Mohon tunggu...
Mohammad Akip Imam Mummuttaqin
Mohammad Akip Imam Mummuttaqin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menyukai dunia seni, literasi dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Distorsi Rasionalitas Di Tengah Kebisingan Informasi

17 Oktober 2025   10:41 Diperbarui: 17 Oktober 2025   10:43 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Pinterest)

Kuatnya arus digital mengharuskan kita untuk menyadari akan eksistensi sebagai seorang manusia. Mempertanyakan kembali mengenai fungsi rasionalitas yang selama ini telah membantu jalannya seseorang untuk mengambil sebuah keputusan berdasarkan logika dan fakta bukan hanya sekadar emosi dan intuisi.

Era digital yang sangat deras seperti sekarang ini nyatanya telah membawa dampak besar terkhususnya terhadap cara masyarakat dalam menerima dan mencerna sebuah informasi baru. Berbagai macam informasi seperti berita, opini dan narasi pribadi yang belum jelas kebenarannya telah membanjiri ruang ruang digital milik kita. Hal ini membuat banyaknya informasi yang berisi fakta malah terkesan bias dengan adanya informasi opini dan narasi narasi pribadi.  

Untuk menyikapi hal seperti ini, tentulah publik jangan dulu bersikap terburu buru dalam mengambil kesimpulan. Informasi yang datang dalam bentuk apapun itu harus diverifikasi kebenarannya terlebih dahulu. Jangan sampai, kita malah terjebak emosi hanya karena framing sebuah berita. Rasionalitas harus terus digunakan dalam mencerna informasi agar tidak tergadai begitu saja.

Fenomena framing sebuah berita informasi ini marak terjadi apalagi terkait hal hal yang dianggap mampu untuk mengajak publik ikut berkomentar. Sebagai contoh sebuah video yang menyajikan aktivitas yang sebenarnya biasa terjadi di Pondok Pesantren dan ternyata ramai diberi narasi bahwa itu merupakan praktik feodalisme dalam lingkungan pendidikan. Untuk menyikapi adanya berita seperti ini, kita harus kembali menggunakan rasionalitas kita secara benar. Bisa dengan mengurai perlahan lahan fenomena ini.

Pertama karena menyinggung pondok pesantren dan budaya yang ada di dalamnya maka kita setidaknya harus paham dahulu bagaimana kultur pondok pesantren itu berjalan. Pondok Pesantren merupakan sejarah panjang tentang perjuangan menanamkan nilai-nilai moral, spiritual kepada penerus bangsa. Jauh sebelum lembaga pendidikan formal berdiri, Pesantren telah tumbuh ditengah masyarakat sebagai wujud implementasi dakwah, pendidikan, dan pengabdian masyarakat. Adanya aktivitas santri yang menunduk dihadapan para Kyai, bagi saya ini merupakan wujud cinta dan hormat kepada seseorang yang dianggap alim, berjasa dan menguasai keilmuan. Berbeda dengan orang biasa pada umumnya..

Para kyai kyai sepuh telah membuktikan bahwa pengabdian kepada agama dan bangsa bukan hanya sekedar kata kata. Seluruh hidupnya diabdikan untuk ilmu dan dakwah. Setidaknya ini yang terlihat di pesantren pesantren sepuh terutama yang kita takdzimi bersama yakni Pondok Pesantren Lirboyo.

Lalu kenapa budaya pondok pesantren dinarasikan dengan praktik feodalisme?

Feodalisme sebenarnya merupakan sistem sosial politik yang marak di eropa kurang lebih pada abad pertengahan (9-15 M). Yang khas dari feodalisme adalah adanya hubungan hierarkis antara penguasa dan rakyanya. Secara mudahnya, hal ini membuat masyarakat terstratifikasi atau terbagi dalam berbagai lapisan lapisan. Setiap lapisan punya tanggung jawab masing masing dan kekuasaan utama terkonsentrasi pada para petinggi.

Yang membedakan adalah pada praktik feodalisme identik dengan unsur keterpaksaan dan hierarkis yang cenderung kaku dan kelompok bawah dipaksa untuk tunduk pada para petinggi. Sedangkan dalam pondok pesantren, hubungan Kyai dan Santri adalah hubungan spiritual dan kesadaran. Santri memiliki kesadaran untuk menghormati gurunya dan hal ini dilakukan tanpa adanya paksaan bukan seperti halnya pada era klasik ketika para bangsawan memaksa tunduk para rakyatnya.

Jika kita tidak memahami tentu aktivitas yang telah menjadi budaya di pondok pesantren ini akan di nilai miring bahkan lekat dengan praktif feodalisme. Yang penting untuk dipahami adalah ini berkaitan erat dengan budaya sebuah kelompok yang tidak terpahami oleh kelompok yang lainya. Tanpa adanya titik temu atau ruang dialog agar mampu memahami suatu persoalan secara utuh, malah yang terjadi mendahulukan kesimpulan berdasarkan opini dan apa yang dilihat secara sekilas. Saling lempar stigma dan perdebatan yang berdasarkan emosional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun