Mohon tunggu...
Rizqi Rinaldy Mosmarth
Rizqi Rinaldy Mosmarth Mohon Tunggu...

@mosmarth\r\nKomikus, pengajar seni, voluntir kegiatan anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review 5 Elang: Kebiasaan Menyepelekan dan Usaha yang Setengah-Setengah

5 September 2011   19:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Rizqi R. Mosmarth

Sebuah usaha memang layak untuk diapresiasi, apalagi sebuah usaha untuk melakukan perbaikan dan memberi sumbangsih untuk kemajuan perfilman Indonesia. Tetapi, bagaimana jika usaha tersebut dilakukan dengan setengah hati atau setengah pikiran? Atau setidaknya memberi kesan demikian? Masih layakkah diberi pujian, atau bahkan sekadar diapresiasi?

Sebelumnya, saya beranggapan, film indonesia apapun, yang tidak menampilkan adegan mesum dan menjual artis porno, entah dalam balutan genre apapun, sebagai film yang layak tonton, setidaknya untuk memperpanjang usia hidup perfilman Indonesia, dan segenap orang-orang di balik dan di depan layar yang menghidupi dirinya dan perfilman. Tapi film 5 elang karya sutradara Rudi Soedjarwo dan penulis Salman Aristo, produksi SBO films, yang didukung oleh Kompas Gramedia (KG Production) dan Bobo (majalah anak) membuat saya berpikiran lain. Ya, melihat pihak-pihak yang terlibat dalam produksi film ini, tentu saja banyak yang berharap, bahwa film ini adalah film yang bagus dan baik. Dan ya, memang banyak yang mengatakan demikian. Namun, bagi saya, film ini sangat mengecewakan. Film yang membuat saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin film ini kemudian bisa tayang dan dijual sebagai film anak-anak.

Oke, sebelum saya bahas satu per satu alasan mengapa bagi saya film ini mengecewakan. Saya ingin menyampaikan dukungan saya untuk christoffer Nelwan (Baron), Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan (Rusdi), Teuku Rizky Muhammad (Anton), Monica Sayangbati (Sindai), Bastian Bintang Simbolon (Aldi), Akting kalian sangat baik, terutama Iqbaal, yang terus-terusan mengingatkan saya akan Freddie Highmore (August Rush, Finding Neverland) dan Bastian, yang menurut saya merupakan aktor yang paling “bernyawa” di film ini. Dan juga untuk para aktor dan aktris yang ada di film ini, hampir semua bermain sangat baik... there’s no problems with your act...Lalu, apa yang membuat film ini mengecewakan?

Mulai dari sini, saya akan menceritakan semua hal dalam film ini, jadi bagi anda yang benci spoiler, silahkan berhenti membaca.

Film dimulai dengan kehidupan Baron di Jakarta menjelang kepindahannya ke Balikpapan, di awal film, saya sempat terbuai dengan visualisasi Baron yang menolong anak lain, berani, suka bekerja sama, dan pintar. Digambarkan hobi Baron adalah bermain mobil RC (Remote Control), kebayang dong, apa yang sudah ada di pikiran optimis saya sebagai orang yang dulu tergila-gila membaca Lima Sekawan, STOP, dsb... Cerita pun berlanjut di Balikpapan, di mana plot klasik a la film anak pun mulai terlihat. Baron, sebagai “anak baru” terlihat tidak mau berbaur, mendapat ledekan dari teman sekelasnya, dan sebagainya. Tokoh lain pun mulai diperkenalkan, Rusdi sang “penggalang” pramuka sejati tipikal pemimpin, Anton sang sahabat yang punya skill “bermain api”, dan aldi si kecil bermulut besar. Penokohan yang klasik ya?

Cerita berlanjut menuju perkemahan Bintang Utama, dimana Rusdi membutuhkan 6 orang dari sekolahnya untuk ikut perkemahan Pramuka tingkat Propinsi Kalimantan Timur ini. 5 orang sudah terkumpul, dan Rusdi “mengincar” Baron untuk ikut sebagai pramuka ke-6. Di sinilah mulai ada keanehan dalam logika cerita, pihak sekolah, atas usulan Rusdi, memilih Baron untuk ikut ke dalam tim Pramuka yang akan dikirim ke perkemahan padahal Baron punya rencana berlibur ke Jakarta bertemu teman lamanya. Baron pun terpaksa mengiyakan, setelah Rusdi, juga dengan peruasifnya, datang ke rumah dan menyampaikan surat kepada orangtua Baron, yang kemudian mengiyakan, dan mengatakan kalau kemah lebih baik ketimbang Baron ke Jakarta (???)

Akhirnya Baron pun bergabung dengan kontingen Pramuka sekolahnya, dengan tujuan terselubung untuk kabur melihat pameran mobil RC (yang katanya diadakan dekat lokasi perkemahan, Halooo???? Kemahnya kan di hutan???!!!)

Mulailah suasana perkemahan, di sini plot cerita makin standar, dan makin terasa kalau film ini dibuat dengan setengah hati dan setengah pikiran. Makin banyak lubang logika dan detil yang dilewatkan, walau menurut saya, pada detil itulah semangat Praja Muda Karana bisa dilihat... misalnya saat membuat tandu dengan tali dan bambu, simpul yang dipakai salah! (saya pramuka sejak kecil dan PMR saat SMA, dan Rudi Soedjarwo jelas-jelas tidak pernah menjadi pramuka). Games kode angka yang menurut saya juga aneh... (20=P, sedangkan Baron memecahkan kode itu dengan anggapan angka=urutan huruf, harusnya P=16). Puncaknya ketika sampai pada games utama yaitu mencari markas Bintang Utama, peta yang digunakan terlalu aneh, dan ditambah lagi, peta itu disandingkan dengan peta milik baron dimana jarak Bangkirai (lokasi perkemahan) ke Balikpapan adalah 3cm (jarak sebenarnya sekitar 50km) bisa dibayangkan kalau rute gamesnya luas sekali.

Oke banyaknya cacat logika juga terdapat di film-film lain, hanya saja saya sangat meyayangkan kurangnya detil dan eksplorasi atas serunya aktivitas pramuka. Hampir tidak ada hal dalam film ini yang bisa membuat anak-anak yang setelah melihatnya berminat untuk meniru atau juga berpramuka. Semua hanya tampilan-tampilan visual tanpa penjelasan.

Kelemahan plot berlanjut sampai adegan klimaks dimana 5 elang terpisahkarena Baron memutuskan untuk pergi, aldi dan Sindai mengikutinya, sementara Rusdi dan Anton tetap melanjutkan games. Rusdi dan Anton bertemu dengan Kawanan Penjahat yang merupakan pemburu dan pedagang satwa liar, keduanya ditangkap dan disekap di markas penjahat. Sementara itu Baron, Aldi dan Sindai, berlari keluar hutan dan menuju kota terdekat, hanya untuk kemudian sadar dan kembali menyusul Rusdi dan Anton (mungkin memang jaraknya hanya 5 menit berlari hehehe). Menjelang adegan klimaks inilah, kekesalan saya terhadap film ini bertumpuk. Mengetahui Rusdi dan Anton di sekap, Baron, Aldi dan Sindai berupaya membebaskan kedua kawannya itu dengan cara memancing penjahat keluar, untuk kemudian dipukuli bertubi-tubi dengan kayu hingga pingsan (SATU) penjahat kedua pun menyusul... kali ini nasib naas juga menimpanya... ia dihajar habisan oleh anak-anak pramuka ini, lagi-lagi dengan kayu berukuran besar dan dengan ekspresi dan gerak tubuh penuh dendam, seolah-olah sang penjahat ini adalah pembunuh berantai (DUA) Bos penjahat mengalami nasib yang lebih parah, kakinya disiram bensin dan dibakar! Ya! Dibakar oleh para anggota pramuka!

Saya datang ke bioskop untuk menonton film ini dengan penuh semangat, berharap segala review baik yang sudah saya baca menjadi kenyataan. Akan tetapi sangat disayangkan, semua pihak yang terlibat dalam produksi ini entah mengapa seperti tidak menggunakan hati (saya tidak habis pikir mengapa tidak ada satupun diantara kru pra-produksi yang sempat membahas soal anak-anak memukuli penjahat ini). Padahal, mereka punya begitu banyak sumber daya untuk membuat film ini lebih baik... sekadar mengingatkan, seri HOME ALONE, dimana seorang anak kecil harus menghadapi 2 atau lebih penjahat, sama sekali tidak melibatkan visualisasi dimana anak itu memukul langsung penjahatnya, semua menggunakan alat, jebakan, dengan visualisasi proses yang mengasyikkan dan cerdas.

Berikut saya kutip, untuk kemudian saya komentari, kalimat dari Salman Aristo (Penulis dan Produser) diambil dari www.5elang.com

Sementara itu, bagi Salman Aristo, selaku penulis skenario dan produser film ini, di tengah banyaknya film anak-anak Hollywood dengan kualitas yang baik yang mengisi bioskop, film anak-anak Indonesia justru sangat relevan untuk hadir. “Anak-anak Indonesia tetap sangat perlu untuk mengetahui cerita anak-anak Indonesia sendiri. Mereka punya keinginan dan kebutuhan besar juga kok, untuk tahu cerita-cerita teman-teman mereka, anak-anak Indonesia lainnya. Bagaimanapun, penting bagi kita sebagai insan perfilman untuk memberikan suara pada anak-anak Indonesia karena kebutuhan untuk itu besar dan juga lebih mudah bagi penonton anak-anak Indonesia untuk bisa mengidentifikasi diri lewat film-film lokal,” jelas Salman. “Di film ini, production value juga menjadi hal yang penting karena kesadaran kita untuk menghasilkan film untuk anak-anak dengan kualitas yang baik

Jelas, niat baik Salman, dan segenap kru lainnya, masih harus diimbangi dengan banyak belajar, dan mau untuk memperhatikan hal-hal detil.

Dan untuk Rudi Soedjarwo, tolong kurangi style Hollywood-nya, mulai dari sarapan roti panggang, sampai kamera handheld, percayalah, itu nggak keren, dengan layar bioskop yang sangat besar, goyangan-goyangan kecil terasa sangat memusingkan... apalagi saat kamera dibawa berjalan/berlari. Secara Visual. Tidak ada yang istimewa dari film ini, tidak ada pemandangan baru yang menciptakan efek WAH, justru ada beberapa established Shot yang diulang-ulang, termasuk satu scene konyol saat Batutut, seolah-olah datang, dengan awan gelap menutupi matahari, efek kelam, yang tidak terasa di adegan sebelum atau sesudahnya. Angle dan shotnya juga masih standar, sangat sempit dan dengan tone warna yang sudah sering kita lihat.

Sangat banyak hal yang bisa digali dari kegiatan pramuka, atau kegiatan apapun yang berbasis cerita khas anak Indonesia. Mungkin ada baiknya, sineas Indonesia menyewa tenaga tambahan sebagai konsultan cerita, logika dan detail... untuk saat ini... saya amat tidak menyarankan 5 Elang ditonton anak-anak.

Tapi banyak yang mengatakan 5 Elang bagus? Justru itu! Menurut saya adalah MASALAH BESAR,saat kekerasan vulgar oleh anak-anak itu dianggap hal biasa (atau malah keren) hanya karena yang dihadapinya adalah penjahat, YANG seingat saya, selain menodongkan parang, justru TIDAK PERNAH terlihat memukul anak-anak pramuka itu.

Bogor, 6 September 2011, 1:46 am

Trivia:

-Sekolah Rusdi, Baron dkk memiliki (atau menyewa) mobil elf untuk mengangkut kontingen pramuka, tapi tidak bisa memperbaikibel sekolah, dan mungkin tidak punya pengeras suara bersirene (TOA) dan lebih memilih kentongan sebagai pengganti bel.

-Baron terlihat sering sekali menggulung dinamo mobil RC, mungkin nggak selesai-selesai, atau dinamonya banyak.

-Aldi adalah calon perenang olimpiade, dia menyebrangi sungai yang cukup lebar sendirian, dan mungkin berbelok agak jauh, karena dia bertemu pemancing (tidak mungkin pemancing itu nongkrong di seberang markas penjahat) lalu kemudian berlari mencari bantuan.

-Salah satu dari mereka akan menjadi pemahat handal, mereka bisa membuat cetakan emblem ELANG, serapih hasil cetakan.

sumber foto: www.5elang.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun