Solo, 1970-an. Langit timur pagi itu menghitam. Suara air hujan dari kejauhan terdengar seperti langkah kaki ribuan makhluk kecil yang berlari-lari di atas genting. Sri, yang sejak subuh sudah bersiap-siap, mencabut kunci rumahnya dengan tergesa. Dalam hati ia berkata, "Kalau kelamaan duduk-duduk, bisa-bisa aku malas berangkat kerja lagi. Nanti keburu hujan deras, jalanan jadi sungai seperti tiga hari lalu."
Ingatannya masih segar tentang hari itu---mobil-mobil terendam, sepeda motor mogok, dan dirinya sendiri basah kuyup, menggigil di balik jas hujan tipis. Tapi ada satu hal yang membuat langkahnya tetap teguh: doa-doa. Sejak kecil, Ayah telah menanamkan pentingnya membaca doa sebelum memulai apa pun. Bahkan Ayah selalu berkata, "Hafalkan seribu satu doa, Nak. Biar selamat dunia akhirat."
Di jalan, pengendara mulai minggir. Beberapa sibuk menarik jas hujan, melindungi diri dari langit yang sebentar lagi pecah. Sri, yang sudah duduk di balik kemudi mobil tuanya, hanya bisa menatap mereka lewat kaca, ingin rasanya membantu satu per satu memakaikan jas hujan. Tapi ia tahu, ia harus segera sampai di tempat kerja.
Dan benar saja---hujan deras turun, mengguyur Solo sejadi-jadinya. Kilat menyambar langit, suara guntur membuat hati mencelos. Sri menarik nafas panjang, tubuhnya terasa lebih letih dari biasanya. Tidak hanya letih secara fisik, tapi juga batin. Usia memang tak muda lagi, tapi liku hidup tampaknya belum juga melambat.
"Apakah semua orang harus melewati kehidupan yang berliku, seberat ini?" gumamnya lirih. Namun di sela-sela lelah itu, Sri sadar---semangat adalah bahan bakar yang lebih penting dari usia. "Tanpa semangat, bahkan tubuh muda bisa menjadi renta."
Matanya sembab. Setetes air mata jatuh---bukan karena sedih, tapi karena melepaskan beban yang selama ini diam-diam ditanggung. Ia teringat akan satu pelajaran hidup: air mata adalah air termahal di dunia. Jika harus jatuh, biarlah jatuh untuk meringankan jiwa.
Di tengah deras hujan yang mengaburkan pandangan, Sri tersenyum kecil. Hidup memang tak mudah, tapi bukan berarti tak layak diperjuangkan. Karena pada akhirnya, saat kita benar-benar berserah secara utuh kepada Sang Pemilik kehidupan---tidak ada yang sungguh-sungguh sulit.
Di tengah gempuran hujan dan waktu, Sri tetap melaju. Dengan doa. Dengan air mata. Dengan semangat.
--- Solo, 1970-an
***
Terima kasih kepada Ibu Rr Sri Utami Mz -- Mojosongo Group, Solo Inna, atas inspirasi yang diberikan sehingga lahir cerpen ini.