Persaingan Ketat dan Ekspansi PTN ke Daerah
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, pemerintah Indonesia melalui kebijakan perluasan akses pendidikan tinggi telah mendorong Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk membuka Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) di berbagai wilayah, termasuk daerah kabupaten dan kota yang sebelumnya tidak memiliki akses langsung ke pendidikan tinggi negeri. Secara normatif, kebijakan ini diarahkan untuk memperluas keterjangkauan pendidikan tinggi dan mengurangi ketimpangan spasial dalam distribusi institusi pendidikan. Tujuan tersebut tentu patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan edukatif dalam skala nasional.
Namun, perlu dicermati bahwa ekspansi PTN melalui skema PSDKU juga memunculkan konsekuensi tidak langsung yang signifikan terhadap ekosistem pendidikan tinggi, khususnya terhadap keberlangsungan PTS yang telah lebih dahulu hadir dan berakar di wilayah-wilayah tersebut. Kemunculan entitas PTN di daerah dengan kapasitas kelembagaan yang kuat, biaya kuliah yang disubsidi negara, serta label "negeri" yang secara sosiologis dianggap lebih prestisius oleh masyarakat, secara langsung mengurangi daya saing PTS lokal dalam menarik calon mahasiswa baru.
Fenomena ini menciptakan ketimpangan kompetisi yang tidak setara (asymmetric competition) antara PTN dan PTS. PTN menikmati keunggulan komparatif melalui berbagai fasilitas negara, seperti subsidi biaya pendidikan, alokasi beasiswa afirmatif seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, serta integrasi ke dalam program-program nasional seperti Kampus Merdeka dan beasiswa LPDP. Sebaliknya, PTS harus menanggung seluruh biaya operasional secara mandiri, tanpa jaminan keberlanjutan dana dan dalam kondisi infrastruktur yang sering kali terbatas. Ketika persaingan tersebut berlangsung di wilayah dengan daya beli masyarakat yang rendah, PTS menjadi semakin terdesak karena tidak mampu bersaing secara ekonomi maupun simbolik.
Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah penurunan tajam jumlah pendaftar di banyak PTS, yang berujung pada tidak tercapainya kuota minimum mahasiswa baru pada beberapa program studi. Dalam banyak kasus, situasi ini memaksa institusi untuk menutup program studi tertentu, mengurangi dosen tetap, dan melakukan efisiensi operasional yang berpotensi menurunkan mutu layanan akademik secara keseluruhan. Lingkaran ini menciptakan efek spiral yang negatif, di mana rendahnya penerimaan mahasiswa melemahkan kapasitas institusi, yang pada akhirnya semakin memperburuk persepsi dan reputasi publik terhadap kualitas PTS.
Lebih jauh, kondisi ini memperlihatkan adanya ketidakseimbangan struktural dalam tata kelola pendidikan tinggi nasional, di mana regulasi yang bertujuan inklusif justru menciptakan eksklusi implisit terhadap PTS. Tanpa mekanisme kompensasi yang adil atau bentuk afirmasi yang konkret bagi PTS terdampak, perluasan PSDKU berisiko menghasilkan polarisasi antara pendidikan tinggi "negara" dan "non-negara", yang pada akhirnya menciptakan disparitas sistemik dalam akses, kualitas, dan keberlanjutan institusi pendidikan.
Dengan demikian, kebijakan ekspansi PTN perlu disertai dengan analisis dampak terhadap PTS di wilayah target serta penerapan kebijakan pengimbangan (compensatory policy) yang mendukung keberlangsungan PTS sebagai bagian dari ekosistem pendidikan tinggi yang holistik. Kolaborasi antara PTN dan PTS, alih-alih kompetisi destruktif, perlu digagas secara lebih sistematis untuk menciptakan sinergi dan keseimbangan kelembagaan dalam mendidik generasi bangsa.
Stigma Sosial dan Ketimpangan Akses Kebijakan
Secara historis, posisi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia kerap dibayangi oleh stigma sebagai institusi pilihan kedua, atau bahkan sebagai last resort bagi calon mahasiswa yang tidak berhasil diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Stigma ini bersumber pada berbagai faktor yang saling berkelindan, mulai dari persepsi masyarakat terhadap kualitas akademik PTS, keterbatasan fasilitas dan infrastruktur, hingga orientasi pasar terhadap lulusan PTN yang dianggap lebih unggul secara sosial dan simbolik.
Namun, stigma tersebut tidak terbentuk secara alami semata, melainkan juga dipertahankan dan diperkuat oleh ketimpangan akses terhadap kebijakan dan sumber daya negara. Program-program strategis seperti hibah penelitian kompetitif, pendanaan Program Merdeka Belajar--Kampus Merdeka (MBKM), beasiswa pengembangan dosen, hingga dana penguatan infrastruktur akademik, pada praktiknya lebih banyak diserap oleh PTN. Hal ini terjadi karena sistem seleksi, kapasitas administratif, dan jaringan institusional PTN secara struktural memang lebih siap dan terintegrasi dengan skema program pemerintah. Sebaliknya, banyak PTS, khususnya yang berskala kecil dan menengah, tidak memiliki perangkat kelembagaan yang memadai untuk mengakses dan mengelola program-program tersebut secara optimal.
Kondisi ini menciptakan lingkaran ketimpangan kelembagaan, di mana PTN yang sudah mapan terus mendapatkan afirmasi dan penguatan, sementara PTS mengalami stagnasi dalam pengembangan kapasitas kelembagaan karena keterbatasan akses terhadap sumber daya eksternal. Ketimpangan ini bukan hanya memengaruhi aspek finansial dan operasional, tetapi juga berdampak pada citra dan legitimasi sosial PTS di mata publik, industri, dan bahkan calon mahasiswa itu sendiri.