Sore menjelang dengan gerimis tipis yang turun malu-malu. Di luar, pepohonan pinggir jalan memantulkan cahaya kuning lampu jalan yang baru menyala. Asyifa Pijat & Relaksasi mulai sunyi, hanya tersisa suara detak jam tua dan sesekali bunyi motor melintas pelan di Jalan Mangga.
Yani duduk di kursi tunggu, menggenggam ponsel yang bergetar sejak sepuluh menit lalu.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Husen sambil melipat handuk kecil.
Yani diam sejenak. Lalu menoleh dengan tatapan yang tak bisa dibaca. "Itu... Damar."
Nama itu menggantung di udara. Dingin. Tajam.
"Dia... suamimu?" tanya Husen hati-hati.
"Bukan. Tapi pernah nyaris," jawab Yani pelan. "Aku pergi darinya tiga bulan sebelum nikah."
Husen menatapnya lekat. "Kenapa?"
Yani menghela napas panjang. "Karena dia bukan tempat pulang. Dia hanya... tempat aku menyembunyikan luka. Tapi lama-lama aku tahu, luka tidak bisa sembuh kalau cuma disembunyikan."
Ponsel bergetar lagi. Kali ini lebih lama. Yani mematikan layar tanpa melihatnya.
"Dia tahu kamu di sini?" tanya Husen.