Telinga para peserta seolah ikut tersenyum membayangkan suara letupan sate di atas bara, aroma lemak kambing yang terbakar, dan rasa gurih manis dari bumbu kecap yang meresap di lidah. Perut Pak Hartanto bahkan terdengar sedikit berbunyi---mungkin karena sejak tadi ia hanya minum teh panas yang disuguhkan Bu Winarno.
Pak Saibani pun menambahkan, "Untuk pembagian daging, setiap pekurban berhak mendapatkan sepertiga bagian berupa kaki belakang kanan dari sapi. Selain itu, tiap pekurban boleh mendistribusikan lima paket."
Pak Mujiono mengangguk, mencatat dengan cepat di buku kecilnya. "Diperkirakan dari seekor sapi, kita akan memperoleh 120 paket daging. InsyaAllah cukup untuk semua warga yang membutuhkan," ucapnya tenang.
Mentari semakin merunduk. Sinarnya tinggal semburat oranye di langit. Teras rumah Winarno mulai diselimuti bayangan. Lantai keramik terasa sejuk di telapak kaki. Waktu magrib sebentar lagi tiba.
Tepat pukul 17.31 WIB, Pak Mujiono menutup rapat dengan ucapan hamdalah. "Alhamdulillah, semoga semuanya berjalan lancar di hari penyembelihan nanti."
Mereka lalu beranjak pelan, sebagian saling berjabat tangan, tangan yang hangat, tangan yang bersahaja. Beberapa ibu tampak bercengkerama sambil membayangkan bagaimana besok mereka akan mengolah sate kambing bersama.
Di ujung teras, Pak Winarno menyalakan lampu gantung. Cahayanya redup, tapi cukup untuk menerangi wajah-wajah yang pulang dengan harapan dan niat baik---sebuah niat mulia yang akan ditunaikan dengan sabar dan ikhlas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI