Sore itu, langit terlihat pucat keemasan, pertanda senja akan segera tiba. Suara burung-burung kecil masih terdengar berceloteh di pepohonan depan rumah Bapak Winarno, tempat rapat kurban tahun 1446 H diselenggarakan. Di teras rumah yang luas dan sejuk itu, beberapa kursi plastik hijau telah tersusun rapi membentuk setengah lingkaran. Angin sore mengibaskan tirai jendela, membawa serta aroma khas daun pisang basah dari halaman belakang.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," suara Pak Mujiono terdengar lantang membuka rapat. Ia berdiri dengan tubuh tegap di sisi meja kecil yang diletakkan di depan kursi-kursi. Tangannya menggenggam buku catatan dan pena.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab hadirin hampir serempak.
Ibu Ani, Bu Tri, Bude Sindu, Bu Wati, Bu Jaurah, dan Bu Linda duduk di kursi depan bersama Pak Hartanto, Pak Saibani, dan Pak Mujiono sendiri. Di balik senyum hangat mereka, tampak semangat menyala---semangat berkurban yang selalu mereka bawa tiap tahun.
Setelah pembukaan dan sambutan singkat dari Pak Mujiono, Bu Tri mengambil alih menyampaikan laporan keuangan. Suaranya jernih meskipun dibalut pelan dan lembut, sesekali terdengar riuh cicit burung yang menyela.
"Dana yang terkumpul untuk sapi telah cukup. Seekor sapi sudah dibeli dengan harga dua puluh juta rupiah," ucap Bu Tri sambil membalik halaman kertas. Ia memegang map merah yang mulai lembap karena keringat tangannya sendiri.
"Alhamdulillah," desah beberapa peserta dengan nada lega.
"Ada juga tambahan kambing dari keluarga Pak Rozak, dan satu ekor kambing lain yang kita beli untuk disedekahkan kepada warga Jalan Kutilang, Nusantara Permai" lanjutnya.
Angin membawa bau samar rumput kering dan kandang hewan dari kejauhan. Mungkin itu berasal dari sapi yang baru saja dikirim dan kini diikat di pekarangan Pak Sulaiman. Beberapa peserta menoleh sejenak, menghirup dalam-dalam udara petang yang mengandung aroma peternakan---membuat mereka makin yakin bahwa ibadah kurban tahun ini sudah di depan mata.
"Nah, kambing sedekah tadi, sebagian dagingnya akan kita ambil untuk disate bersama. Sisanya, akan kita bagikan kepada warga Jalan Kutilang dan Bude Gilang," sambung Bu Tri, suaranya terdengar bersahabat.
Telinga para peserta seolah ikut tersenyum membayangkan suara letupan sate di atas bara, aroma lemak kambing yang terbakar, dan rasa gurih manis dari bumbu kecap yang meresap di lidah. Perut Pak Hartanto bahkan terdengar sedikit berbunyi---mungkin karena sejak tadi ia hanya minum teh panas yang disuguhkan Bu Winarno.
Pak Saibani pun menambahkan, "Untuk pembagian daging, setiap pekurban berhak mendapatkan sepertiga bagian berupa kaki belakang kanan dari sapi. Selain itu, tiap pekurban boleh mendistribusikan lima paket."
Pak Mujiono mengangguk, mencatat dengan cepat di buku kecilnya. "Diperkirakan dari seekor sapi, kita akan memperoleh 120 paket daging. InsyaAllah cukup untuk semua warga yang membutuhkan," ucapnya tenang.
Mentari semakin merunduk. Sinarnya tinggal semburat oranye di langit. Teras rumah Winarno mulai diselimuti bayangan. Lantai keramik terasa sejuk di telapak kaki. Waktu magrib sebentar lagi tiba.
Tepat pukul 17.31 WIB, Pak Mujiono menutup rapat dengan ucapan hamdalah. "Alhamdulillah, semoga semuanya berjalan lancar di hari penyembelihan nanti."
Mereka lalu beranjak pelan, sebagian saling berjabat tangan, tangan yang hangat, tangan yang bersahaja. Beberapa ibu tampak bercengkerama sambil membayangkan bagaimana besok mereka akan mengolah sate kambing bersama.
Di ujung teras, Pak Winarno menyalakan lampu gantung. Cahayanya redup, tapi cukup untuk menerangi wajah-wajah yang pulang dengan harapan dan niat baik---sebuah niat mulia yang akan ditunaikan dengan sabar dan ikhlas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI