Mohon tunggu...
Moh Ikhsani
Moh Ikhsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang menulis topik sepak bola.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Culture Shock, dari Mesin ke Sastra

24 November 2022   13:26 Diperbarui: 24 November 2022   13:30 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.tmb.ie

Berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya, kali ini penulis akan sedikit berbagi pengalaman yang pernah penulis alami kepada para pembaca. Pengalaman yang menurut penulis sebagai pengalaman yang tak terlupakan.

Sebagai seorang siswa yang ingin melanjutkan kuliah, saat itu sempat terbesit di benak penulis keinginan untuk meneruskan berkuliah mengambil jurusan yang sama seperti saat penulis masih SMK dulu.

Sedikit kembali ke belakang, penulis pernah bersekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) swasta yang dikelola oleh sebuah organisasi keagamaan besar di Indonesia.

Selama di SMK, penulis mengambil jurusan teknik pemesinan. Faktor keinginan untuk bisa bekerja di perusahaan manufaktur besar skala nasional bahkan internasional menjadi latar belakang penulis dalam mengambil jurusan tersebut.

Tiga tahun menggeluti dunia perteknikan, penulis akhirnya "menyerah" dan memutuskan untuk berpindah haluan ke ranah sastra. Ya, hal itu sangat jauh berbeda sekali terhadap apa yang telah penulis pelajari selama di SMK.

Alasan yang membuat penulis memilih berpindah ke sastra daripada meneruskan ke teknik pemesinan adalah karena faktor materi. Banyak materi kejuruan yang dipelajari di sekolah, sulit untuk penulis terima. Dalam artian, penulis sulit memahami materi yang diberikan guru.

Entah karena faktor metode pengajarannya yang menurut penulis tidak cocok sehingga sulit diterima, atau memang kemampuan otak penulis yang kurang dalam menerima materi yang diberikan.

Menjadi siswa jurusan teknik pemesinan, penulis tentunya sudah akrab dan terbiasa dengan segala jenis mesin yang dipelajari maupun digunakan selama menjadi siswa SMK dulu.

Mulai dari mesin yang tidak terlalu rumit seperti gerinda. Kemudian mesin yang perlu sedikit menghafal bagian-bagiannya, seperti mesin bubut dan mesin frais, hingga mesin yang sangat kompleks karena membutuhkan kecermatan yang lebih seperti mesin CNC (Computer Numerical Control).

Banyak hal yang cukup membuat penulis kaget dan tidak siap saat menjadi mahasiswa sastra. Bisa dikatakan pada saat penulis menjadi mahasiswa baru, penulis sedang mengalami culture shock atau keterkejutan budaya.

Jujur saja, pada saat penulis memilih jurusan sastra, belum terbayang sedikit pun pada diri penulis untuk nantinya akan bekerja seperti apa dan akan mempelajari apa. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, gambaran-gambaran untuk prospek pekerjaan ke depan sudah mulai terlihat jelas di depan mata.

Pada artikel ini, penulis akan sedikit menceritakan beberapa hal yang membuat penulis terkejut dan tidak siap saat menjadi mahasiswa sastra.

1. Jurusan Sastra Kebanyakan Wanita

Bagi penulis, ini merupakan sesuatu yang sangat mengagetkan dan tidak biasa. Jika saat SMK dulu, penulis memiliki banyak teman pria, baik itu di kelas maupun seluruh angkatan, namun sekarang berbanding terbalik. Saat ini, wanita yang lebih mendominasi.

Penulis juga merasa sedikit canggung dan tidak percaya diri untuk bersosialisasi maupun berteman karena belum terbiasa dengan lingkungan baru tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, penulis sudah mulai nyaman dan terbiasa dengan lingkungan baru yang sedang penulis jalani.

2. Kaget dengan Tugas yang Diberikan

Pada saat semester satu, penulis pernah mendapatkan tugas dari dosen yang penulis menganggap tugas itu sebagai tugas yang berat. Penulis diwajibkan membaca enam novel, dua novel yang lahir sebelum kemerdekaan, dua novel pasca kemerdekaan, dan dua novel populer.

Penulis menganggap tugas itu berat karena selama masih SMK, penulis tidak pernah membaca buku-buku bacaan seperti yang dosen penulis berikan.

Saat SMK, penulis lebih sering membaca materi-materi kejuruan serta menghafalkan bagian-bagian mesin dan tidak pernah membaca novel ataupun sejenisnya.

Saat proses perkuliahan, penulis menyadari bahwa penulis sedang tertinggal jauh dari teman-teman penulis yang lain, ini karena bacaan mereka jauh lebih banyak daripada penulis.

Dengan perbendaharaan bacaan novel yang tidak ada, kemudian mengerjakan tugas dengan waktu yang singkat, membuat penulis panik hingga keteteran saat itu. Mau tidak mau penulis harus membaca novel terlebih dahulu, sedangkan teman-teman yang lain tinggal me-refresh ingatan mereka, karena kebanyakan dari mereka sudah pernah membaca novel yang dikategorikan seperti tugas yang diberikan.

3. Lingkungan Para Kutu Buku

Sudah jelas, jika sastra selalu identik dengan buku. Saat menjadi mahasiswa baru, kosakata perbendaharaan penulis masih sangat sedikit. Penulis juga tidak pernah membaca novel seperti yang teman-teman penulis lakukan.

Penulis sering menjumpai teman-teman penulis membaca buku ketika jam istirahat, dan hal seperti itu tidak ada ketika penulis masih menjadi siswa SMK.

Perihal sastra, seperti novel, penulis, dan isinya, otak penulis benar-benar kosong pada saat itu. Hal itu juga sempat menimbulkan ketakutan, kepanikan, serta rasa tidak percaya diri terhadap penulis jika sewaktu-waktu ditanya oleh dosen terkait bacaan novel, penulis pasti tidak bisa menjawab.

Namun seiring berjalannya waktu, penulis mulai memaksa diri untuk gemar membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Hal itu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dari teman-teman penulis yang lain. Sekaligus sebagai upaya untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan baru.

Itulah tiga hal yang membuat penulis merasa terkejut dan tidak siap dengan lingkungan baru sebagai mahasiswa sastra. Ternyata, menjadi mahasiswa sastra sangat mengasyikan, banyak hal-hal baru yang dipelajari, seperti mempelajari kebudayaan berbagai daerah di Indonesia, mempelajari tentang sastra Nusantara yang jauh lebih menarik, mempelajari novel, puisi maupun cerpen, dan lain sebagainya.

Banyak wawasan baru yang diperoleh ketika menjadi mahasiswa sastra. Kebiasaan dulu yang malas membaca, sekarang malah sebaliknya, menjadi lebih bersemangat. Dulu yang tidak berkeinginan untuk menulis artikel di media online, sekarang justru menjadi kegiatan yang sering dilakukan.

Penulis juga baru mengetahui setelah menjadi mahasiswa sastra, bahwa sastra beragam jenisnya. Film adalah salah satu bentuk sastra yang sering penulis ulas selain novel.

Prospek pekerjaan lulusan sastra yang dulu mengira akan menjadi guru atau pengajar saja, ternyata salah. Lulusan sastra memiliki prospek pekerjaan yang luas, bisa menjadi penerjemah, jurnalis, penulis, editor, dan lain sebagainya.

Di masa mendekati akhir kelulusan ini, dan penulis juga sedang menjalani kegiatan magang sebagai editor naskah di sebuah penerbit, penulis berkeinginan untuk suatu saat nanti bisa bekerja sebagai seorang editor naskah, baik itu di penerbit maupun di media.

Demikian cerita singkat yang penulis bagikan kepada pembaca, terima kasih telah berkenan menyempatkan waktu untuk membaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun