Di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, hiduplah satu keluarga yang beranggotakan tiga orang. Mereka adalah Gilang, Iriana, dan buah hati mereka, Anjas. Mereka tinggal di gubuk kecil berukuran 3x3 meter yang terbuat dari kayu dengan lantai beralaskan tanah.
Setiap malam, hanya lampu teplok yang terpasang di beberapa sudut yang menemani mereka di gelapnya malam. Bila sedang hujan, airnya memasuki gubuk kecil itu melalui celah-celah atapnya seraya ikut merasakan kesedihan orang di dalamnya.
Dinginnya angin malam yang menusuk tulang, tak terasa begitu menyakitkan daripada sulitnya mereka banting tulang mencari uang untuk makan.
Pagi itu, Gilang menyusuri lebatnya hutan mencari kayu untuk dijual di pasar yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Sedangkan istri dan anaknya, mencari sayuran yang terselip di antara rindangnya pepohonan hutan untuk mereka makan.
Setiap Gilang mendapatkan beberapa ikat kayu, dia langsung menuju pasar untuk menjualnya. Dia tak banyak berharap pada nominal yang dia dapatkan. Bila kayunya terjual, dia sudah sangat bersyukur. Paling tidak, dia pulang dengan membawa sedikit harapan.
Satu jam dia menunggu pembeli di bawah teras toko beratapkan seng yang sewaktu-waktu bisa menimpanya. Di tengah rasa kantuk yang menghampirinya, dia melihat Pria Berjaket Kuning memanggilnya, Gilang langsung menghampiri Pria Berjaket Kuning itu.
"Kamu jualan kayu bakar?" tanya Pria Berjaket Kuning yang terlihat lebih tua dari Gilang.
"Iya, Pak." Jawab Gilang.
"Berapa harganya?" tanya Pria Berjaket Kuning.
"Dua ikat, Rp40.000 saja, Pak." Jawab Gilang kepada Pria Berjaket Kuning yang duduk di dalam mobilnya.