cerita tentang perjuangan, tentang kegagalan, tentang keberanian buat mencoba lagi."

Yani menarik napas dalam. Udara bercampur aroma kopi basi dan kertas ujian yang lembap. Ia membuka satu lembar lagi, kali ini milik Fina. Nilainya tinggi, tapi sikapnya buruk. Sering bolos, mengganggu temannya.

"Kadang, angka tinggi gak berarti bener-bener cerdas ya," gumam Yani.

Husen mengangguk. "Dan angka rendah gak berarti dia bodoh. Bisa jadi dia cuma belum punya kesempatan."

Tiba-tiba, kepala sekolah masuk, membawa map dan wajah serius. "Nilai rapor sudah harus masuk sebelum Jumat, ya. Dan jangan terlalu banyak yang remedial, nanti orang tua ngamuk," ujarnya, lalu berlalu secepat datangnya.

Yani dan Husen saling pandang.

"Ya Tuhan, nilai kita bukan cuma dinilai murid, tapi juga kepala sekolah, ortu, bahkan guru lain!" keluh Yani sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan yang terasa dingin karena AC yang terlalu kencang.

Husen tertawa pendek. "Makanya aku bilang, jadi guru tuh kayak main sinetron. Dramanya jalan terus."

Namun sore itu juga Yani belajar sesuatu. Ia kembali menatap nilai Dimas. Matanya menangkap detail kecil yang tak semua orang lihat: coretan-coretan kecil di pinggir lembar ujian, seperti catatan pengingat diri: "Jangan menyerah", "Kamu bisa!", "Fokus!"

Ia tersenyum. Mungkin bukan angka yang membuatnya luluh. Tapi rasa. Rasa bahwa murid itu sedang berjuang, walau dunia tak sepenuhnya memihak.

Dengan tangan yang masih gemetar tapi mantap, Yani mengetik: 81. "Naikkan sedikit, karena dia naikkan dirinya sendiri," gumamnya.

Tak lama kemudian, Husen berseru, "Eh, kamu lihat Fina? Nilainya tinggi, tapi minggu lalu dia dorong temannya sampai nangis. Aku lagi mikir, kasih dia 'catatan khusus' gak, ya?"

"Kasih. Supaya dia juga tahu, nilai hidup itu bukan soal otak aja. Tapi juga hati," jawab Yani, yakin.

Sore berganti malam. Layar laptop masih menyala. Ruang guru makin sepi, tapi diskusi batin masih ramai di kepala Yani. Setiap angka di tabel bukan sekadar simbol akademik. Ia adalah cermin. Cermin tentang siapa siswa itu sebenarnya, dan siapa Yani sebagai guru.

Hidungnya bisa mencium wangi samar parfum murid yang tertinggal di ruang kelas, telinganya bisa menangkap gema tawa dan tangis selama satu semester, lidahnya masih terasa getir karena kopi yang tak sempat manis, kulitnya merasakan hangatnya meja yang telah menjadi saksi betapa tak mudah jadi guru.

Tapi hatinya?

Hatinya... mulai tenang.

Karena ia tahu, di balik angka-angka itu, ia telah menanam sesuatu: nilai kehidupan.

Dan di akhir semester ini, ia bukan hanya membagikan rapor.

Ia membagikan harapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun