Mohon tunggu...
MOCH. RIZAL KARYADI
MOCH. RIZAL KARYADI Mohon Tunggu... Relawan - Sedang mencari keadilan

Sedang berusaha menjadi yang terbaik bagi orang tua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Kesalahan Utama" Sekda Syaifullah yang Menuai Resistensi

1 Juni 2020   01:00 Diperbarui: 8 Juni 2020   14:31 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bicara performa Sekretaris Daerah pilihan Bupati Bondowoso seakan tak  ada habisnya. Mulai dari gaya bicara dan berkomunikasi, berbagai statemen yang memantik aneka kritik dan performanya dalam memimpin birokrasi.

Perlu difahami bahwa pilihan bupati Bondowoso kali ini tidak mudah. Pada saat pelantikan Sekda terpilih, dalam pidatonya bupati berterus terang bahwa proses menuju terpilihnya sekda Syaifullah melalui jalan yang panjang dan berliku. Setelah kurang lebih delapan bulan barulah bupati menentukan pilihan. Mengapa menjadi begitu lama? Jawabnya tak lain karena kuatnya gesekan dan kepentingan politik yang melingkupinya. Posisi sekretaris daerah adalah posisi yang sangat strategis sehingga banyak tangan yang berusaha ikut campur untuk saling mengedepankan kepentingannya. Belum lagi mengingat kuatnya rivalitas antara dua calon sekda yang terlibat persaingan dalam seleksi terbuka. Meski terdapat tiga kandidat yang disodorkan oleh panitia seleksi, hanya ada dua yang punya kans paling kuat untuk terpilih dari berbagai pertimbangan dan sudut pandang.

Rivalitas ini pula yang sampai saat ini terus terpelihara dan menjadi kerikil tajam dalam perjalanan birokrasi di Bondowoso. Tulisan ini berupaya memaparkan seluruh peristiwa dan kejadian menurut versi penulis yang menjadi musabab mengapa resistensi terhadap kepemimpinan Syaifullah terus terjadi.

Seluruh kebijakan Sekda Syafullah terus diadili dan seolah tidak pernah luput dari sorotan. Bahkan kebijakan yang sebenarnya remeh temehpun tak lepas dari masalah. Seluruh energi lawan politik dan sebagian unsur birokrasi benar-benar berfokus pada perform Sekda.

Jika hanya dilihat dari sudut pandang kritis dan kecurigaan yang dalam maka akan muncul pertanyaan dimana letak kesalahan Sekda Syaifullah? Apakah murni karena soal kualitas sumber daya manusia? Atau soal moral? Atau soal lain?

Jika diruntut sejak sebelum proses seleksi terbuka maka bisa dipahami baik dari sudut pandang para petinggi  birokrasi maupun politik tentu ada harapan yang jauh lebih besar agar bupati memilih Sekda dari kalangan sendiri. Disamping lebih mudah dari sisi koordinasi dan komunikasi, sekda dari kalangan internal sudah jauh lebih dikenal baik dari sisi pribadi maupun dari sisi kinerja. Sehingga harapannya, dengan serta merta dapat melanjutkan program yang sudah berjalan. Namun apa hendak dikata, bupati dengan kewenangan yang melekat  nampaknya punya harapan lain sehingga pilihan jatuh pada putra daerah yang nota bene adalah mantan pejabat di kabupaten tetangga.

Menjawab pertanyaan di atas nampaknya ada beberapa "kesalahan" utama yang patut ditengarai sebagai penyebab munculnya resistensi yang tidak berkesudahan. Pertama, sekda pilihan bupati ini secara tegas menentang arus utama yakni anti korupsi dan jual beli jabatan. Ini pula barangkali yang menjadi pertimbangan utama bupati menjatuhkan pilihan pada sekda diluar harapan banyak pihak. Ingat, bahwa slogan utama kampanye tim pemenangan pasangan bupati -- wakil bupati terpilih adalah antipungli dan jual beli jabatan.

Bupati nampaknya tidak ingin slogan hanya tinggal kenangan. Beliau paham betul bahwa adagium anti pungli dan jual beli jabatan adalah ibarat barang dagangan yang telah menjelma menjadi harapan sebagian besar masyarakat yang harus segera diwujudkan.

Nah, mengapa slogan tersebut menjadi pilihan tim pemenangan saat kampaye dulu? Tentu ada alasan kuat yang mendasarinya. Alasan utamanya adalah karena slogan tersebut sudah menjadi rahasia umum terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Artinya secara praktis kegiatan tersebut sudah sangat membudaya, melembaga diketahui dan dirasakan masyarakat luas. Sehingga bupati merasa perlu memilih sosok yang jujur, berani dan belum terkontaminasi oleh sistem yang selama ini sudah berjalan.

Kedua, sekda pilihan bupati kali ini adalah sosok sangat agamis dan moralis, sejak awal kepemimpinannya begitu menggebu ingin melakukan banyak perubahan bahkan cenderung radikal. Dipadu dengan gaya komunikasi yang tegas menjadikannya sosok yang menghawatirkan banyak pihak. Sehingga juga menjadi wajar jika  kemudian menuai resistensi.

Ketiga, sekda kali ini nampaknya cenderung memilih jalan non kompromistis. Sehingga wajar jika muncul gerakan penolakan baik dari kalangan internal birokrasi maupun dari kalangan politik. Banyak pihak yang merasa akan kehilangan peluang. Banyak yang merasa terancam dari kedudukannya dalam zona nyaman. Bersamaan dengan  kepentingan politik kemudian menjadi gerakan penggembosan yang cenderung menyerang legitimasi bupati Bondowoso.

Beberapa hal yang dianggap "kelemahan" tersebut sejatinya merupakan nilai lebih yang dibutuhkan masyarakat Bondowoso hari ini. Masyarakat butuh sosok pemimpin yang jujur, berani dan bertanggungjawab. Namun sayang, nampaknya kalangan elit birokrasi dan elit politik tidak sepenuhnya siap menyongsong perubahan sehingga yang nampak menonjol adalah sorotan demi sorotan yang sengaja diarahkan untuk membunuh karakter seseorang.

Dari kacamata politik tentu seluruh masyarakat maklum. Aroma perebutan kekuasaan yang terjadi pasca kebijakan bupati memilih sekda baru membuat posisi eksekutif kian ringkih dan terjepit. Secara teori, komposisi  yang timpang dimana mayoritas kekuatan politik yang beridiri sebagai oposan tentu akan sangat berat dirasakan oleh bupati. Apalagi kekuatan koalisi utama yang awalnya mendukung kemudian memutuskan untuk berkongsi dengan oposisi, membuat ruang gerak eksekutif semakin sempit. Praktis bupati kini hanya dapat menjalankan kekuasaan dengan hanya separo badan.

Bagaimana perjalanan eksekutif ke depan kini tergantung dari kepiawaian kelompok/koalisi minoritas pendukung bupati menjalankan fungsi politiknya. Bagaimana koalisi pendukung dapat menjalin komunikasi dengan koalisi oposisi. Jika tidak, maka lagi-lagi masyarakat yang akan menjadi korban karena semua kebijakan eksekutif lebih berpotensi menuai sorotan dari pada dukungan.

Dari kacamata birokrasi,  tak ada yang salah dengan kebijakan bupati memilih sekda Syaifullah. Semua didasarkan atas perhitungan matang yang mengedepankan idealisme dan tentu kepentingan utamanya hanya untuk masyarakat luas. Namun dari kacamata politik bisa menjadi sebaliknya, seluruh kebijakan bupati menjadi tak ada benarnya bila tidak sesuai dengan kehendak mayoritas.

Namun bagaimanapun terpilihnya pasangan bupati wakil bupati adalah hasil ihtiar yang panjang dan mencerminkan kehendak masyarakat mayoritas masyarakat Bondowoso. Meskipun menjadi profil kepemimpinan yang agak ganjil karena wakil bupati dengan partai pengusungnya kemudian mengambil langkah balik kanan menjadi pendukung koalisi oposisi.

Ke depan, hujan kritik dipastikan akan terus berlangsung, namun perlu diingat bahwa mengkritik itu jauh lebih mudah dari pada melahirkan ide/gagasan baru. Seribu amunisi bisa lahir begitusaja sebagai bahan kritik tapi  ide/gagasan baru untuk membangun hanya bisa timbul dari niat yang baik dan proses yang panjang.

Apakah Anda ingat filosofi satu jari menunjuk orang lain, empat jari menunjuk diri anda? Hal tersebut berlaku untuk kritik. Ketika anda ingin mengkritik orang lain, bisa jadi anda sedang mengkritik bagian dari diri anda. Maka, ketika anda ingin mengkritik orang lain, coba lihat dulu ke dalam diri anda. Hal tersebut biasanya akan mengubah kritik menjadi empati.

Sebelum mengkritik, sadari dulu motivasi kita, apakah murni memberikan masukan atau ingin menjatuhkan orang lain.

Mengutip kalimat Filsuf Yunani, Aristoteles, "Kritik adalah sesuatu yang dengan mudah dihindari yaitu dengan tidak melakukan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa".

Saya hanya ingin menegaskan bahwa niat baik harus terus berjalan, dukungan minoritas tidak boleh menyurutkan keinginan untuk terus membangun dan yang terpenting terus berjalan pada track yang benar. Sekali lagi terpilihnya bupati Bondowoso adalah cerminan kehendak masyarakat mayoritas. Jika tidak bisa sepenuhnya berkompromi dengan kepentingan politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan maka bupati masih punya rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh. Bupati bisa melapor kepada konstituennya secara langsung, bupati bisa mengeluhkannya kepada rakyat yang memilihnya dengan berbagai cara.

Dulu visi Bondowoso Melesat menjadi harapan baru bagi masyarakat, kini lebih menjadi beban yang kian berat ditanggung oleh bupati sendiri akibat pecah kongsi politik yang menimbulkan segunung permasalahan. Secara politik eksekutif kini menjadi musuh bersama, namun secara sosial bisa menjadi sebaiknya,para petualang politiklah yang  menjadi musuh bersama rakyat. (Rizal K_ NU_GL)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun