Berbicara merupakan kebutuhan manusia--ciri khas spesies homo sapiens sebagai makhluk sosial. Setiap orang, dari pribadi yang paling introvert hingga berkepribadian terbuka, secara niscaya membutuhkan orang lain sebagai tempat menumpahkan pikiran dan perasaan, bertanya atas ketidaktahuan, meminta petuah untuk suatu kesulitan yang tengah dihadapi, berdiskusi tentang kehidupan pribadi dan kebutuhan bersama, atau (bisa jadi) menambatkan dusta untuk mendapatkan validasi.
Berbicara menjadi salah satu bentuk komunikasi secara verbal. Dalam interaksi sehari-hari kita saling menyapa, bertanya, dan bercerita tentang satu atau banyak hal. Pada kondisi tertentu, para khatib atau pastur harus berpidato di atas podium, para akademisi dan profesional sibuk berdiskusi tentang ekonomi, sosial, budaya, politik, agama, atau lingkungan. Kita tentu sepakat bahwa ratusan artikel yang mengalir setiap hari di Kompasiana merupakan bagian dari proses komunikasi verbal yang dilakukan secara tertulis.
Komunikasi tidak saja secara verbal tetapi juga melalui jalur non verbal. Ini ditunjukkan dengan gerakan tubuh atau gestur tertentu, seperti, anggukan kepala sebagai sikap setuju, gelengan kepala yang menunjukkan penolakan, tangisan yang mungkin berarti kesedihan atau rasa haru yang mendalam, atau tersenyum sebagai ekspresi kebahagiaan tetapi dalam ekspresi tertentu dapat dimaknai sebagai sebuah cibiran dan kegusaran.
Komunikasi yang kita lakukan merupakan upaya untuk mengungkapkan pikiran, betapapun sederhananya pikiran itu. Ini merupakan definisi khas komunikasi. Berkomunikasi berarti mengungkapkan berbagai hal yang dapat dijangkau dalam lingkaran pikiran kita, baik berupa pengalaman empiris yang kita temukan, konsep yang kita pahami, maupun sesuatu yang berada dalam jangkauan imajinasi kita.
Mengungkapkan pikiran dapat diandaikan sebagai upaya menyampaikan pesan berupa gagasan, keyakinan, persepsi, pengalaman, dan berbagai hal yang ada dalam sistem kognisi kita. Pikiran terungkap dalam bentuk idealisme, harapan tentang masa depan, gossip, halusinasi, sampai cerita sehari-hari.
Saat mengungkapkan pikiran kita juga kerap melibatkan sisi emosional yang diwujudkan dalam bentuk keluh kesah, ungkapan cinta, luapan kemarahan, atau ekspresi kesedihan.
Komunikasi yang Efektif
Kemampuan mengungkapkan pikiran dan kemampuan komunikasi merupakan dua hal yang identik. Pikiran yang kita ungkapkan akan dapat dipahami orang lain sangat tergantung kepada kemampuan komunikasi yang kita miliki. Kita membutuhkan kemampuan komunikasi secara efektif agar pikiran kita dapat tersampaikan secara jelas dan dipahami dengan baik oleh lain.
Mulyana (dalam Rani & Rahman: 2022) mendefinisikan komunikasi efektif sebagai penyampaian pesan yang dihasilkan sesuai dengan harapan penyampai pesan (orang yang menyampaikannya). Setidaknya, dalam proses komunikasi itu penyampai pesan dapat menciptakan kesepahaman dengan penerima pesan. Maka Sani, dkk (2020) menyarankan bahwa komunikasi akan menjadi efektif jika penerima informasi dapat mengartikan pesan yang diterima sama seperti yang disampaikan pengirim atau penyampai pesan.
Pada tingkatan yang lebih bermakna, komunikasi efektif bukan sekadar perpindahan pesan. Lebih dari itu, komunikasi seharusnya mampu memberikan sudut pandang baru, mempengaruhi sikap, pandangan, dan perilaku orang lain. Dalam konteks ini, Harianto (2020) merumuskan bahwa berbicara---sebagai salah satu bentuk komunikasi paling banyak dilakukan---bukan sekadar memberikan informasi tetapi juga upaya menghibur, merangsang, meyakinkan, dan menumbuhkan motivasi kepada orang lain.
Dalam kehidupan bersama, kemampuan komunikasi yang baik juga membantu kita menavigasi dunia sosial--sebuah proses memahami, mengelola, dan beradaptasi dalam kehidupan sosial. Kemampuan komunikasi dengan demikian kerap dihubungkan dengan keterampilan sosial.