Mohon tunggu...
Moza Febina Lysia
Moza Febina Lysia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Halo, perkenalkan aku Moza! Aku akan mulai menulis dengan membagikan blog kecil yang berisi karangan-karangan (umumnya fiksi) pada laman ini. Semoga menikmati!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenangan dalam Buku

27 November 2023   11:44 Diperbarui: 27 November 2023   11:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satu buku kutarik keluar dari rak coklat yang telah lama usang. Tingginya berada di atas kepalaku, perlu sedikit usaha untuk aku gapai buku itu. Tebalnya hampir setebal genggaman tanganku, sampulnya yang keras penuhi telapak tangan kecilku yang coba tarik keluar buku tersebut.

Buku-buku usang yang penuhi lemari. Umurnya mungkin lebih lama daripada umurku sendiri. Sesaat setelah kutarik, abu kotor penuhi udara. Abu jadi bukti dari lamanya persemayaman buku-buku usang yang mungkin sudah terkoyak lembar tengahnya. Jujur, aku sendiri juga bingung kenapa aku langkahkan kaki kecilku mendekati lemari coklat ini, entah bisikan mana yang rayu aku untuk turuti inginnya.

Jemariku membalik lembar ke lembar, melihat berbagai kenangan yang tersirat di dalamnya. Dalam diam, aku teringat masa-masa kecilku yang semuanya terlihat jelas di buku itu. Figur-figur yang pernah temani masa kecilku dan semua kenangan manis yang aku rasakan. Aku tarik keluar satu foto yang buat aku terfokus, menelisik lebih dalam foto tersebut. Ujung bibirku naik dalam ingatan bahagia di balik foto itu.

Jujur, ingatanku tidak terlalu jelas, banyak yang hanya berisi kilasan kecil dan bisikan bahagia. Namun, buku yang kini berada di pangkuanku banyak jelaskan bahwa aku jalani masa kecil yang indah. Telepon canggih yang aku kantungi bergetar, tunjukkan kontak yang buat aku kembali tersenyum hangat. "Wa'alaikumsalam, Ibu. Aku baik-baik saja, Bu. Sedang bersantai, kok." Jawabku setelah terdengar suara pada saluran telepon. Satu dari sekian banyak saksi yang ada di masa kecilku. Saksi yang lihat aku tumbuh besar dan saksi dari perjalanan hidupku yang tidak singkat. 

Panggilan diakhiri setelah pembicaraan berhenti tanda selesainya komunikasi. Namun, pintu yang sedari tadi tertutup hasilkan suara ketukan yang berasal dari luar. Aku langkahkan kakiku, membuka kenop pintu untuk sambut tamu depan pintu. "Anak Bunda, sudah selesai sekolahnya, sayang?" Sosok kecil dengan seragam rompi kuning berdiri di ambang pintu. Topinya yang lebih besar dari diameter kepalanya membuat si bulat tertutup, turut tutupi setengah wajah kusamnya. Senyumnya manis, replika dari lelaki yang sudah temani mudanya aku.
"Bunda, bekal Daffa hari ini habis. Terima kasih atas bekalnya, Bunda." Ditunjukkannya senyum manisnya yang masih buat aku pangling. Matanya melirik pada buku yang aku sampirkan di lengan kananku. "Bunda, itu buku apa?" Kepalanya miring dengan ekspresi kebingunan dan diikuti nada tanya. Aku tersenyum sebagai balasan. Aku geser sedikit badanku, menyilakan tubuh kecilnya memasuki ruang keluarga yang hangatnya sama seperti pertama ditempati bersama. 

Aku dudukkan diriku pada salah satu kursi yang penuhi ruang keluarga itu. Televisi tabung tepat berada di sebelah kiriku sebelum Daffa tempati dudukan tersebut. Aku buka lembaran pertama, tunjukkan warna hitam putih dan gaun manten senada, dua figur bersanding dengan romansa di udara. "Ini Kakek Tua dan Nenek, Daffa. Nenek cantik, kan? Bunda sangat suka foto ini." Daffa menelisik figur yang bersanding di lembar yang tertunjuk. Matanya berbinar, lucu di mataku. "Kakek Tua dan Nenek lucu ya, Bun? Daffa mau jadi seganteng Kakek Tua!" Ucapnya antusias.

Lembar berikutnya, seorang bidadari dalam bedungan menangis keluarkan raungan tak terdengar. Warnanya masih hitam putih, gambar ini diambil tak jauh dari pernikahan yang terlihat serasi sebelumnya. "Daffa tau ini siapa?" Tanyaku dengan mata yang mengarah kepada buah hati tersayang. "Mirip... Bunda! Ini pasti Bunda!" Serunya. Buah hati yang buat aku tersenyum jalani hari. Ricuh seruanmu buat aku makin jatuh dalam cinta padamu. Aku anggukkan kepala sebagai jawaban, membuat Daffa unjukkan lagi senyumnya.

Lembaran demi lembaran berikutnya aku ceritakan dengan seksama. Kecilnya aku jadi hiburan di siang hari yang teriknya menyerang. "Bunda punya satu album lagi, tapi seperti disimpan Kakek Tua, akan Bunda cari nanti, ya?" Aku ucap itu setelah lihat banyak kenangan hilangan. Foto-foto yang gambarkan beberapa momen hidupku sirna dalam satu buku itu. Namun, tanganku masih balik lembaran yang berisi beberapa kenangan lainnya. Jemariku berhenti ketika melihat dua gambar yang bersandingan, diambil pada hari yang sama.

"Daffa tau ini kapan?" Kembali aku tanya sosok kecil yang matanya mulai menutup. Dengan sisa kesadaran yang ada, ia gelengkan kepalanya. "Daffa, gambar ini diambil sewaktu kamu lahir. Lihat, Bunda masih terkapar lemas di atas kasur." Jemariku menujuk pada diriku yang terlihat lemas di atas kasur rata. Ada bayi kecil yang kulitnya masih merah terlelap di sampingku. Usahaku menghasilkan fokus Daffa yang sempat hilang. "Daffa sekarang sudah sebesar ini, ya? Terima kasih sudah besar bersama Bunda, ya?" Berikutnya yang ku tahu, Daffa melirikku dengan tatapan bertanya. "Kalau ini siapa, Bun?" Tanyanya. Menunjuk sosok yang berdiri di samping kasur yang ku tempati. Lelaki tinggi dengan kacamata, rambut hitam legam yang hiasi kepala kecilnya. Senyumnya manis walau matanya sembab berwarna merah. Juga wajah kusam hasil bergadang semalaman. Senyumku getir sebelum menjawab.

"Daffa, itu Ayah."

Sejenak kami bertatapan. Air mata mulai mengenang di mataku. Ku peluk badan kecilnya. Bisikkan beberapa kata indah melalui telinganya. "Daffa sekarang mirip Ayah. Terima kasih sudah lahir ya, anak Bunda." Berikutnya, yang kutahu ialah pelukannya padaku mengerat, dalam diam kami luncurkan tangis rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun