Mohon tunggu...
Mohammad Sofyan
Mohammad Sofyan Mohon Tunggu... Programer Penelitian Sosial Ekonomi

Belajar menuliskan suatu fenomena untuk membiasakan diri berfikir kritis yang dituangkan dalam sebuah Karya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tantangan Perguruan Tinggi Swasta Dalam Meneguhkan Peran Strategis Pendidikan Tinggi di Indonesia

17 Juli 2025   14:35 Diperbarui: 17 Juli 2025   14:31 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan tinggi merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, adaptif terhadap perubahan, serta mampu bersaing dalam lanskap global yang semakin kompleks. Dalam konteks Indonesia, fungsi strategis pendidikan tinggi telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat. Artinya, tidak hanya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menjadi ujung tombak pencapaian tujuan pendidikan nasional, tetapi juga Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang turut memainkan peran penting dalam menjangkau kelompok masyarakat luas.

Secara statistik, lebih dari 70% institusi pendidikan tinggi di Indonesia merupakan PTS, yang tersebar dari pusat hingga ke daerah terpencil. PTS telah menjadi instrumen strategis dalam membuka akses pendidikan tinggi bagi masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah yang sering kali tidak memiliki cukup modal ekonomi atau sosial untuk menembus seleksi PTN. Dengan kata lain, keberadaan PTS tidak hanya berkontribusi pada peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi, tetapi juga berperan sebagai mobilizing agent dalam mengakselerasi mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat akar rumput.

Namun, dalam realitas sistem pendidikan tinggi nasional, PTS kerap berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, PTS dituntut untuk memenuhi standar mutu akademik yang setara dengan PTN, meliputi tata kelola kelembagaan yang transparan dan akuntabel, kurikulum berbasis kompetensi yang responsif terhadap dinamika industri, serta output lulusan yang memiliki daya saing di pasar kerja nasional maupun global. Di sisi lain, PTS dihadapkan pada berbagai kendala struktural seperti keterbatasan sumber daya finansial, ketimpangan dalam akses terhadap kebijakan pemerintah, rendahnya daya saing institusional, dan terbatasnya infrastruktur penunjang pembelajaran.

Kondisi ini diperparah oleh fenomena ekspansi Perguruan Tinggi Negeri ke daerah-daerah melalui pembukaan Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU), yang secara tidak langsung menciptakan tekanan kompetitif terhadap keberlangsungan PTS lokal. Masyarakat, didorong oleh persepsi terhadap kualitas dan biaya yang lebih rendah, cenderung beralih ke PTN, sehingga menyebabkan banyak PTS mengalami penurunan drastis dalam jumlah mahasiswa baru. Tanpa intervensi kebijakan afirmatif, situasi ini berisiko memperlebar kesenjangan antara PTN dan PTS, serta mengancam kelangsungan institusi-institusi pendidikan tinggi yang selama ini menjadi frontline dalam melayani pendidikan masyarakat luas.

Dengan demikian, peran strategis PTS dalam mendidik anak bangsa tidak bisa dipisahkan dari kerangka pembangunan nasional. Untuk memastikan PTS tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal, diperlukan kebijakan yang tidak hanya bersifat normatif dan administratif, tetapi juga bersifat afirmatif, kontekstual, dan inklusif. Dukungan negara terhadap PTS bukan sekadar bentuk fasilitasi kelembagaan, melainkan juga manifestasi dari tanggung jawab konstitusional dalam menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan merata.

Krisis Pendanaan dan Keterbatasan Infrastruktur

Isu pendanaan merupakan tantangan fundamental yang dihadapi mayoritas Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia. Tidak seperti Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memperoleh alokasi dana rutin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagian besar PTS harus mengandalkan sumber pembiayaan internal, yang utamanya berasal dari biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa. Ketergantungan tinggi terhadap pendapatan berbasis jumlah mahasiswa ini menciptakan kerentanan struktural yang signifikan, terutama ketika terjadi penurunan angka pendaftaran mahasiswa baru.

Situasi tersebut menjadikan banyak PTS mengalami krisis likuiditas, yang tidak hanya mengganggu kesinambungan operasional harian, tetapi juga berdampak pada aspek strategis institusi seperti pengembangan sarana dan prasarana pembelajaran, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pemberian remunerasi yang layak kepada dosen dan tenaga kependidikan. Dalam jangka panjang, kondisi ini memunculkan efek domino terhadap mutu akademik dan reputasi institusi, yang pada gilirannya semakin menyulitkan proses rekrutmen mahasiswa di tahun-tahun berikutnya.

Minimnya akses terhadap sumber pendanaan alternatif---baik dari pemerintah, dunia usaha, maupun lembaga donor---membatasi kemampuan PTS untuk melakukan investasi dalam penguatan kapasitas kelembagaan. Misalnya, di era pascapandemi COVID-19, ketika digitalisasi pembelajaran menjadi keniscayaan, banyak PTS tidak mampu mengadopsi teknologi pembelajaran daring secara menyeluruh karena keterbatasan anggaran untuk perangkat keras, perangkat lunak, pelatihan dosen, serta pengembangan sistem manajemen pembelajaran berbasis teknologi (LMS). Hal ini memperlebar jurang transformasi digital antara PTS dan PTN, yang sebagian besar telah memperoleh dukungan negara melalui program nasional seperti Kampus Merdeka Digital, bantuan TIK, dan insentif program hybrid learning.

Lebih jauh, tantangan dalam pendanaan juga menghambat upaya PTS untuk membangun laboratorium berbasis industri, mengembangkan pusat inovasi dan inkubasi bisnis, serta menjalin kemitraan riset produktif dengan dunia usaha. Padahal, ekosistem tersebut sangat penting dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang relevan dan aplikatif sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan era Revolusi Industri 4.0.

Tanpa insentif fiskal yang adil dan afirmatif dari negara, PTS akan terus mengalami keterbelakangan secara struktural dibandingkan PTN. Ketimpangan ini berpotensi melanggengkan dualisme kualitas pendidikan tinggi di Indonesia---antara yang mampu bertahan dengan dukungan negara dan yang berjuang sendiri dengan sumber daya terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kebijakan pembiayaan pendidikan tinggi yang tidak hanya berfokus pada efisiensi anggaran negara, tetapi juga menjamin kesetaraan peluang kelembagaan bagi seluruh entitas pendidikan tinggi, termasuk PTS sebagai mitra sejajar dalam membangun masa depan bangsa.

Persaingan Ketat dan Ekspansi PTN ke Daerah

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pemerintah Indonesia melalui kebijakan perluasan akses pendidikan tinggi telah mendorong Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk membuka Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) di berbagai wilayah, termasuk daerah kabupaten dan kota yang sebelumnya tidak memiliki akses langsung ke pendidikan tinggi negeri. Secara normatif, kebijakan ini diarahkan untuk memperluas keterjangkauan pendidikan tinggi dan mengurangi ketimpangan spasial dalam distribusi institusi pendidikan. Tujuan tersebut tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan edukatif dalam skala nasional.

Namun, perlu dicermati bahwa ekspansi PTN melalui skema PSDKU juga memunculkan konsekuensi tidak langsung yang signifikan terhadap ekosistem pendidikan tinggi, khususnya terhadap keberlangsungan PTS yang telah lebih dahulu hadir dan berakar di wilayah-wilayah tersebut. Kemunculan entitas PTN di daerah dengan kapasitas kelembagaan yang kuat, biaya kuliah yang disubsidi negara, serta label "negeri" yang secara sosiologis dianggap lebih prestisius oleh masyarakat, secara langsung mengurangi daya saing PTS lokal dalam menarik calon mahasiswa baru.

Fenomena ini menciptakan ketimpangan kompetisi yang tidak setara (asymmetric competition) antara PTN dan PTS. PTN menikmati keunggulan komparatif melalui berbagai fasilitas negara, seperti subsidi biaya pendidikan, alokasi beasiswa afirmatif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, serta integrasi ke dalam program-program nasional seperti Kampus Merdeka dan beasiswa LPDP. Sebaliknya, PTS harus menanggung seluruh biaya operasional secara mandiri, tanpa jaminan keberlanjutan dana dan dalam kondisi infrastruktur yang sering kali terbatas. Ketika persaingan tersebut berlangsung di wilayah dengan daya beli masyarakat yang rendah, PTS menjadi semakin terdesak karena tidak mampu bersaing secara ekonomi maupun simbolik.

Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah penurunan tajam jumlah pendaftar di banyak PTS, yang berujung pada tidak tercapainya kuota minimum mahasiswa baru pada beberapa program studi. Dalam banyak kasus, situasi ini memaksa institusi untuk menutup program studi tertentu, mengurangi dosen tetap, dan melakukan efisiensi operasional yang berpotensi menurunkan mutu layanan akademik secara keseluruhan. Lingkaran ini menciptakan efek spiral yang negatif, di mana rendahnya penerimaan mahasiswa melemahkan kapasitas institusi, yang pada akhirnya semakin memperburuk persepsi dan reputasi publik terhadap kualitas PTS.

Lebih jauh, kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan struktural dalam tata kelola pendidikan tinggi nasional, di mana regulasi yang bertujuan inklusif justru menciptakan eksklusi implisit terhadap PTS. Tanpa mekanisme kompensasi yang adil atau bentuk afirmasi yang konkret bagi PTS terdampak, perluasan PSDKU berisiko menghasilkan polarisasi antara pendidikan tinggi "negara" dan "non-negara", yang pada akhirnya menciptakan disparitas sistemik dalam akses, kualitas, dan keberlanjutan institusi pendidikan.

Dengan demikian, kebijakan ekspansi PTN perlu disertai dengan analisis dampak terhadap PTS di wilayah target serta penerapan kebijakan pengimbangan (compensatory policy) yang mendukung keberlangsungan PTS sebagai bagian dari ekosistem pendidikan tinggi yang holistik. Kolaborasi antara PTN dan PTS, alih-alih kompetisi destruktif, perlu digagas secara lebih sistematis untuk menciptakan sinergi dan keseimbangan kelembagaan dalam mendidik generasi bangsa.

Stigma Sosial dan Ketimpangan Akses Kebijakan

Secara historis, posisi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia kerap dibayangi oleh stigma sebagai institusi pilihan kedua, atau bahkan sebagai last resort bagi calon mahasiswa yang tidak berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Stigma ini bersumber pada berbagai faktor yang saling berkelindan, mulai dari persepsi masyarakat terhadap kualitas akademik PTS, keterbatasan fasilitas dan infrastruktur, hingga orientasi pasar terhadap lulusan PTN yang dianggap lebih unggul secara sosial dan simbolik.

Namun, stigma tersebut tidak terbentuk secara alami semata, melainkan juga dipertahankan dan diperkuat oleh ketimpangan akses terhadap kebijakan dan sumber daya negara. Program-program strategis seperti hibah penelitian kompetitif, pendanaan Program Merdeka Belajar--Kampus Merdeka (MBKM), beasiswa pengembangan dosen, hingga dana penguatan infrastruktur akademik, pada praktiknya lebih banyak diserap oleh PTN. Hal ini terjadi karena sistem seleksi, kapasitas administratif, dan jaringan institusional PTN secara struktural memang lebih siap dan terintegrasi dengan skema program pemerintah. Sebaliknya, banyak PTS, khususnya yang berskala kecil dan menengah, tidak memiliki perangkat kelembagaan yang memadai untuk mengakses dan mengelola program-program tersebut secara optimal.

Kondisi ini menciptakan lingkaran ketimpangan kelembagaan, di mana PTN yang sudah mapan terus mendapatkan afirmasi dan penguatan, sementara PTS mengalami stagnasi dalam pengembangan kapasitas kelembagaan karena keterbatasan akses terhadap sumber daya eksternal. Ketimpangan ini bukan hanya memengaruhi aspek finansial dan operasional, tetapi juga berdampak pada citra dan legitimasi sosial PTS di mata publik, industri, dan bahkan calon mahasiswa itu sendiri.

Lebih jauh, kerangka kebijakan yang mengatur akreditasi dan sertifikasi mutu institusi pendidikan tinggi sering kali bersifat seragam (one-size-fits-all), tanpa mempertimbangkan perbedaan mendasar antara PTN dan PTS dalam hal sumber daya, status hukum, serta kapasitas kelembagaan. Misalnya, indikator penilaian akreditasi seperti rasio dosen tetap bergelar doktor, jumlah publikasi internasional bereputasi, dan kemampuan menjalin kemitraan riset global, adalah indikator yang berbasis pada logika kelembagaan PTN yang disokong anggaran negara dan jaringan riset mapan. Ketika indikator tersebut diberlakukan secara absolut kepada PTS yang beroperasi dalam keterbatasan, maka tidak hanya terjadi distorsi dalam penilaian mutu, tetapi juga pengkerdilan potensi lokal dan keunikan model pendidikan yang selama ini dikembangkan oleh PTS.

Akibatnya, banyak PTS mengalami stagnasi akreditasi, yang pada gilirannya menghambat partisipasi mereka dalam program-program nasional, kerja sama internasional, dan penerimaan mahasiswa baru. Dalam beberapa kasus, akreditasi yang rendah justru memperkuat persepsi negatif masyarakat terhadap mutu institusi, sehingga menciptakan siklus eksklusi dan marginalisasi institusional yang sulit diputus tanpa intervensi afirmatif dari negara.

Oleh karena itu, diperlukan reformulasi paradigma kebijakan mutu pendidikan tinggi yang lebih kontekstual, diferensiatif, dan berbasis kesetaraan kelembagaan. PTS tidak boleh terus-menerus diukur dengan standar yang tidak memperhitungkan realitas operasional mereka. Justru melalui pendekatan yang berbasis kekuatan lokal, inovasi pedagogis, dan fleksibilitas kelembagaan, PTS dapat menjadi mitra strategis dalam membangun sistem pendidikan tinggi yang inklusif, beragam, dan tangguh dalam menghadapi tantangan global.

Arah Kebijakan Afirmasi dan Rekomendasi Strategis

Menimbang peran vital yang selama ini dijalankan oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam memperluas akses pendidikan tinggi secara merata dan inklusif, sudah saatnya negara melakukan reposisi paradigma kebijakan pendidikan tinggi dengan memberikan afirmasi yang lebih konkret, sistematis, dan berkelanjutan kepada PTS. Dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang demokratis dan berkeadilan, keberadaan PTS tidak dapat lagi dipandang sebagai pelengkap dari institusi negeri, melainkan sebagai mitra strategis yang turut memikul tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa.

Guna merealisasikan kesetaraan kelembagaan dan mendorong optimalisasi peran PTS dalam pembangunan sumber daya manusia, berikut beberapa arah kebijakan yang perlu dipertimbangkan:

  1. Penyediaan Dana Bantuan Operasional Khusus bagi PTS, dengan skema berbasis kinerja dan akreditasi minimum, guna menjamin keberlangsungan layanan pendidikan, khususnya di wilayah yang tidak terjangkau PTN. Skema ini perlu diarahkan untuk mendukung pembiayaan dasar institusi, penguatan kapasitas dosen, serta perawatan sarana dan prasarana pembelajaran.

  2. Reformulasi sistem akreditasi dan evaluasi mutu, agar lebih kontekstual, inklusif, dan adaptif terhadap keragaman karakteristik kelembagaan PTS. Evaluasi mutu tidak semestinya semata-mata berbasis pada standar PTN yang disubsidi negara, tetapi perlu mengakomodasi indikator yang mencerminkan inovasi lokal, dampak sosial, dan relevansi program studi terhadap kebutuhan daerah.

  3. Pemerataan akses terhadap program-program nasional, seperti beasiswa KIP Kuliah, hibah riset kompetitif, dan pendanaan Merdeka Belajar--Kampus Merdeka (MBKM), dengan alokasi kuota khusus bagi PTS. Kebijakan ini penting agar PTS tidak tertinggal dalam mengikuti transformasi sistem pendidikan tinggi yang semakin digital, kolaboratif, dan berbasis capaian.

  4. Fasilitasi kemitraan antara PTS dengan dunia industri dan pemerintah daerah, untuk mendorong pengembangan program studi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja lokal dan potensi ekonomi wilayah. Pola penguatan link and match ini akan meningkatkan relevansi kurikulum, kualitas lulusan, serta peluang kerja alumni.

  5. Penguatan ekosistem kolaboratif antara PTN dan PTS, melalui pembentukan konsorsium riset, pertukaran dosen, dan penyelenggaraan program-program akademik bersama. Pendekatan kolaboratif ini tidak hanya akan memperkuat solidaritas antar-lembaga pendidikan, tetapi juga membuka ruang pertumbuhan bersama yang lebih inklusif dan setara.

Pada akhirnya, keberadaan PTS tidak semata-mata tentang penyediaan ruang kuliah tambahan bagi masyarakat, melainkan sebagai katalisator transformasi sosial, terutama di daerah yang kurang tersentuh oleh penetrasi PTN. PTS berkontribusi dalam membuka harapan, membangun mobilitas vertikal masyarakat, serta mendekatkan pendidikan tinggi kepada kelompok sosial yang termarjinalkan. Oleh karena itu, tantangan yang mereka hadapi harus disikapi dengan kebijakan afirmatif yang terencana, berlandaskan keadilan struktural, dan melibatkan multipemangku kepentingan.

Dengan langkah strategis yang tepat dan dukungan regulasi yang adil, PTS dapat berkembang secara berkelanjutan, sejajar dengan PTN, dalam misi besar menciptakan generasi Indonesia yang cerdas, tangguh, berdaya saing global, serta berkepribadian kebangsaan yang kuat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun