Mohon tunggu...
Rizki Luthfiah Aziz
Rizki Luthfiah Aziz Mohon Tunggu... Aktor - An Observer and Participant of Life

Pengelana yang ingin mengarungi samudra kehidupan dan menyelami misteri alam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hindari Ancaman, Bukan Musnahkan Ancaman

5 Juni 2020   15:52 Diperbarui: 6 Juni 2020   07:27 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shutterstock via nypost.com

Sebenarnya ini tipe tulisan yang sebisa mungkin saya hindari untuk dipublikasi, karena ada kemungkinan mereka yang tidak sependapat akan tidak menyukai tulisan ini. Namun apalah arti hidup di negara merdeka yang demokratis bila kita tidak sudi beropini. Toh kata demi kata saya atur sesopan dan sehalus mungkin, mungkin terlalu halus sampai esensi tulisan ini sekalipun belum tentu sampai ke pembaca.

Seorang Gubernur merasa terancam karena keberadaan aplikasi kitab suci dengan bahasa daerahnya beredar di masyarakat. Tidak perlu dibingungkan alasan aplikasi tersebut dikecam karena setiap manusia yang tidak terbiasa dengan kehadiran entitas baru akan selalu merasa terancam, sekalipun tidak merasa keselamatannya terancam mereka akan merasa identitasnya terancam. Ini naluriah, meskipun memang menarik bila dicermati dari sisi nilai-nilai kemanusiaan universal seperti toleransi, kerukunan antar-umat dan lainnya.

Tidak ada yang salah dari sifat-sifat dasar manusia karena yang menjadi persoalan adalah ketika realita tidak sebanding dengan ekspektasi.

Sebagian orang memasang standar toleransi yang tinggi untuk wilayah tersebut sehingga kejadian seperti ini dilihat sebagai hal yang perlu diperbaiki.

Saya pribadi rasanya sudah sampai ke titik nerimo saja, toh isi hati dan pikiran orang tidak akan bisa diubah kecuali oleh dirinya sendiri, walaupun tekanan dari otoritas setempat sejatinya bisa membentuk dan membina karakter manusia yang diharapkan, terutama yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa majemuk yang mengutamakan kebhinekaan. Tapi sudahlah tidak usah terlalu diambil pusing.

Hal yang ingin saya cermati adalah kebiasaan orang-orang di negeri ini ketika menghadapi ancaman, terutama ancaman tak-kasat-mata yakni ideologi dan keyakinan.

Pendekatan represif selalu diutamakan seperti dengan mengecam, melarang, membubarkan-paksa hingga akhirnya si objek mendapatkan label negatif dan kehinaan dari masyarakat awam.

Padahal setiap ancaman yang tidak mengarah pada ancaman keselamatan ataupun keamanan nasional seharusnya tidak perlu dimusnahkan seperti membumihanguskan bangunan hingga rata dengan tanah dan melenyapkan segala hal yang berhubungan dengannya. Ini perbuatan tidak mulia yang dilakukan oleh setiap imperium di masa lalu ketika menguasai wilayah baru.

Memusnahkan ide, gagasan, teori, kepercayaan dan keyakinan yang bertentangan dengan yang dianut oleh otoritas atas nama rakyat hanya menutup ruang diskusi dan pembelajaran akan pandangan-pandangan lain yang sesungguhnya diperlukan untuk menambah wawasan dan kematangan berpikir semua orang.

Soal kekhawatiran orang-orang akan "tersesat" atau "belok" maka ada dua pilihan guna mengatasinya: 

Pertama, berikan haluan dasar bahwa ideologi tertentu adalah salah, ya cukup katakan salah bukan terlarang. Tentu perlu ada dasar-dasar filosofis yang menguatkan alasan bahwa ideologi tersebut pantas disebut ideologi yang salah. Sehingga sebagaimanapun orang-orang mempelajarinya tidak akan terlepas dari keyakinan dasar bahwa buku yang sedang dibacanya salah.

Kedua, serahkanlah segalanya pada kemandirian masing-masing orang namun gencar melakukan tandingan dengan melakukan publikasi dan sosialisasi besar-besaran atas ideologi yang direstui. Ini yang dilakukan oleh negara-negara barat yang menjalankan demokrasi terbuka yang bernuansa liberal seperti Amerika Serikat. Apa ada ideologi yang dilarang oleh pemerintah A.S?

Gereja pemuja setan saja bisa bebas beraktivitas tentu kecaman pihak lain dan tekanan dari sana-sini tetap bisa dilakukan. A.S adalah leader blok barat dalam memerangi komintern yang dipimpin Uni Soviet di era perang dingin, Kennedy mati-matian menghadapi Kriris Misil Kuba 1962, LBJ rela dikata-katai oleh masyarakat yang anti-perang Vietnam hingga Reagan yang terkenal dengan permohonannya saat berucap, "Mr. Gorbachev, Tear Down This Wall!" yang merujuk pada Tembok Berlin. Meski demikian hingga kini gerakan-gerakan kiri di Amerika Serikat bukanlah gerakan bawah tanah, mereka kerap mengampanyekan ideologinya.

Pemerintah A.S tidak ambil pusing, makhluk yang sudah lama mati tidak akan mungkin bangkit dari kubur. Meskipun bangkit hanya akan menjadi zombie yang menjadi bahan tertawaan saja. Tidak diambil serius. Justru ancaman gerakan far-right yang kerap memboncengi pandangan rasis lebih menarik perhatian pemerintah A.S, seperti gerakan Klu Klux Klan, Neo-Nazi dan lainnya. Lucu mengingat A.S sendiri yang memimpin sekutu memberantas Nazi di Eropa saat Perang Dunia II.

Ya itulah kedewasaan demokrasi A.S yang rasa-rasanya tidak akan mungkin diterapkan di negara-negara dunia ketiga. Tidak salah memang, saya pun khawatir bila sebagian orang yang hanya karena sekali-dua kali baca buku tiba-tiba jadi seorang fasis, atau karena sekali-dua kali melihat ketidakmerataan pembangunan lalu mendadak jadi 'belok kiri'. 

Perlu diketahui oleh dunia bahwa sebagai warga Indonesia yang 'merah-putih' saya pribadi seorang Pancasilais yang menolak marxist dan segala variannya. Bagi saya cita-cita menciptakan masyarakat tanpa kelas yang bisa saling mencukupi adalah pemikiran yang terlalu utopis sampai-sampai tidak akan bisa terwujud kecuali di surga. Bahkan surga yang saya yakini pun ada kelasnya, dari mulai surga terendah sampai surga firdaus.

Belum lagi soal narasi penentangan terhadap agama sangat tidak cocok dengan saya yang menggemari segala hal yang berbau spiritual. Artinya saya menolak pemikiran yang memang dikecam oleh otoritas atas kesadaran penuh dan pemahaman yang matang, bukan karena asal mangut membeo. Kembali ke dua opsi yang saya tuliskan tadi, bila yang kedua dirasa tidak mudah dilakukan maka yang pertama sejatinya dapat diutamakan, yaitu dengan memberikan haluan dasar bahwa ideologi tertentu dinilai salah.

Ini berlaku pada diri saya sendiri, sejak kecil betapa banyak input saya terima tentang kebenaran agama saya, tentu sebagaimana anak kecil umumnya saya juga menerimanya secara dogmatis tanpa ragu. Hal ini membentuk pribadi saya hingga semakin saya melakukan komparasi agama semakin saya merasakan kebenaran agama saya.

Semakin saya memperbanyak bacaan tentang agama lain semakin saya bersyukur memeluk agama saya ini. Cukup dengan kemandirian pikiran dan hati saja, tidak perlu kecaman ini-itu, tidak perlu penekanan dari sana-sini, tidak perlu melalui perdebatan yang tidak sehat, toh saya sendiri mampu menjaga, atau semoga menguatkan, iman atas dasar hati dan pikiran yang matang. Bila saya bisa kenapa orang lain tidak?  

Ilustrasi sederhana yang relevan adalah ketika kita membayangkan api maka kita setuju bahwa api dapat membahayakan, apalagi bila sudah tergolong kebakaran.

Langkah yang tepat bukanlah memusnahkan api, karena sekalipun api tidak dimunculkan melalui korek, minyak dan gas, api bisa tetap muncul secara alamiah misal melalui sambaran petir. Maka yang lebih tepat dilakukan adalah menggencarkan sosialisasi penggunaan hydrant agar semua orang bisa mengatasi kebakaran secara mandiri. Tentu tidak ada salahnya juga bila mengingatkan orang-orang agar menghindari api meski kita tahu bahwa api tetap ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun