Mohon tunggu...
Mory Yana Gultom
Mory Yana Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - Not an expert

servant

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wisuda

10 Agustus 2016   10:08 Diperbarui: 27 Juli 2017   14:53 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah apa yang ada di benakmu saat itu. Kutebak itu haru. Ya, haru yang membuncah dari rasa bangga yang tak terungkap. Sakit yang kau tanggung dulu, terbayarkah oleh kemilau jubah hitam berkerah kuning yang kukenakan ini? Entahlah.

Aku berusaha menah air mataku kala memandang wajahmu yang kini dihiasi gurat-gurat tak beraturan.  Begitu juga dengan ayah. Sosok yang dulu tegap itu tampak semakin menua dimakan usia. Ah, bukan usia saja. Derita bertubi-tubi yang kalian alami, mungkin itulah yang paling banyak mengambil peran. Ujian silih berganti, seakan merampas kebahagiaan dari hidupmu.

Ya, kau dan ayah telah membiasakan diri sebagai pesakitan karena demikianlah keadaan mengharuskan. Dan aku bersama lima orang saudaraku terlambat menyadari itu sebagai sesuatu yang harus kami ubah. Atau barangkali tidak bisa juga disebut terlambat. Memang harus begitulah adanya. Yang di atas, yang kepada-Nya kau selalu menggantungkan asa –pun kami kau ajari demikian, Dialah yang Maha Pengatur Segala.

***

Rasanya baru kemarin. Aku mendengarkanmu diam-diam meninggalkan tempat tidur saat hari masih di bilangan subuh, binatang pagi belum bangun, embun masih menunaikan tugasnya membasahi dedaunan, bahkan ayampun masih ragu mengumandangkan bahwa hari telah berganti. Sayup terdengar olehku bunyi pacul beradu dengan tanah. Terus menerus hingga sang fajar mulai memendarkan sinarnya dari ufuk timur. Sepagi itu kau telah bercucuran keringat kala yang lain masih menikmati mimpi. Hanya ditemani rembulan. Pernah kutanya mengapa. Katamu lebih mudah mencangkul di pagi hari. Semakin pagi semakin mudah, karena tanahnya masih lembab. Aku percaya saja. Belakangan aku tahu bahwa itu bukan satu-satunya alasan. Yang paling masuk akal adalah kau tengah memburu waktu. Pagi selepas nge-teh, kau harus ke sawah. Baru pulang setelah hari gelap.

Saat aku tumbuh dan kau rasa cukup menahan kantuk di dinginnya pagi, kau mulai mengajak aku ke sawah. Apalagi ketika musim tanam tiba. Aku sudah bisa membajak, walau tak sebaik ayah. Kala itu aku sudah di bangku SMP. Sekolahku hanya beberapa meter dari rumah, jadi aku yakin tidak akan terlambat. Hanya sebuah sekolahan kecil. Satu-satunya SMP di desa itu. Sudah lama berdiri namun kurang diminati. Dulupun, saudara-saudaraku tak mau sekolah disana. Mereka memilih ke kota. Akupun awalnya berniat demikian. Namun tak kau ijinkan dengan alasan yang tentu saja masuk akal. Ah, betapa beruntungnya mereka, batinku waktu itu. Karena selepas SD, lepas pula pekerjaan-pekerjaan wajib yang ada di rumah maupun di ladang.

Sedangkan aku sebaliknya. Tanggung jawab rasanya semakin bertambah. Pagi hari pulang dari sawah, buru-buru aku bergegas ke sekolah. Tak jarang ada lumpur tersisa di kakiku dan jadi bahan tertawaan di sekolah. Untung bukan tawa menghina, hanya dijadikan lelucon. Tapi lama-lama aku mengerti, bahkan merasa beruntung karena tiap hari dekat dengan didikanmu. Setidaknya selama SMP. Karena sekolah untuk tingkat yang lebih tinggi sudah tidak ada di desa kita. Maka kudukung pula saat kau dan ayah mewajibkan adik perempuanku, si bungsu, sekolah disana.

Berulang kali kau ceritai aku. Kisah yang tak kan kulupa hingga akhir hayatku:

“Kalian berdua, kau dan adikmu, sebenarnya sudah tak lagi merasakan sakit. Hidup kita sudah jauh lebih baik. Dulu, kelima saudaramu hidup dalam serba keterbatasan bahkan kekurangan. Mereka masih merasakan nasi dan lauk yang hanya ada di siang hari. Itupun harus dijatah di piring masing-masing agar semua kebagian. Yang belakangan pulang sekolah adalah yang paling apes. Jatahnya sering dijumputi oleh yang lebih dulu. Pagi dan sore hari aku memasak banyak ubi, ikan asin bakar dan sambal yang sengaja kubuat enak. Kecuali ikan asin, semua adalah hasil ladang kita sendiri. Dengan itu, mereka juga aku, akan lahap, hingga tak lagi ingin menanak nasi. Begitulah caraku berhemat.

Memang kita harus berhemat kala itu. Kau tahu? Ayahmu menikahiku pada saat mereka dibelit banyak sekali hutang. Berupa uang ataupun padi yang dipinjam dari orang-orang. Konon itu untuk memenuhi kebutuhannya dan nenekmu serta membantu biaya sekolah saudara-saudaranya. Ya, hampir semua saudara lelaki ayahmu sekolah. Berbeda dengan dia yang bahkan tidak selesai SD. Hasil sawah kita, sebagian besar kami pakai membayar hutang itu selama bertahun-tahun. Bersyukurlah, kau tak lagi tahu bagaimana rasanya membopong padi-padi itu ke rumah orang.

Itu hanya secuil masa lalu kita. Toh, akhirnya hutang itu terbayarkan. Dulu aku pernah sakit tahunan lamanya. Penyakit kulit, semacam koreng yang awalnya hanya berupa gatal yang setelah digaruk berubah jadi menjijikkan. Gatalnya tak tertahan, membuatku hampir ingin bunuh diri. Kalau tak ingat akan kalian, mungkin waktu itu aku sudah menyayatkan nadiku dengan belati yang kugunakan menggaruk seluruh badan ini. Kau dan adikmu masih sangat kecil, mungkin belum mengerti apa yang kurasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun